Happy reading:3
******
Hana terus berjuang untuk menjaga profesionalisme di tempat kerja, meski di dalam hatinya selalu ada ketegangan setiap kali melihat Erik. Hari-hari di kantor berlalu dengan rutinitas yang padat, namun Hana mulai menemukan ritme dan kenyamanan dalam pekerjaannya. Sementara itu, Erik tetap bersikap profesional dan jarang berinteraksi langsung dengan Hana.
Suatu hari, Hana mendapat kesempatan untuk mempresentasikan ide usaha dagangnya yang inovatif. Presentasinya mengenai potensi kerjasama dengan perusahaan yang memiliki ladang keuangan besar menarik perhatian banyak orang, termasuk Erik.
"Ini ide yang brilian, Hana. Saya setuju untuk kita lanjutkan," kata Erik saat rapat tim. Hana merasa lega dan bangga bahwa usahanya diakui.
Dua bulan kemudian, ide Hana telah berhasil diterapkan dan menunjukkan hasil yang positif. Hana pulang dari kantor dengan perasaan puas dan bangga. Namun, nasib berkata lain.
Di tengah perjalanan pulang, saat Hana melintasi jalan yang biasa dilaluinya, sebuah mobil dengan kecepatan tinggi melaju tak terkendali. Dalam sekejap, mobil itu menabrak Hana dengan keras, membuat tubuhnya terlempar. Rasa sakit yang luar biasa segera menyelimuti tubuhnya yang terbaring tak berdaya di jalanan.
Hana merasakan tubuhnya mati rasa, darah mengalir keluar dari mulutnya. Pandangannya mulai kabur, namun ia masih bisa melihat kerumunan orang yang mulai mengelilinginya. Dari kejauhan, Erik yang kebetulan lewat tak sengaja melihat kejadian itu. Tanpa berpikir panjang, dia berlari ke arah Hana dengan panik.
"Hana! Hana!" teriak Erik, suaranya penuh dengan kepanikan dan ketakutan.
Namun, orang-orang di sekitar Hana telah menghubungi ambulans dan mencoba memberikan pertolongan pertama. Erik merasa putus asa saat dia melihat Hana yang terbaring dengan darah mengalir di sekelilingnya. Ketika Erik sampai di dekat Hana, para paramedis sudah mulai memasukkannya ke dalam ambulans.
"Hana, tolong bertahan!" kata Erik, meski dia tahu Hana mungkin tidak bisa mendengarnya lagi.
Ambulans dengan cepat melaju, meninggalkan Erik yang berdiri di tengah kerumunan, merasa tak berdaya. Hana kini dalam perjalanan menuju rumah sakit, dan Erik hanya bisa berharap dan berdoa agar dia selamat.
Erik segera menuju rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia merasa bersalah karena hubungannya dengan Hana di masa lalu yang penuh dengan ketegangan. Di sisi lain, dia sadar bahwa Hana adalah seseorang yang berarti baginya, meski dia tak pernah mengakuinya.
Di rumah sakit, Erik menunggu dengan cemas di ruang tunggu. Waktu terasa berjalan sangat lambat, setiap detik terasa seperti jam. Akhirnya, seorang dokter keluar dengan wajah serius.
"Apakah Anda keluarga dari Hana?" tanya dokter itu.
"Saya... Saya mantan suaminya," jawab Erik dengan suara gemetar.
"Keadaannya sangat kritis. Kami akan melakukan yang terbaik, tapi saat ini dia berada dalam kondisi yang sangat lemah."
Erik merasa dunianya runtuh. Dia duduk, merasa tak berdaya, dan hanya bisa berdoa untuk keselamatan Hana. Dalam benaknya, Erik teringat semua kenangan bersama Hana, mulai dari saat mereka bahagia hingga saat perpisahan yang pahit. Kini, dia menyadari bahwa dia mungkin tidak akan pernah punya kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya.
Di ruang operasi, Hana berjuang antara hidup dan mati. Tubuhnya yang terluka parah menerima perawatan intensif dari tim medis yang berdedikasi. Meski dalam keadaan tak sadar, hati kecil Hana berjuang keras untuk bertahan, untuk sebuah harapan bahwa hidupnya belum berakhir di sini.
Dan Erik, duduk di luar dengan penuh penyesalan dan doa, berharap bahwa masih ada kesempatan untuk sebuah akhir yang lebih baik.
*******
Keesokan harinya, Erik akhirnya diizinkan oleh dokter untuk mengunjungi Hana. Dengan hati yang penuh rasa bersalah dan cemas, ia berjalan menuju ruangan tempat Hana dirawat. Saat memasuki kamar, Erik melihat Hana yang duduk di tempat tidur, pandangannya kosong menatap kakinya. Di sebelah tempat tidur, sebuah kursi roda menunggu, memberikan petunjuk yang mengerikan tentang kondisi Hana.
"Hana, apa yang terjadi?" tanya Erik dengan suara bergetar.
Hana tetap terdiam, tak sedikit pun mengalihkan pandangan dari kakinya. Erik kemudian melihat ke arah meja samping tempat tidur dan menemukan kertas biodata medis Hana. Di situ tertulis bahwa Hana mengalami kelumpuhan kaki dan tidak akan bisa berjalan lagi seumur hidupnya.
Perasaan bersalah semakin menghantui Erik. Dia mendekati Hana, mencoba untuk menenangkan dirinya.
"Hana, jangan khawatir. Aku di sini untukmu," kata Erik lembut, berusaha menenangkan Hana.
Namun, Hana hanya terdiam, masih terpaku pada kakinya yang kini tak bisa lagi dia gerakkan. Erik merasa semakin putus asa melihat wanita yang pernah ia cintai kini berada dalam kondisi seperti ini. Dia tahu bahwa banyak yang harus dia tebus, dan dia ingin membuktikan bahwa dia bisa menjadi orang yang lebih baik.
Hari itu, Erik terus berusaha untuk menunjukkan perhatiannya. Dia berada di sisi Hana, mencoba menghiburnya dengan kata-kata dan janji-janji untuk masa depan yang lebih baik. Namun, Hana tetap tidak merespons, hingga akhirnya Erik mencoba membujuknya untuk memaafkan dan kembali padanya.
"Hana, aku mohon, maafkan aku. Aku sadar betapa bodohnya aku telah membuang permata yang mencintaiku apa adanya. Aku ingin kita kembali bersama. Aku ingin memperbaiki semuanya," kata Erik dengan suara penuh penyesalan.
Hana akhirnya mengalihkan pandangannya dari kakinya dan menatap Erik. Matanya yang dulu penuh semangat kini hanya menyimpan rasa sakit dan kepahitan.
"Untuk apa, Erik? Kalau aku yang masih bisa berjalan saja kau buang, apalagi kalau aku lumpuh? Bukankah ini menyedihkan?" jawab Hana dengan suara lemah namun penuh emosi.
Erik terdiam, tak mampu menjawab pertanyaan yang begitu menyayat hati itu. Dia tahu bahwa kata-kata Hana benar. Di masa lalu, dia telah menceraikan Hana hanya karena ketidakmampuan Hana untuk memiliki anak. Sekarang, bagaimana dia bisa meyakinkan Hana bahwa dia akan bertahan dalam situasi yang jauh lebih sulit ini?
Hana menundukkan kepalanya, air mata mengalir di pipinya. "Aku tidak bisa mempercayaimu lagi, Erik. Rasa sakit yang kau tinggalkan terlalu dalam. Aku harus belajar untuk menerima dan hidup dengan keadaanku sekarang. Sendirian."
Erik merasa hatinya hancur mendengar kata-kata Hana. Dia menyadari bahwa penyesalannya mungkin datang terlambat. Dengan berat hati, dia keluar dari kamar rumah sakit, meninggalkan Hana yang masih berjuang dengan kenyataan barunya.
Di luar kamar, Erik duduk di kursi ruang tunggu, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dia menangis, merasakan beban penyesalan yang tak tertahankan. Dia kehilangan seseorang yang begitu berharga, dan dia tahu bahwa semua ini adalah akibat dari keputusannya yang salah di masa lalu.
Hana, di sisi lain, mulai mencoba menerima kenyataan baru dalam hidupnya. Meski berat, dia tahu bahwa dia harus menemukan kekuatan dalam dirinya untuk melanjutkan hidup. Kelumpuhan fisik mungkin membatasi geraknya, tetapi dia bertekad bahwa jiwanya tidak akan lumpuh. Hana akan terus berjuang, mencari harapan dan kebahagiaan dalam setiap langkah yang bisa dia ambil, meskipun kini hanya dengan bantuan kursi roda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta yang terkikis [TAMAT]
Aventure"Aku ingin kita cerai..." katanya dengan nada dingin "A-apa? Tapi kenapa mas?" "Kau tak berguna karena tak bisa membuatkan ku keturunan" Wanita itu begitu shock hingga dia terduduk lemas.