8. Arin

13 2 0
                                    

Ini ver Arin, jadi hari ini gak ada permainan dulu..

"Seandainya waktu bisa ku ulang, aku ingin menemukanmu lebih cepat agar aku bisa lebih lama mengenalmu."

Arin dan temannya sama seperti kemarin, menunggu seseorang di rumah sakit. Dengan sabarnya mereka menunggu.

"Mikhaela!" Panggil seseorang dari belakang.

Arin dan temannya yang diyakini bernama Mikhaela itu pun menoleh ke belakang.

"Kenapa?" Tanya Mikhaela.

Orang yang memanggilnya itu adalah dokter yang merawatnya sebelumnya. Apa Mikhaela pernah dirawat di dirumah sakit ini? Jawabannya ya.

"Saya butuh bantuan untuk menghubungi orang tua pasien ruangan 22, Tiga orang kehilangan nyawa lagi, mohon maaf, kami sudah berusaha sebaik mungkin." Ucap Dokter dengan name tag Aneska.

"Hah!!?" Mikhaela dan Arin pun sontak terkejut. 

Mereka berdua pun masuk ke ruangan nomer 22, mereka pun melihat ke tiga teman mereka yang sudah tertutupi oleh selimut.

"Bangun dong!! Malah mati!!" Ucap Arin.

Mereka berdua pun melihat ke arah empat temannya lagi yang masih bisa di selamatkan.

"Masih ada harapan buat mereka berempat."  Ucap Mikhaela.

Arin pun mengangguk-angguk tanda mengerti.

"Setidaknya masih ada empat yang punya harapan buat bangun." Ucap Arin.

5 jam kemudian..

Setelah mengunjungi pemakaman temannya Arin dan Mikhaela pun berjalan memutari sekolah, dimana teman-teman mereka tersingkirkan. Mereka berdua pun masuk ke dalam kelas yang membuat mereka mengingat semua kejadian-kejadian itu, kelas yang awalnya sangat ramai kini kelas itu menjadi sunyi.

"Lo masih inget gak? Di kelas ini kita sering setress gara-gara Bu Putri ngasih kita soal yang mematikan." Tanya Arin.

Mikhaela pun menoleh ke arah Arin.

"Ya, tentunya gue inget." Jawab Mikhaela.

Mereka berdua pun lanjut ke arah kantin, setelah sampai mereka duduk di bangku yang di sediakan.

"Kira-kira mereka lagi ngapain ya? Gue gak ngebayang kalo gue masih kejebak di permainan itu." Ucap Mikhaela.

Arin pun menunduk, ia merindukan semuanya, ia sangat.. ingin bertemu Athaya lagi.

"Mikhaela, harapan kita aja cuma Kayla, Vika, Reinhard sama Axell, itu rasanya gak mungkin gak sih?" Tanya Arin.

"Iya, gue juga pengen mereka cepet sadar dari koma mereka."

***

Setelah lelah menangis, Arin pun pulang ke rumahnya dengan lesu, ia berjalan tanpa semangat sedikit pun. Kebetulan rumah Arin melewati  makam yang tadi.

"Okta.. Catur.. Annisa..dan yang lainnya apa kabar? Gue gagal lihat kalian semua bangun." Ucap Arin.

"Kalo aja waktu bisa di ulang, pasti gue berhasil gagalin kalian makan atau minum di kantin." Lanjut Arin.

Arin pun melanjutkan jalannya, akhirnya setelah beberapa lama kemudian Arin sampai ke rumahnya. Arin merebahkan tubuhnya ke kasur, punggungnya terasa nyeri.

"Gue anak broken home yang udah gak punya siapa-siapa lagi, Mama sama Papa gue cerai karena Papa gue selingkuh dan Mama gue langsung ceraiin Papa gue tanpa sepatah katapun. Gue cuma temen, gue gak punya siapa-siapa lagi. Bahkan keluarga Mama atau Papa gue udah gak anggep gue lagi."

"Walaupun gue gak punya Mama atau Papa, setidaknya gue punya temen yang bisa selalu ada buat gue. Dan temen terbaik gue, Athaya dan beberapa temen gue udah gak ada, sedangkan temen gue yang lainnya koma." Lanjut Arin.

Arin pun mengambil foto bingkai yang terpajang di kamarnya. Foto itu bergambar foto Arin dan Athaya, Arin pun meneteskan air matanya.

"Gue kangen At.. kangen kita berdua, rasanya gue pengen ngulang waktu.. tapi itu gak mungkin At.." lirih Arin.

Arin pun memejamkan matanya yang sudah lelah menangis.

***

Tbc..

Friandship (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang