6

58 10 9
                                    

Majapahit, 1319

Jayanegara melamun sambil menatap ke arah mentari yang malu-malu menunjukkan sinarnya di ufuk timur. Ia mengambil capingnya dan berjalan menyusuri hutan. Sudah dua hari ia berdiam di tempat terpencil di desa Badendar sembari menyusun rencana untuk mengambil kembali takhta kerajaan yang direbut oleh Ra Kuti.

Saat berjalan keluar dari hutan netranya melihat seorang gadis berdiri di bawah pohon dengan rambut hitam panjang tergerai, jarik yang sedikit usang dan selendang berwarna biru yang menutupi pundak kecilnya.

Jayanegara menghampiri gadis itu bersamaan dengan ia menoleh ke belakang dengan selendangnya yang tertiup angin dan membuat wajah gadis itu tertutup. Jayanegara menarik selendang itu dan terpana dengan wajah cantik di hadapannya.

"Nimas?" tanyanya

Gadis itu menatapnya dan tiba-tiba menarik lengan kokohnya. Jayanegara terkejut dengan mata yang terbuka lebar.

"Akhirnya kau datang juga, kau tahu seberapa lama aku menunggu? Aditya bilang kau akan datang saat subuh, jadi aku menunggumu. Akan aku panggilkan Aditya, Aditya! Aditya! dia sudah datang!" ujar gadis itu.

Pria yang dipanggil Aditya pun muncul dan terkejut melihat siapa yang datang. Jayanegara pun sama terkejutnya melihat keberadaan sepupunya, Adityawarman.

"Hei, jangan melamun! Ayo cepat tukang urutnya sudah datang!"

"Ratih, kau tahu siapa dia—"

"Benar, aku tukang urut yang kau panggil itu. Maaf membuatmu menunggu lama, Nimas Ratih," kata Jayanegara. Ia memberi isyarat pada Adityawarman untuk tak membuka identitasnya.

"Lihat? Ayo cepat, Ibuku sudah menunggu."

Ratih menunjukkan jalan ke arah rumahnya sembari berdebat kecil dengan Adityawarman. Jayanegara merasakan perasaan aneh dalam hatinya. Wajah manis gadis bernama Ratih di depannya membuat ia sulit untuk mengalihkan pandangannya.

"Oh iya, siapa nama temanmu ini Aditya?" tanya Ratih

Adityawarman terdiam sulit untuk menjawab pertanyaan Ratih. Pikirannya mencoba mencari nama yang cocok untuk dijadikan nama samaran bagi Jayanegara.

"Jaya, kau bisa memanggilku Jaya," kata Jayanegara membuat Ratih menatapnya dan tersenyum ramah.

"Jaya yah, namamu mirip seperti nama dari Gusti Prabhu," ujar Ratih membuat Jayanegara berdeham dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Mungkin hanya kebetulan, apakah kau asli dari sini?" tanya Jayanegara. Adityawarman menangkap ada yang berbeda dengan sepupunya pun mengernyit dengan wajah curiga.

"Aku memang lahir disini, tapi sejak kecil aku tinggal di Daha bersama Romo¹, dan aku baru kembali ke kotaraja² beberapa minggu yang lalu," jelas Ratih

Jayanegara mengangguk paham. Begitu rupanya, pantas saja ia tidak mengenali wajahnya. Rupanya ia baru datang dari Daha.

Setelah beberapa waktu, mereka pun sampai di rumah gadis itu. Di halaman rumah gubuk itu terliha seorang wanita paruh baya yang sedang memilah jerami yang tak lain adalah ibu dari gadis bernama Ratih ini. Saat mengenali siapa yang datang, ia segera bersujud di tanah saat melihat dua pria bangsawan yang berjalan bersama anaknya.

"Hormat hamba, Gusti Prabhu!" ujar wanita itu dengan suara yang gemetar.

Ratih terkejut lalu menatap ke arah pria bernama Jaya itu.

"Gusti Prabhu? Jadi kau ... raja Jayanegara?" tanya nya ragu-ragu.

Ratih segera bersujud di tanah dan menunduk takut. Ratih merasa bodoh karena tidak mengenali wajah dari raja yang berkuasa di Nusantara ini. Dengan kurang ajarnya ia malah menarik lengan dari pria itu sembarangan dengan tangan kotornya.

Jayanegara terkekeh ringan saat melihat Ratih ikut bersujud saat mengetahui identitas aslinya. Ah, padahal ia berniat menyembunyikannya lebih lama lagi agar bisa lebih dekat dengan gadis di depannya ini.

"Bangunlah, angkat kepalamu, Nimas."

Ratih mendongak perlahan-lahan dengan wajah malu. Ia mendapati wajah Adityawarman yang terlihat seolah-olah mengejeknya. Dalam hati ia ingin sekali memukul wajah menyebalkan milik Adityawarman itu.

"Ada apa gerangan Gusti Prabhu berkunjung ke gubuk tua hamba?" tanya Ibu Ratih. Ratih menatap Adityawarman meminta bantuan pria itu. Namun ia masih asik diam dan meledeknya dengan menjulurkan lidahnya membuat Ratih berdecak.

"Aku tidak sengaja bertemu dengan Nimas Ratih dan Adityawarman mengatakan ia mengenal gadis ini, dan secara kebetulan aku sedang berbincang dengan Adityawarman."

Penjelasan Jayanegara membuat Ratih menoleh padanya namun secepat kilat Ratih menunduk untuk menghindari tatapan pria itu.

Ada rasa geli tersendiri pada hati Jayanegara saat melihat tingkah Ratih. Ia diam-diam menatap ke arah Jayanegara dan sesekali tatapan mereka bertemu dan entah mengapa jantungnya berdetak lebih kencang saat melihat wajah Jayanegara. Jayanegara pun merasakan hal yang sama namun ia dengan cepat menepisnya bersamaan dengan dirinya yang di persilahkan masuk oleh Ibu Ratih.

'Ratih ... nama yang indah' batin Jayanegara.

TBC

HAIIII

Aku baru up nihh btw we back to Wilwatikta eraa yahhh 🏃🏻‍♀️

1. Romo : Ayah
2. Kotaraja : Ibukota di suatu kerajaan pada masa kerajaan Majaphit

Not a Bad KingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang