Tiga

24 1 0
                                    

Erik tidak menyerah. Meski Hana terus menolak dan menghinakan dirinya sendiri, Erik tetap berada di sisinya setiap hari. Dia menghabiskan waktu untuk merawat Hana, mencoba membuatnya tersenyum, dan yang terpenting, berusaha untuk menghilangkan pikiran negatif yang terus menyelimuti wanita yang pernah ia cintai.

"Hana, kau sangat berarti bagiku. Kau spesial. Hanya kau satu-satunya wanita yang kucintai selama ini," Erik mengucapkan kata-kata itu dengan penuh kesungguhan, berharap bisa menghapus keraguan Hana.

Namun, Hana hanya menatapnya dengan mata penuh kepahitan. "Bohong! Kau pembohong! Kalau kau mencintaiku, kenapa kau menceraikanku? Kau hanya menginginkan anak, dan aku tak bisa memberikannya. Sekarang aku lumpuh. Apa gunanya aku?"

Kata-kata Hana menusuk hati Erik. Dia tahu bahwa masa lalunya penuh kesalahan dan keputusan yang salah, tetapi dia bertekad untuk membuktikan bahwa dia telah berubah. "Hana, aku mengakui bahwa aku membuat kesalahan besar. Aku bodoh karena tidak melihat betapa berharganya dirimu. Aku salah karena mengukur nilai seseorang dari hal yang tidak penting. Kau lebih dari sekadar kemampuan untuk memiliki anak. Kau adalah wanita yang kuat, cerdas, dan penuh kasih."

Hana menunduk, air mata mengalir deras di pipinya. "Aku hanya akan menjadi beban bagimu, Erik. Aku tak bisa berjalan, aku tak bisa memberikanmu anak. Aku tak berguna."

Erik merasa hatinya hancur mendengar Hana terus merendahkan dirinya. Dengan lembut, dia mengangkat dagu Hana, memaksa mata mereka bertemu. "Hana, kau bukan beban. Aku yang salah di masa lalu, bukan dirimu. Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin kau tahu bahwa kau sangat berarti bagiku, tidak peduli apa pun kondisimu."

"Bagaimana aku bisa percaya padamu lagi?" Hana berbisik, suaranya penuh keraguan.

Erik menarik napas dalam, lalu berkata dengan suara penuh ketulusan, "Aku akan membuktikannya dengan setiap tindakan, setiap hari. Aku akan ada di sini untukmu, mendukungmu, mencintaimu, dan tidak pernah meninggalkanmu lagi. Aku ingin kita membangun hidup bersama, meski itu berarti mulai dari awal lagi."

Hana terdiam, hatinya berperang antara percaya dan ragu. Erik melihat kesempatan untuk melanjutkan, "Aku tidak bisa mengubah masa lalu, Hana. Tapi aku bisa berusaha untuk membuat masa depan kita lebih baik. Kau tidak sendirian dalam hal ini. Aku akan berada di sini setiap langkah, setiap hari, tidak peduli betapa sulitnya itu."

Hana menatap Erik dengan mata penuh air mata. "Aku takut, Erik. Aku takut menjadi beban. Aku takut kamu akan meninggalkanku lagi."

Erik menggenggam tangan Hana dengan lembut, memberikan kehangatan dan kenyamanan. "Aku tidak akan meninggalkanmu lagi, Hana. Aku berjanji. Mari kita hadapi ini bersama. Kau tidak perlu takut, karena aku akan selalu ada di sini."

Perlahan, Hana merasakan ketulusan dalam kata-kata Erik. Meskipun hatinya masih penuh luka dan keraguan, dia tahu bahwa Erik benar-benar ingin memperbaiki kesalahannya. Hana mengambil napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk percaya lagi.

"Baiklah, Erik. Aku akan mencoba untuk percaya padamu. Tapi aku butuh waktu. Aku butuh melihat bahwa kau benar-benar tulus," kata Hana dengan suara bergetar.

Erik tersenyum penuh haru. "Terima kasih, Hana. Aku akan membuktikannya setiap hari. Aku akan selalu ada di sini untukmu, tidak peduli apa pun yang terjadi."

Hana mengangguk pelan, masih penuh dengan keraguan, tetapi juga sedikit harapan. Mungkin, hanya mungkin, mereka bisa membangun kembali sesuatu yang hancur dan menemukan kembali cinta yang pernah mereka miliki. Dengan dukungan dan ketulusan Erik, Hana mulai melihat secercah harapan dalam hidupnya yang baru.

Kondisi mental Hana semakin memburuk seiring berjalannya waktu. Dia semakin sering menyalahkan dirinya sendiri dan merasa kehilangan identitasnya. Setiap hari adalah perjuangan berat untuknya, dan tekanan yang dirasakannya semakin menghancurkan semangat hidupnya.

Erik, yang kini benar-benar berubah, senantiasa berada di sisinya. Dia menjaga Hana dengan penuh kasih sayang dan perhatian. Setiap hari dia mencoba menunjukkan betapa berharganya Hana bagi dirinya. Namun, rasa sakit dan kesedihan Hana tampaknya semakin dalam, dan Erik merasa tak berdaya melihat wanita yang dicintainya semakin terpuruk.

"Hana, kau tahu betapa aku mencintaimu. Tolong, jangan menyerah," kata Erik suatu malam saat mereka duduk di samping tempat tidur.

Hana hanya menatap ke arah jendela, matanya kosong. "Aku bukan siapa-siapa, Erik. Aku tidak bisa berjalan, aku tidak bisa memberikanmu anak. Aku hanya beban."

Erik merasa hatinya hancur mendengar kata-kata itu. "Hana, kau bukan beban. Kau adalah orang yang paling berarti dalam hidupku. Aku mencintaimu apa adanya."

Namun, Hana tidak tergerak. Dia merasa dirinya tidak berharga dan kehilangan arah. Hari-hari berlalu dengan Hana yang terus-menerus menyalahkan dirinya sendiri, dan Erik yang tidak pernah lelah mencoba menghibur dan mendukungnya.

**********

Suatu malam, Erik menemukan Hana duduk di kursi roda, menangis dengan suara yang tak tertahankan. Dia segera menghampirinya dan memeluknya dengan lembut.

"Hana, aku di sini. Tolong, katakan padaku apa yang kau rasakan," kata Erik dengan suara lembut.

Hana tersedu-sedu di pelukannya. "Aku tidak tahu siapa diriku lagi, Erik. Aku merasa seperti kehilangan semuanya. Aku tidak bisa menerima kenyataan ini."

Erik mengelus rambut Hana dengan lembut. "Kau adalah wanita yang kuat, Hana. Meski kau merasa kehilangan, aku di sini untuk membantumu menemukan dirimu kembali. Kita akan melewati ini bersama."

Hana menggeleng lemah. "Aku tidak bisa, Erik. Terlalu sulit."

Erik merasa putus asa, namun dia tahu bahwa dia tidak bisa menyerah. "Hana, aku tahu ini berat. Tapi kau tidak sendiri. Aku mencintaimu, dan aku akan selalu berada di sini untukmu. Mari kita hadapi ini bersama."

Erik akhirnya memutuskan untuk mencari bantuan profesional. Dia menghubungi seorang terapis yang berpengalaman dalam menangani trauma dan depresi. Hana pada awalnya enggan, namun setelah Erik membujuknya dengan penuh kasih sayang, dia setuju untuk mencoba.

Sesi terapi pertama sangat emosional. Hana menceritakan perasaan dan pikirannya yang selama ini terpendam. Terapis tersebut membantu Hana untuk memahami bahwa perasaan yang dialaminya adalah valid dan memberikan cara-cara untuk mengatasinya.

"Penting untuk mengakui perasaanmu, Hana. Kau telah melalui banyak hal, dan tidak ada yang salah dengan merasa sedih atau marah. Yang penting adalah bagaimana kita menghadapi perasaan itu dan menemukan cara untuk melanjutkan hidup," kata terapis dengan lembut.

Bulan demi bulan berlalu, dan perlahan-lahan, Hana mulai menemukan kembali sedikit kekuatan dalam dirinya. Dengan dukungan Erik dan bantuan terapi, dia belajar untuk menerima kondisinya dan menemukan cara baru untuk merasakan kebahagiaan. Meski perjalanan ini masih panjang, Hana tidak lagi merasa sendirian.

Erik selalu berada di sisinya, membantunya melalui hari-hari berat dan merayakan setiap kemajuan kecil. Mereka mulai membangun kembali hubungan mereka, kali ini dengan fondasi yang lebih kuat dan penuh pengertian.

"Hana, aku bangga padamu. Kau telah menunjukkan keberanian yang luar biasa," kata Erik suatu hari ketika mereka sedang duduk di taman, menikmati matahari terbenam.

Hana tersenyum tipis, meski masih ada bayangan kesedihan di matanya. "Terima kasih, Erik. Aku tidak akan bisa melalui semua ini tanpa dirimu."

"Kita melalui ini bersama," jawab Erik sambil menggenggam tangan Hana dengan lembut. "Aku mencintaimu, apa pun yang terjadi."

Dan di tengah perjuangan mereka, Hana mulai merasakan secercah harapan dan cinta yang perlahan-lahan mengisi hatinya yang kosong. Dengan waktu, dukungan, dan cinta, dia tahu bahwa dia bisa menemukan kembali identitasnya dan merasakan kebahagiaan yang sejati, meski dalam kondisi yang berbeda dari sebelumnya.

Cinta yang terkikis [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang