Pagi menjelang, sinar matahari menyelinap masuk melalui celah tirai. Denis bangun dengan perasaan campur aduk —bahagia karena akhirnya bisa merasakan Bram, tetapi juga merasa bersalah. Dia menghela napas dan mencoba menenangkan diri.Denis pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka, mencoba menghilangkan rasa lelah yang semalaman menghantuinya. Sementara itu, di kamar lain, Bram terbangun dengan perasaan lemas dan sedikit kebingungan. Ia merasa seperti bermimpi melakukan hubungan badan dengan Nisa, tetapi kenapa tubuhnya terasa begitu aneh?
Bram memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya dan menganggap itu hanya efek dari kelelahan bekerja akhir-akhir ini. Ia berjalan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan.
•
Di meja makan, Denis merasa sedikit canggung saat melihat Bram yang sedang sibuk menyiapkan sarapan. Dia berusaha bertingkah normal meskipun hatinya masih berdebar kencang.
Bram: "Pagi, Nis. Ayo sarapan dulu. Mas buat omelet dan roti panggang."
Denis: "Pagi, Mas. Makasih ya, Mas. Tumben masak pagi-pagi begini."
Bram: "Iya, karena Nisa masih dinas luar kota, jadi Mas yang ambil alih dulu."
Denis duduk di meja makan, mencoba tetap tenang. Aroma sarapan yang dibuat oleh Bram terasa sangat menggugah selera. Mereka makan bersama dalam keheningan sejenak, hanya terdengar suara garpu dan pisau yang beradu dengan piring.
Selagi sarapan, ponsel Bram berbunyi. Sebuah pesan masuk dari istrinya, Nisa. Bram membuka ponselnya sambil makan.
Nisa: "Pagi, Sayang. Gimana kabarnya? Disana baik-baik aja kan? Aku udah kangen nih."
Bram tersenyum saat membaca pesan itu dan segera membalas.
Bram: "Pagi juga, Cinta. Aku baik-baik aja. Kerjaan agak sibuk, tapi masih bisa dihandle. Gimana perjalanan dinasnya? Aku juga kangen."
Nisa: "Alhamdulillah, perjalanan dinasnya lancar. Tapi aku kangen banget sama kamu. Hari ini kalau sempat, kita video call ya?"
Bram: "Pasti, sayang. Nanti aku kabari jam berapa bisa."
Di sudut lain meja makan, ponsel Denis juga bergetar. Sebuah pesan dari Nisa masuk, membuat Denis gugup sejenak. Ia membuka pesan tersebut dengan tangan sedikit gemetar.
Nisa: "Halo, Denis. Gimana keadaan dirumah? Kuliah mu gimana kemarin? Mbak minta tolong jaga rumah dan Mas Bram ya."
Denis: "Hai, Mbak. Aku baik-baik saja, kok. Mana ada yang sibuk, cuma standar tugas kuliah aja. Makasih ya udah ngabarin. Mbak di sana gimana?"
Nisa: "Aku baik-baik saja. Alhamdulillah, perjalanan dinasnya lancar. Aku kangen sama kalian berdua. Nggak sabar mau pulang."
Denis tersenyum kecil setelah membaca pesan itu, meskipun di dalam hatinya terdapat pergolakan perasaan yang tidak bisa dia ungkapkan. Dia membalas pesan itu dengan sopan.
Denis: "Kami juga kangen, Mbak. Semoga lancar terus ya dinasnya. Pulang biar kita bisa kumpul lagi."
Bram menatap Denis dengan senyum hangat saat melihat adik iparnya juga berinteraksi dengan Nisa.
Bram: "Nisa juga nanyain kabarmu, ya?"
Denis (tersenyum canggung): "Iya, Mas. Dia selalu perhatian sama kita."
Bram: "Iya, makanya aku bersyukur punya istri seperti Nisa."
Mereka melanjutkan sarapan mereka dalam diam. Setelah selesai, Bram memeriksa jam tangan dan bersiap-siap untuk pergi bekerja. Denis merasa sedikit lega karena Bram akan pergi, memberikan waktu untuk merenung dan mencoba mengatasi perasaannya.
•
Bram: "Aku berangkat dulu ya, Nis. Kamu jaga rumah baik-baik, nanti sore aku pulang."
Denis: "Iya, Mas. Hati-hati di jalan."
Bram tersenyum dan menepuk pundak Denis dengan lembut sebelum meninggalkan rumah. Denis menghela napas panjang setelah pintu tertutup di belakang Bram. Dia tahu bahwa perasaannya kepada Bram tidak benar, tetapi semakin sulit baginya untuk menghilangkan rasa itu.
Selama seharian, Denis mencoba fokus pada tugas-tugas kuliahnya. Dia menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan agar tidak terus terpikirkan tentang Bram. Namun, bayangan kejadian semalam terus muncul di benaknya. Denis tahu bahwa dia harus mencari cara untuk mengatasi perasaan ini dengan cara yang sehat.
Pada siang hari, saat Denis sedang membaca buku di ruang tamu, ponselnya kembali bergetar. Sebuah pesan dari Nisa masuk, menanyakan kabar Denis lebih lanjut.
Nisa: "Denis, Mbak bener-bener kangen. Sabar ya, tinggal beberapa hari lagi aku pulang. Sampai ketemu nanti."
Denis membalas pesan itu dengan perasaan campur aduk.
Denis: "Iya, Mbak. Aku juga kangen. Semoga lancar terus dinasnya, ya. Nggak sabar nunggu Mbak pulang."
Sore hari, saat Bram kembali dari kantor, Denis berusaha bersikap biasa meskipun hatinya masih diliputi kegelisahan. Saat malam tiba, Denis mendengar suara mobil Bram memasuki halaman. Ia merasa gugup, tidak tahu bagaimana harus bersikap di hadapan Bram setelah apa yang terjadi semalam. Bram masuk ke dalam rumah dengan wajah lelah namun tetap tersenyum.
Bram: "Denis, Mas pulang."
Denis: "Selamat datang, Mas. Capek ya?"
Bram: "Iya, lumayan. Kerjaan di kantor lagi banyak-banyaknya."
Mereka duduk di ruang tamu, suasana agak canggung. Denis memutuskan untuk memulai percakapan agar suasana tidak terlalu tegang.
Denis: "Gimana kerjaannya, Mas? Semoga nggak terlalu stres."
Bram: "Kerjaan sih banyak, tapi ya begitulah, sudah kewajiban. Eh, tadi Nisa ngabarin kalau dia bakal pulang beberapa hari lagi. Jadi rumah bakal rame lagi."
Denis: "Oh, bagus deh. Aku senang kalau Mbak Nisa udah bisa pulang."
Bram tersenyum dan mengangguk, lalu mereka melanjutkan menonton televisi. Dalam keheningan itu, Denis mencoba menenangkan hatinya. Namun, tiap kali melihat Bram, gairah itu kembali menghantui.
•
Malam itu, dengan kegelisahan yang masih menggantung di benaknya, Denis merenung di kamarnya. Ia tahu bahwa situasi ini tidak bisa berlangsung lama dan harus ada penyelesaian. Pertanyaan besar yang menghantui adalah: sampai kapan dia bisa menahan perasaannya sendiri dan apakah dia bisa mengatasi perasaan itu tanpa merusak hubungan dengan Bram dan Nisa?
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Forbidden Love [Ipar]
Teen Fiction⚠️ THIS STORY CONTAIN LGBT & NSFW CONTENT ⚠️ Denis diam diam mencintai Kakak iparnya, Mas Bram. bagaimana kisah cinta Denis? Apakah dia akan mendapatkan cinta atau harus merelakan cintanya. Apakah Denis bisa mendapatkan tubuh kekar Bram?