PROLOG

19 1 0
                                    

Bagi sebagian orang rumah adalah tempat ternyaman untuk pulang, sebuah bangunan yang menjadi saksi bisu betapa bahagianya sebuah keluarga.

Dapur, menjadi ruangan yang bisa merekam jelas, bagaimana tawa, obrolan, dan santapan menjadi momen indah untuk dikenang.

Namun, semua mendadak berubah. Ternyata rumah ternyaman untuk pulang itu sudah berpulang. Sosok yang kepergiannya memberikan banyak luka.

Sejak hari itu juga, gadis yang memiliki nama lengkap Jingga Putri Cantika. Mulai menyadari bahwa definisi ternyaman untuk pulang adalah Ibu.

Wanita hebat yang kerap ia panggil bunda. Wanita yang telah berpulang sejak 12 tahun lalu, cukup lama, namun masih terasa baru untuk Jingga dan keluarganya, terutama Ayahnya, yang sampai detik ini masih membenci Jingga, dengan alasan yang sama bahwa putrinya adalah penyebab kepergian sang istri.

Bahkan sejak dua belas tahun itu juga, Jingga harus menerima perlakuan buruk dari ayahnya. Baik itu tamparan, hingga cambukan, yang selalu memberikan bekas di tubuh serta hatinya.

Gadis kecil yang pada saat itu belum mengerti dengan apa yang terjadi, namun manik pekat itu terus menatap bagaimana bundanya itu terbalut dengan kain putih, hingga di detik terakhir ia melihat gundukan tanah menutup rapat bundanya, Jingga paham.

Bundanya telah sejauh ini dengan dirinya!

•••

"JINGGA?!!"teriak Bagas—ayah Jingga yang baru saja tiba di rumah, setelah semalaman dirinya bermain judi.

Gadis cantik yang pagi ini telah siap dengan seragamnya, sesegera mungkin untuk turun menemui sang ayah.

Setelah menyandang tasnya, Jingga langsung keluar dari kamar. Gadis dengan bandana oren itu menggigit bibir bagian dalamnya, ia yakin kali ini ayahnya akan memberikan warna pada tubuhnya.

"CEPAT KESINI, KAMU!"ujar Bagas dengan nada yang tinggi.

Jingga memainkan jemarinya, dirinya benar-benar takut dengan laki-laki dihadapannya ini, tak ada lagi sorotan teduh dan hangat dari manik milik Bagas, kini hanya tatapan tajam yang selalu tersorot dari manik tersebut.

"Saya kalah judi lagi, sekarang kamu ikut saya!"ujar Bagas lalu menarik paksa tangan Jingga.

Tak ada yang bisa Jingga lakukan, ini sudah menjadi rutinitas Bagas. Bahkan ayahnya itu tak sedikitpun memberikan ruang untuk Jingga lepas.

"Masuk, sekarang!"ujar Bagas.

Kepala yang tertunduk itu, perlahan menggeleng. "Jingga mau pergi sekolah, ayah"ujar Jingga pelan, nyaris tak terdengar.

Bagas yang kalap, mendorong keras Jingga untuk masuk kedalam kamar mandi. Lagi dan lagi, kepala Jingga harus terbentur dengan dinding kamar mandi itu.

"Tuhan, boleh pulang sekarang?"

Sekarang, Tuhan?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang