Seorang gadis remaja, dengan wajah penuh air mata, memeluk erat sebuah batu nisan yang tertulis nama seseorang - Raisha Arsyaka-. Langit mendung seolah turut berduka, mencerminkan kesedihan yang mendalam di hati gadis itu. Hujan rintik mulai turun, namun tidak bisa menandingi derasnya air mata yang membasahi pipinya.
"Sudahlah, sayang," ucap seorang wanita paruh baya dengan suara lembut. "Ikhlaskan kepergian ibumu."
Lauraa Cecilia Arsyaka hanya bisa mengangguk, tapi hatinya terasa hancur berkeping-keping. "Aku harus bagaimana lagi, Tan? Hidupku seakan tak lagi punya arah sejak mereka pergi," tangisnya, penuh kesedihan.
"Tante tahu ini berat, Aura. Tapi inilah takdir, kita tidak bisa mengubahnya," tutur Claudia Amberlina Adhiyaksa, mencoba menenangkan.
Seorang anak laki-laki seusianya menghampiri Aura dan berdiri di sampingnya. "Benar, Aura. Mama pasti akan menjagamu. Begitu juga aku dan papa, iya kan, pah?" katanya, menatap sang ayah yang sedari tadi diam.
"Iya, nak," jawab pria itu dengan mata kusam, mengangguk pelan.
Aura mengukir senyum miris. Ternyata masih ada yang peduli padanya, seperti keluarga Adhiyaksa, kerabat dekat keluarganya. "Kalau begitu ayo kita pulang, hari sudah hampir hujan," dengan perasaan berat, Claudia merangkul Aura dan membawanya ke kendaraan.
Dengan hati yang berat, Aura melangkah meninggalkan pemakaman sang ibu.
᪥᪥᪥
Hari-hari berlalu dengan lambat. Setiap sudut rumah Aura terasa sepi dan penuh kenangan. Kehilangan kedua orang tua dalam waktu yang berdekatan meninggalkan luka yang dalam di hati gadis remaja itu. Namun, hidup harus terus berjalan.
Claudia, yang tak tega melihat Aura hidup sendirian, menawarkan untuk membawa gadis itu ke rumahnya. Awalnya, Aura merasa enggan. Ia tak ingin merepotkan keluarga Adhiyaksa, namun Claudia bersikeras.
"Ini bukan hanya tentang menjaga, Aura. Kami ingin kamu merasa seperti bagian dari keluarga kami," kata Claudia suatu sore, beberapa minggu setelah pemakaman.
Beberapa bulan kemudian, Aura akhirnya memutuskan untuk tinggal bersama keluarga Adhiyaksa. Meski masih ada keraguan di hatinya, ia tak bisa terus menerus menolak kebaikan mereka.
Pada awalnya, Raga (Anak Laki-laki sebelumnya),menyambut Aura dengan tangan terbuka. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai merasa cemburu. Perhatian Claudia yang dulu sepenuhnya untuknya kini terbagi. Ketika Raga sakit, Claudia hanya menyuruh bibi merawatnya, sedangkan jika Aura sakit, Claudia sendiri yang merawatnya dengan penuh kasih.
"Kenapa mama lebih memperhatikan Aura daripada aku?" batin Raga setiap kali melihat Claudia merawat Aura. Kebencian itu tumbuh, menghancurkan kedekatan yang dulu mereka miliki. Aura merasa bersalah, tapi tak tahu bagaimana memperbaiki situasi. Claudia, menyadari kesalahannya, berusaha memperbaiki hubungan, namun Raga yang keras kepala terus menolak.
Hubungan yang dulu erat kini renggang. Aura yang dulunya ceria kini menjadi pemurung, terjebak dalam kesedihan dan kebingungan. Bisakah Claudia memperbaiki kesalahannya dan menyatukan kembali keluarganya? Atau, apakah kebencian Raga akan terus memisahkan mereka?
---

KAMU SEDANG MEMBACA
AURA KASIH (Bunga Tanpa Akar)
Ficção AdolescenteAlways support story's Aura Kasih. "Tumbuh dari batang yang tak berakar, menghasilkan bunga yang indah." Perjalanan hidup seorang gadis remaja mencari pernyataan tentang dirinya yang telah di rahasiakan oleh kedua orang tuanya.