[1]. ALASAN

5 1 0
                                    

“Aku tidak tahu alasan aku
mau dilahirkan ke dunia.”

***

[1]. ALASAN

“Altara bodoh! Bisa-bisanya lo lupa hari ini Senin!”  Gerutu seorang laki-laki yang tengah berlari menuju kamarnya. Dia telat!

Wanita paruh baya yang sedari tadi duduk di meja makan hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak semata wayangnya itu. “Al, pelan-pelan! Masih ada waktu setengah jam ini,” Suara itu berhasil membuat anak laki-laki nya mendengus kesal. “Bunda, Perjalanan dari rumah ke sekolah aja 15 menit loh!” Teriak laki-laki itu dari dalam ruangan pribadinya, disahut tawa oleh sang ibunda.

Altara Kaleo
Seorang anak laki-laki kesayangan sang ibunda. Pemilik senyum manis, yang selalu ia persembahkan untuk sang ibunda. Bukan laki-laki berandalan, apalagi laki-laki yang suka menyakiti dirinya sendiri. Meskipun hidupnya tak baik-baik saja, meskipun dunia terasa begitu tak adil, namun baginya hidup bersama sang ibunda sudah terasa lebih dari cukup. Ia bangga, bisa selalu memanggil wanita hebat itu dengan sebutan “Bunda”.

“Bundaku sayang, Al pamit ya! Assalamualaikum,” Altara menyalami sang bunda, lalu bergegas pergi meninggalkan bangunan yang selalu ia sebut rumah itu.

Anila hanya tersenyum melihat sang putra sudah tumbuh dewasa, ia berhasil membesarkan putranya dengan penuh cinta.

***

Seperti dugaannya, pintu gerbang sudah hampir tertutup. Lagi-lagi Altara harus menghadapi sang guru killer yang selalu mengatasi siswa yang datang terlambat.

“Haduh, Altara! Kamu gak bisa kah di hari senin sehari aja gak telat? Tiap Senin pasti kamu jadi langganan saya, apa gak bosen?” Suara melengking yang kembali menusuk gendang telinga Altara sama seperti minggu lalu, dan yang lalu lagi.

“Sudah, hukuman seperti biasa! Saya tambah bersihkan toilet laki-laki di lantai 1 selama 3 hari!” Lanjut si Galak —panggilan khusus dari Altara.— “Hah? Serius bu? 3 hari? Seluruh toilet lantai 1?” Ucap Altara terkejut. “Saya gak pernah asal bicara ya, Altara! Cepat lari keliling lapangan 10x!” Suara mengerikan itu berhasil membuat Altara segera menghilang dari hadapan si Galak.

Gila! Matahari terik banget hari ini,”
Setelah menyelesaikan 10x putaran, Altara terduduk dipinggir lapangan sembari meminum air mineral yang sudah disiapkan sang bunda.

“Masuk kelas, izin guru mapel untuk bersihkan toilet di jam pertama dan kedua!” Ucap si Galak—Bu Tina namanya.—

“SIAP LAKSANAKAN,” Sahut Altara dengan sikap hormatnya. Lalu bergegas menuju kelasnya.

Setelah mendapatkan izin dari sang guru mapel, ia bergegas menuju toilet dan mulai membersihkannya.

Tepat pada bel jam pelajaran ketiga, Altara selesai mengganti kembali kaos putihnya dengan seragam sekolah.

A

ltara melangkahkan kakinya menuju kelas dengan sedikit tergesa. Tak disangka seorang dengan badan tegap menabraknya dan seperti disengaja menumpahkan gelas berisi es teh ke baju Altara.

"Ups, Sorry Al!”
“Sengaja,” Lanjutnya, lalu terus berjalan melewati Altara yang masih terkejut dengan kejadian tersebut.

Tidak, ia tidak bisa marah.

Apalagi pada orang itu, Stevian Mahardika.

Kalau dibilang benci, sudah tentu dia benci. Ingin pula rasanya menghunus orang itu dengan pedang, kalau saja bisa.

Altara hanya menghembuskan nafas gusar, ia kembali menuju toilet untuk membersihkan seragamnya.

“Lagi-lagi gue diingetin kalau alasan gue hidup hanyalah karena Bunda,” Ujar Altara sembari menatap dirinya di kaca.

***

“Kayaknya lo terlalu menikmati pemandangan yang ada di toilet sampe baru balik jam segini, Al!”   Omel teman sebangkunya, Daffa.

Daffa Aji Davendra, satu-satunya teman yang bisa berbicara dengan Altara. Ah, lebih tepatnya satu-satunya teman yang menghargai kehadiran Altara.

Altara terkekeh mendengar omelan teman sebangkunya itu, lalu duduk dengan tenang disebelahnya.

“Sometimes we need to relax. Enjoy what happens,” Ucap Altara.

“Enjoy pala lo peyang, Al! Hukuman harus banget di enjoy-in gitu?” Sergah Daffa, disambut tawa oleh Altara.

“Gue anggap itu sebagai hiburan, daripada gue harus terus-menerus meratapi nasib,” Kalimat tersebut berhasil membuat Daffa berhenti ngoceh.

“Tenang aja, Al. Lo masih punya gue, sebagai sohib sekaligus dulur lanang sing paling bagus sejagad,” Daffa menepuk bahu Altara sembari tersenyum bangga, sedangkan Altara hanya geleng-geleng dibuatnya.

“Selama alasan itu masih ada, gue masih mau hidup di dunia ini.”

“WOY CEMEN! SINI GAK LO?!” Teriakan itu berhasil membuat seisi kelas memandang ke arah pintu, Seorang laki-laki dengan tangan menunjuk ke arah Altara, dengan wajah merah padam.

“SINI LO ANJING! KURANG AJAR BANGET YA LO KUNCIIN GUE DI TOILET!” lanjutnya.

Sedangkan Altara yang merasa dirinya dijadikan tujuan amarah itupun sudah tak heran apabila lagi-lagi ada yang menuduhnya melakukan hal-hal yang bahkan tidak terpikir olehnya.

“Apa lagi? Gue lagi nih?” Tanya Altara santai. “Gila lo ya anjing! bangsaat!” laki-laki itu menghampiri Altara dan langsung memberikan satu tinjuan pada perut Altara.

“Jangan pernah lagi, lo ganggu gue ya bangsat! Dasar pecundang!” Umpat laki-laki itu, lalu pergi.

Bukan Altara namanya apabila dia membalas perlakuan itu. Bukan karena takut, atau tidak bisa, melainkan ia hanya malas dengan keributan yang sudah bisa di tebak siapa dalangnya.

“Anjir, lagi-lagi lo? Al, bales dong! Gue geram banget anjir!” Seru Daffa, lalu membantu Altara kembali ke tempat duduknya.

“Gak ada gunanya gue ribut sama orang yang bahkan gatau apa-apa sama apa yang menimpa dia,” Jawab Altara yang kemudian meneguk air mineralnya.

“Sampe kapan gue harus diem, Al? Semua orang makin benci sama lo, gaada yang suka sama lo. Padahal lo dulu adalah salah satu murid paling banyak disukai sama orang-orang. Kenapa lo diem aja?”

“Gue hidup bukan untuk mencari orang-orang yang suka sama gue, gue hidup untuk Bunda, dan buat diri sendiri. Gue gak butuh mereka, Daf.”

***

CEK OMBAKKK 🫴🏻🫴🏻

HAI SEMUA! APA KABAR?
KAKIYAZ KEMBALI DENGAN CERITA HANGATT YANG BARU BANGET💛💛💛

SEMOGA SUKA YAA!

SEE YOUU NEXT PART💃🏻💃🏻

Gadis Bunga Matahari Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang