Tadinya, Alan dan Diana berencana untuk menghabiskan libur hari buruh mereka dengan berkeliling Plaka atau menghabiskan waktu di hotel tertentu. Tetapi rencana itu gagal total karena Helene mengusir Alan, mengatakan bahwa dia ada perlu dengan Diana untuk hari itu. Dan jadilah Diana dikurung di dalam rumah oleh Helene, serta dihujani omelan yang sudah didengar oleh Diana sejak semalam.
“Aku membiarkanmu berkencan dengannya, karena kupikir kau akan memikirkan semuanya lagi seiring berjalannya waktu,” omel Helene seraya mondar-mandir di ruang tamu, sementara Diana duduk di sofa dan mengelus-elus Benny di pangkuannya. “Dia orang asing, jauh lebih tua darimu, dan kita bahkan tidak tahu kondisi finansialnya yang sesungguhnya seperti apa. Aku tahu kalau kau adalah seorang pekerja keras, Diana, tetapi aku tidak ingin kau bekerja terlalu keras seumur hidupmu. Belum lagi fakta bahwa aku punya penyakit mental, tidak bagus untuk diungkit-ungkit jika kalian bertengkar. Kukira kau hanya akan menjadikannya sebagai seseorang untuk mengisi waktu luang, tetapi kau malah bertindak terlalu jauh, pulang dengan cap merah di lehermu, aku tahu apa saja yang telah terjadi diantara kalian, dan sekarang kau malah menerima lamarannya.”
“Ibu, tidakkah Ibu lelah mengomel sejak semalam?” tanya Diana. “Aku ingin menikmati hari liburku dengan menyenangkan, tetapi Ibu malah mengomel-ngomel seperti ini. Apa yang Ibu khawatirkan? Aku sudah dewasa, bisa memutuskan banyak hal sendiri, Ibu tahu itu, dan Ibu biasanya membiarkanku melakukannya. Sekarang aku menerima lamaran kekasihku, seharusnya Ibu senang karena pada akhirnya aku akan berlabuh pada satu orang seumur hidupku, berhenti bermain-main dan berhenti dipermainkan.”
“Tapi apakah kau pernah terpikirkan jika lamaran itu mungkin bohong?” tukas Helene. “Tak jarang seorang pria melamar seorang wanita, menjebaknya dalam sebuah pertunangan selama bertahun-tahun, dan pada akhirnya tidak pernah menikahinya. Apakah pernah terpikirkan olehmu jika pria itu mungkin sudah memiliki seorang istri di Inggris? Dia mungkin memiliki banyak anak yang ditelantarkan olehnya sementara dia menggunakan uangnya untuk mengencanimu di sini.”
“Ibu, apa-apaan itu!” seru Diana. “Alan belum pernah menikah! Alan belum pernah punya anak!”
“Oh, begitu?” Helene berkacak pinggang. “Bagaimana kau bisa tahu?”
“Aku tahu,” kata Diana dengan tegas.
“Apakah kau mengenal seluruh keluarganya?” tanya Helene.
“Uh, tidak,” jawab Diana lirih.
“Apakah kau mengenal teman-temannya? Pernah menanyai mereka?”
“Tentu saja tidak,” jawab Diana lagi.
“Apakah kau pernah memeriksa kartu identitas, paspor, dan barang-barang lain yang mungkin bisa menjelaskan lebih banyak tentang dirinya?”
“Ibu, bukankah itu adalah privasi?”
“Apakah kau pernah memeriksa ponselnya? Tak perlu sering, cukup satu kali saja. Apakah kau pernah memeriksa ponselnya?” cecar Helene. Dia menatap putrinya dengan tajam dan menusuk.
Diana menatap ibunya dengan sama tajamnya, namun dengan sorot yang tidak yakin.
“Kau tidak pernah, ‘kan?” tebak Helene. “Bagaimana kau bisa tahu jika di ponselnya tidak ada pesan-pesan dari seorang wanita tentang rincian tagihan ini dan itu, rincian pengeluaran bulanan, keluhan tentang kebutuhan anak yang habis, dan lain-lain. Bagaimana kau bisa tahu jika kau bukan hanya sekadar wanita simpanan yang tidak menyadari bahwa dirinya adalah seorang wanita simpanan?”
“Ibu!” Diana bangkit dari sofanya, dan Benny harus melompat agar tidak jatuh dengan menyakitkan. “Ibu tahu aku adalah orang yang mudah kepikiran dan merasa minder. Kenapa Ibu malah menghujaniku dengan semua kemungkinan itu? Padahal aku cukup merasa bahagia.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Arden Manor Series #1: To Love Again
RomanceArden Manor Series #1: To Love Again Diana Antonopoulos tidak pernah meninggalkan Athena sejak dia dilahirkan. Hidupnya hanya dipenuhi oleh kesibukan bekerja sebagai supervisor toko, dan fokus menanggung kehidupan keluarganya. Segalanya hanya berpu...