1

15 3 7
                                    

Athena, ibu kota Yunani, memang memiliki pesona, dan pemilik Nuella Laughlin International Clothing Centre memberanikan diri untuk membuka cabang baru di sana, setelah beberapa tahun hanya membuka satu cabang di Yunani; Santorini. Tetapi, daya beli warga lokal di Athena tak akan sanggup mengalahkan daya beli turis asing di Santorini, dan Diana mengetahui hal ini dengan lebih baik dibandingkan pemilik toko baju internasional tersebut.

Ketika manajer toko yang lama menyerah oleh tekanan untuk mengurus toko cabang Athena dan memutuskan untuk mengundurkan diri, orang-orang dari pusat langsung menawarkan posisi kosong tersebut kepada Diana, tetapi Diana menolaknya mentah-mentah. Dia sudah cukup melihat jungkir-balik mantan atasannya, dan tidak mau mengambil risiko kehilangan posisi yang nyaman demi tuntutan yang bisa menyebabkan stres berat—itu tidak setimpal. Posisi sebagai supervisor toko sudah cukup bagi Diana.

Lalu, hanya beberapa hari setelah Diana menolak tawaran jajaran direksi, manajer toko yang baru segera didatangkan; seorang pria paruh baya dari London yang terlihat lebih tegas daripada manajer toko sebelumnya. Dari cara pria pirang tersebut mengerutkan kening ketika memeriksa seluruh data yang ditinggalkan oleh manajer lama, Diana bisa menyimpulkan bahwa pria ini jauh lebih berpengalaman daripada manajer lama.

“Apakah kau adalah supervisor di sini?” tanya si Pria Pirang tanpa menoleh pada Diana. Mata cokelat madunya tetap terfokus pada laptop manajer yang disediakan oleh kantor pusat.

“Iya.” Diana mengangguk, tak tahu harus mengatakan apa selain satu kata tersebut.

“Dan namamu?” Barulah manajer baru itu mengangkat kepalanya dari laptop untuk menatap Diana. Tepat pada mata.

“Diana,” jawab wanita muda tersebut. “Diana Antonopoulos,” imbuhnya.

“Jadi, kau yang mengerjakan semua laporan manajer selama masa vacuum of power berlangsung?”

“Benar, Pak.” Diana mengangguk lagi. “Apakah saya melakukan kesalahan?”

“Tidak.” Pria itu menggeleng. “Laporanmu sudah bagus. Data-data yang kau tulis sudah lengkap. Kau bisa menjadi manajer, kenapa menolaknya?”

“Itu bukan posisi yang cocok untuk saya.” Diana menggeleng.

“Tidak berani mengambil risiko,” dengus pria itu.

Diana bisa menangkap nada yang tidak enak dalam dengusan itu, entah sebuah ejekan atau hinaan, tetapi Diana memilih untuk mengabaikannya karena dia perlu bertanya, “Siapa nama Anda?”

“Alan,” jawab si manajer baru, “Alan Richman.”

“Oh, mirip seorang aktor yang pernah menjadi favorit saya,” celetuk Diana. Dia menggigit pipi bagian dalamnya untuk menahan senyuman.

“Itu Alan Rickman,” dengus si manajer lagi.

“Ya, saya bilang mirip, bukan sama,” kilah Diana.

Alan tidak menyahut dan kembali fokus pada laptop manajer, sedangkan Diana hanya berdiri di dekat meja pria itu. Sementara Alan terus memeriksa folder-folder manajer satu per satu, Diana hanya menatapnya sambil menduga bahwa pria ini pasti akan jadi atasan yang sangat jahat kedepannya. Diana tahu, dia telah berprasangka buruk pada orang yang bahkan belum dikenalnya, tetapi dia sangat yakin bahwa dugaannya itu benar. Belum apa-apa saja pria ini sudah mendengus sinis padanya, apalagi kalau sudah kenal lama.

“Kenapa kau masih berdiri di situ?” Alan menoleh pada Diana, menatapnya dengan tajam. “Apakah kau tidak punya pekerjaan untuk dilakukan?”

“Anda tidak ingin menanyakan hal lain lagi?” Diana balik bertanya.

“Kalau aku perlu menanyakan sesuatu, aku akan memanggilmu nanti,” jawab Alan. “Pergilah, kerjakan tugas-tugasmu. Aku juga perlu fokus pada tugas-tugasku.”

Arden Manor Series #1: To Love AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang