Muqaddimah

18 3 0
                                    

"Setulus apa pun diriku kepada semua orang, aku akan hanya menemani dirinya yang memang menganggap diriku ada."

-Azra Kasih Kinanti-

***

Melihat jam menempel pada dinding putih gading di kamarnya sudah menunjukkan pukul setengah empat sore, Azra segera meraih tas ranselnya untuk bergegas pergi ke tempat dirinya menimba ilmu agama seperti biasanya.

Azra mengayuh pedal sepedanya dengan cepat karena dirinya sudah terlambat untuk pergi ke madrasah, bisa-bisa dirinya akan dihukum oleh ustadz yang menurutnya sangat killer itu.

"Aduh! Piye to iki," keluh Azra sembari melirik arloji yang melingkar di tangan kirinya.

Di pukul empat tepat, Azra bersyukur telah sampai di madrasah yang sudah sepi karena para murid sudah memasuki kelas mereka masing-masing.

Melihat motor milik sang ustadz yang mengajarnya sudah terparkir rapi bersama dengan motor ustadz-ustadzah yang lain, jantung Azra memburu dan ketakutan akan kemarahan dari sang ustadz padanya yang terlambat datang.

Meski ini bukan pertama kalinya dirinya terlambat, tapi entah mengapa kali ini Azra sangat ketakutan karena terlambat di saat kelas ustadz muda yang kata teman-temannya ustadz paling ganteng itu, ah tapi itu bukan menurut Azra melainkan ustadz yang sangat menakutkan, eh sudahlah tidak baik membicarakan orang apalagi gurunya sendiri.

Setelah merasa napasnya sudah ngos-ngosan lagi, Azra memberanikan diri untuk masuk ke kelas paling pojok yang mana itu adalah kelasnya.

"Assalamualaikum," salam Azra yang membuat atensi semua penghuni kelas beralih padanya yang diambang pintu kelas tak terkecuali ustadz muda itu.

"Waalaikumsalam warahmatullah," balas mereka bersamaan.

Demi apa, Azra rasanya ingin menghilang saja dari bumi ini!

"Ngapunten, ustadz. Azra telat," ucap Azra menundukkan kepalanya dalam.

"Masuk dan buka buku tulis kamu sekarang, Azra! Pelajaran akan dimulai," balas sang ustadz.

Azra mendongakkan kepalanya terkejut dengan respons sang ustadz yang tidak memarahinya, tapi Azra kemudian mengangguk singkat dan buru-buru menempati bangkunya yang berada paling depan, tepat di depan ustadznya.

"Saya tidak menyuruh kamu untuk duduk!" ujar sang ustadz membuat Azra terkejut.

Azra melirik ke arah Nur yang ada di sampingnya, Azra tidak mengerti apa yang dimaksud oleh sang guru muda itu.

"Wes ayo cepat, Azra! Dari pada makin dimarahin kamu nanti sama ustadz Faqih," bisik Nur.

Ya, ustadz muda itu adalah ustadz Faqih. Siapa yang tidak kenal dengan beliau, cucu dari pemilik pondok pesantren terkenal dan elit, pondok pesantren Darul Qur'an. Meski pun begitu, ustadz Faqih lebih memilih untuk mengabdikan dirinya di madrasah Miftahul Ulum ini yang lumayan dekat dengan pesantren milik keluarganya dari pada mengajar di pesantren.

Dan kata teman-teman Azra, beliau lebih suka dan menegaskan semua murid untuk memanggilnya dengan sebutan 'ustadz' dari pada 'gus' yang memang sebenarnya itu adalah sebutan yang seharusnya untuk beliau. Sangat pantas untuk dikagumi, tapi bukan bagi Azra.

"Tapi, ustadz-"

"Berdiri di sana sampai pelajaran saya selesai!" potong ustadz Faqih cepat dengan menunjuk pada pojok depan kelas.

"Tapi, ustadz-"

"Azra!"

***

Kediri, 30 Juni 2024

assalamualaikum gais
jumpa lagi samaku haha, tapi maap ni ye jumpa dicerita baru lagi.

jangan lupa tinggalin vote dan komen kalian dibawah, sekalin follow juga boleh banget.

mau mutualan? atau kenal lebih dekat? lanjut dm ig yuk @mrsaaa.ndaaa

KinantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang