Octa

178 34 10
                                    

Entah sejak kapan, namun tiba-tiba saja kalian semua berakhir berhadapan dengan Aru sekarang.

Mungkin karena sebelumnya kalian semua sibuk mengejar Taufan. Dan entah bagaimana caranya, Taufan berhasil menemukan Ruru dan bersembunyi di belakang punggung gadis itu.

Raut bingung gadis itu mengatakan segalanya. Bahkan sempat menanyakan kenapa kami semua keluar ketika jam pergantian kelas. Yang tentu saja tidak ada siapapun yang berani mengatakan yang sebenarnya.

Tak lama, seseorang keluar dari pintu yang hendak dimasuki Aru. Ia menatap kami semua dengan ekspresi terkejut, lantas melihat Aru dan meminta penjelasan. Akan tetapi, Aru juga tidak tahu dan hanya diam saja.

"Kenapa kalian semua disini? Ayo kembali ke kelas. Bocah ini juga kenapa ada di belakang Aru? Jangan cari-cari kesempatan, sana kembali ke kelas!" tegas Lahap.

Kalian semua tidak berani membantah. Hanya menuruti dan kemudian berbalik untuk pergi.

"Kau juga, Aru. Lebih baik kembali juga ke kelasmu."

Kamu berhenti sejenak, melirik untuk melihat ekspresi Aru yang kala itu justru hanya makin diam. Manik senjanya menatap lurus pada buku yang ia pegang, namun tak ada lirikan yang berasumsikan bahwa ia sedang tak membaca buku itu.

"Mau sampai kapan kamu berdiam diri? Setidaknya jelaskan pada teman-teman sekelasmu--"

Suara Lahap yang terkesan samar itu, terpotong oleh bantahan Aru yang terkesan membentak.

"Teman?"

Bukan hanya kamu, yang lain juga ikutan menoleh dan melihat apa yang tengah terjadi.

"Kita bahkan tak peduli soal hidup masing-masing. Jadi, untuk apa berusaha saling akrab?" Ia bahkan sampai melempar buku yang ia baca ke tubuh Lahap. "Pada akhirnya, salah satu dari kami akan membunuh yang lainnya."

Aru melengos pergi tanpa memberi penjelasan. Langkah kakinya yang menghentak itu menandakan amarah yang tak kunjung reda.

Lahap memungut buku tersebut dan mengusap kepalanya sendiri. "Aduh, kenapa dia begitu cepat marah."

"Kalian cepatlah kembali ke kelas," usir Lahap. Kalian kembali berjalan menjauhi tempat itu untuk kembali ke kelas.

Di sela-sela perjalanan, Gopal berceletuk, "Wah, kenapa kata-katanya jahat banget begitu."

Fang mengangkat bahu, "Entahlah, mungkin cuma pembelaan diri."

"Atau karena suatu kejadian di masa lalu," sambung Thorn yang asyik memandang ke atas.

Solar memegang dagu. "Teori yang menarik, tapi aku rasa ada sesuatu yang lebih besar."

"Mungkin saja dia pernah dikhianati teman-temannya waktu dulu." Blaze berkata demikian sambil menyilangkan tangan.

Ice menghela napas, sesekali melirik ke arah Blaze dan yang lain.

"Ah, lebih baik kita tidak menganggu ruang privasinya." Gempa terkekeh canggung. "Ya kan, Kak Hali?"

Halilintar hanya mengangguk.

"Jadi, kita tidak bisa membantunya sama sekali?" ujar Yaya penuh kecewa. Diikuti Ying yang juga memberikan ekspresi sedih.

Kamu hanya bisa mendengar celotehan mereka sepanjang perjalanan. Sembari mengenggam tangan Taufan yang hanya menunduk diam. Tidak memberikan komentar apa-apa.

Kamu sendiri tidak tahu hal besar apa yang dialami gadis itu hingga memutuskan untuk tidak mempercayai siapapun. Namun, pasti hal itu sangat sakit untuk dirinya.

Walau ia bersikap acuh tak acuh pada teman sekelasnya. Tetap saja ia selalu ada ketika teman-teman sekelasnya dalam bahaya.

Ia selalu muncul di momen yang tepat dan mengulurkan tangan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

『 Abracadabra 』BoBoiBoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang