Bagian satu

19 2 2
                                    

Jingga Putri Cantika, gadis cantik yang begitu menyukai laut dan senja, serta begitu benci dengan hujan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jingga Putri Cantika, gadis cantik yang begitu menyukai laut dan senja, serta begitu benci dengan hujan. Hanya dengan mendengar desiran ombak, kemudian menatap pekatnya jingga di sore hari, benar-benar memberikan ketenangan bagi Jingga.

Seperti sore ini, gadis yang mengenakan pita dikepalanya itu tengah tersenyum melihat gulungan ombak dihadapannya. Perlahan Jingga menutup matanya, meresapi setiap suara,  bukannya merasa terganggu, gadis cantik itu malah merasa damai.

"Ombak, bawa pergi masalah Jingga, yaa"gumamnya.

Gadis itu mencoba menarik napas, lalu menghembuskan secara perlahan. Tak ada niatan untuk ia melangkahkan kaki pulang, Jingga akan setia menunggu awan yang sedikit demi sedikit mulai berubah warna menjadi oren.

Perlahan matahari mulai menghilang, cahaya berwarna oren mulai terpancar dari sudut pantai tersebut. Lagi dan lagi, Jingga menutup matanya, membiarkan kilauan jingga itu menerpa wajahnya.

Bisakah jingga menyatu dengan pekatnya senja itu? Membiarkan dirinya abadi bersama laut dan senja hari ini.

Sejujurnya Jingga masih betah berlama-lama disini, namun ia ingat akan wajah ayahnya yang murka, jika tau Jingga pulang malam.

Dengan berat hati, gadis cantik itu melangkahkan kakinya. Punggung kecil itu tampak mulai menjauh dari bibir pantai.

Jingga berjalan menuju halte Bus, ia tak punya cukup uang untuk naik taksi. Sialnya, ditengah perjalanan, gemuruh langit mulai terdengar. Kilatan kecil mendominasi telinga Jingga, kali ini semesta sedang tidak berpihak pada dirinya.

Jingga menengadah kepalanya, rintikan demi rintikan, mulai membasahi wajah gadis itu. Diam-diam air matanya ikut menetes, dan tersamarkan oleh air hujan.

"Maaf, tuhan"cicit Jingga.

Jingga benar-benar benci hujan, bayangan dua belas tahun silam, kembali berputar di kepala Jingga, bak kaset rusak. Potongan memori memilukan kembali menyatu.

Kaki Jingga terasa keluh, ia hanya bisa terduduk lemah di atas trotoar, ditemani air hujan yang semakin banyak. Bau aspal akibat tetesan hujan mulai menguap, memasuki indera penciuman Jingga.

"Bunda..."lirihnya penuh ketakutan.

Jingga mencoba untuk berdiri, namun selalu gagal, gadis itu merasakan kakinya seperti mati rasa. Jingga menatap ke sekelilingnya, sepi. Tak ada satupun orang yang berjalan disekitar dirinya.

Gadis dengan pita dikepalanya itu kembali meyakinkan diri, ia harus segera pulang, perlahan Jingga bangkit, namun usahanya tetap gagal.

"Lo mau mati, ya?" Suara berat milik laki-laki yang saat ini berdiri disebelah Jingga dengan sebuah payung, membuat Jingga menoleh.

"Ditanya malah diem, sini gue bantu berdiri"ujar laki-laki yang bisa dibilang seumuran dengan Jingga.

Tak ada respon yang Jingga berikan, ia tetap diam dengan pikirannya sendiri, namun manik matanya tak sedikitpun lepas dari laki-laki yang tidak Jingga ketahui namanya itu.

"Mau gue bantu, gak?"tanya laki-laki itu sekali lagi.

Namun, lagi dan lagi tak ada pergerakan yang Jingga lakukan, membuat laki-laki dihadapannya ini langsung membantu gadis malang itu untuk berdiri.

"Maaf"ujar laki-laki itu lalu memegang pundak Jingga untuk berdiri.



Sekarang, Tuhan?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang