07

4 2 0
                                    

"𝙹𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚓𝚊𝚍𝚒𝚔𝚊𝚗 𝚑𝚒𝚗𝚊𝚊𝚗 𝚜𝚎𝚋𝚊𝚐𝚊𝚒 𝚊𝚕𝚊𝚜𝚊𝚗 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚑𝚎𝚗𝚝𝚒𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚒𝚗𝚐𝚒𝚗𝚊𝚗. 𝚃𝚊𝚙𝚒, 𝚓𝚊𝚍𝚒𝚔𝚊𝚗 𝚑𝚒𝚗𝚊𝚊𝚗 𝚜𝚎𝚋𝚊𝚐𝚊𝚒 𝚊𝚕𝚊𝚜𝚊𝚗 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚖𝚎𝚠𝚞𝚓𝚞𝚍𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚒𝚗𝚐𝚒𝚗𝚊𝚗."

- 𝚁𝚎𝚔𝚜𝚊 𝙿𝚛𝚊𝚗𝚊𝚓𝚊.

🍂🍃

Pagi ini Reksa menjalani harinya seperti mahasiswa  pada umumnya. Ia ada jadwal kuliah pagi, jadi Reksa memutuskan untuk berangkat lebih awal. Baru ingin menarik gas motornya, sebuah suara menghentikan tarikan tangannya. Reksa menoleh ke belakang, dimana seorang wanita setengah baya sedang memandangnya dengan tatapan sedikit meremehkan? Kira-kira itulah yang Reksa lihat dari sorot mata wanita itu.

"Isih isuk banget loh iki Sa, kok andang mangkat." ujar wanita itu, sebut saja Bu Tri. Beliau memang julid sekali, dan sedikit sombong juga. (Masih pagi banget loh ini Sa, kok udah berangkat.)

Reksa tersenyum mendengarnya. "Enggih bu, ada kelas pagi niki." balasnya masih dengan senyuman manisnya. (Iya bu, ada kelas pagi ini.)

"Haduh Sa...Reksa... nek cen ra mampu rasah kuliah wae. Kae lho kerjo neng gone anakku. Lulusan SMA yo iso." ujar Bu Tri lagi. Beliau mulai terang-terangan merendahkan Reksa, bahkan di depan ibu kandung laki-laki itu. (Kalo emang ngga mampu ngga usah kuliah aja. Itu lho kerja di tempat anak ku. Lulusan SMA juga bisa.)

"Alhamdulillah kulo kalih bapak ibu tasih mampu bu. Kulo kuliah nggih angsal beasiswa. Dadi mboten terlalu membebani bapak ibu." Reksa hanya bisa membalas perkataan bu Tri dengan sabar dan senyuman. Karena kalau tipe orang seperti bu Tri ini di balas dengan menghina juga, maka tidak akan selesai. Malah tambah panjang urusannya. (Alhamdulillah saya sama bapak ibu masih mampu bu. Saya kuliah juga dapat beasiswa. Jadi ngga terlalu membebani bapak ibu.)

Ibu Reksa yang mendengarnya pun hanya diam tidak menanggapi. Hal seperti ini memang sudah sering sekali terjadi. Direndahkan dan diremehkan. Beliau sudah terbiasa akan hal itu. Begitupun sang suami dan sang putra, Reksa.

"Wes yo mbak Tari, aku tak bali sek. Panas kupingku krungu cuwit-cuwit. Matur nuwun, assalamu'alaikum." ujar salah satu pembeli yang sedari tadi menyaksikan julid nya Bu Tri. Beliau yang sudah muak mendengarnya pun pamit pulang pada Bu Tari, ibu Reksa. (Sudah ya mbak Tari, aku pulang dulu. Panas telingaku denger cuwit-cuwit. Terimakasih.)

Bu Tari membalasnya dengan anggukan kepala dan senyum manis yang terukir di wajah ayu nya.
Sedangkan Bu Tri yang merasa tersindir dengan ucapan salah satu pembeli tadi lantas langsung pergi dari rumah Reksa. Entah akan pulang atau kemana tidak tahu.

Setelah kepergian Bu Tri, Reksa menghela napas panjang. Mencoba bersabar dan mengontrol emosinya. Pagi-pagi sudah dapat suara seperti itu, siapa yang tidak kesal coba? Jika kalian berada di posisi Reksa saat ini pasti juga kesal kan? bahkan mungkin bisa lebih kesal dari Reksa dan membalas ucapan ibu-ibu itu.

Siapa sangka sedari tadi ternyata Pak Wiryo, ayah Reksa berdiri di belakang pintu. Awalnya beliau ingin keluar untuk membantu ibu, tapi ia urungkan niatnya saat mendengar sedikit perdebatan anaknya dan ibu-ibu tetangga.

"Sabar iku lire momot kuat nandhang sakening coba lan pandhadharaning urip le." (Sabar itu merupakan kemampuan untuk menahan segala macam godaan dalam hidup nak.)

Reksa dan ibunya menoleh ke sumber suara. Ternyata itu suara Pak Wiryo. Beliau berjalan menghampiri anak dan istrinya dengan senyum tipis di wajahnya. Pak Wiryo lalu menatap Reksa.

NOL KILOMETERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang