Meskipun rumah itu terlihat megah dan hangat namun nyatanya kehangatan itu sudah hilang sejak empat tahun lalu. Meskipun begitu, semua masih tetap sama hanya perasaan dan kehangatan di dalamnya yang hilang.
"Tuan, bunga tulip berwarna merah yang dipesan kemarin dari Turki sudah sampai. Apakah perlu saya jajarkan di taman?" Pria yang duduk sambil menatap ke arah laptopnya itu mengangguk mantap. "Pastikan bunga itu berjajar dengan rapih di taman, itu bunga kesukaan istri saya."
Tangan kanan milik pimpinan keluarga mitz itu mengangguk sendu. Ia bisa rasakan betapa banyak cinta dan rindu yang tuannya itu rasakan. Alfa sudah bekerja hampir 40 tahun di keluarga ini, tak pernah terbayang bahwa kepergian nyonya besarnya bisa membawa perubahan yang begitu signifikan pada mansion ini. Ia hanya bisa terus berharap bahwa takdir akan mempertemukan kedua pasangan itu kembali.
"Meera saya selalu siapkan banyak hal yang kamu suka. Dapur itu selalu saya pastikan rapih dan wangi agar saat kamu tiba kamu akan senang. Bunga tulip favoritmu saya selalu jajarkan di taman agar saat kamu datang kesini kamu tidak kecewa. Kapan kamu akan kembali kesini, Meera? Saya ingin sekali bersama kamu lagi. Dimana lagi saya harus mencari kamu, Meera?"
Ditengah ratapan lirih itu, pintu besar yang terpampang nyata di depannya terbuka, menampilkan pria berbaju hitam yang berjalan dengan tergesa-gesa. "Maaf tuan saya mendapat kabar dari bodyguard tuan muda Griffin bahwa tuan muda belum kembali ke hotel tempat ia seharusnya bermalam sampai sekarang. Tuan muda menolak untuk diikuti karena katanya ia hanya akan pergi untuk mencari angin. Ponsel tuan muda juga tidak aktif tuan. Apakah perlu saya suruh Alfa kesana?"
"Bagaimana kalian bisa kehilangan Griffin. Bukankah saya sudah bilang untuk mengikutinya kemanapun dia pergi. Siapkan pesawat saya ke Surabaya sekarang!"
Amarah dan rasa khawatir memuncak begitu jelas disana. Walaupun Griffin, bungsunya itu sudah besar namun hatinya masih selalu was-was tiap kali anak itu terlalu jauh dari pengawasannya. Apalagi anak bungsunya itu kelakuannya tidak bisa ditebak dan kadang membahayakan diri sendiri. Ia tak bisa melakukan apapun lagi sekarang selain menyusul bungsu nakalnya itu.
🍓ᩍ ꔫ 🍼 ྀི. ݁𖦹₊ 🐰⊹ ᥫ᭡
Cameera merasa aliran darah dan detak jantungnya berhenti sesaat setelah melihat insan didepannya. Ia tidak pernah menyangka hari ini akan datang, saat dimana manik hazel itu menatap dirinya dengan mata berkaca-kaca. Pria yang ia besari dengan penuh kasih sayang dan cinta itu berdiri tegak didepannya. Tubuhnya bergetar bahkan kakinya bergerak untuk maju dengan sendirinya beriringan dengan rasa kangen yang memuncah.
"I-fin. Anak Ma-ma." Ia menelusuri wajah yang tidak banyak berubah sejak empat tahun lalu itu. Maniknya yang masih terlihat penuh binar. Alisnya yang menukik tajam. Bibirnya yang tipis dan berwarna merah muda. Hanya saja anak itu semakin tinggi dan Cameera semakin menyesali bahwa ia tidak bisa ikut serta melihat pertumbuhan pria dihadapannya.
"Iya, I-ni Ifin. Ifinnya mam-a."
Setelah itu Griffin memeluk Cameera dengan begitu erat. Ini pelukan yang selalu ia tunggu setiap malam. Raga yang selalu ia nantikan kedatangannya. Acara berpelukan dan penuh tangisan itu berakhir cukup lama sampai-sampai si kecil yang daritadi berdiri di sebelah mereka hanya memperhatikan sambil sesekali membuka permen stoberi yang penuh di tasnya.
Namun setelah akhirnya Griffin melepas pelukan itu ia baru sadar satu hal. "Itu siapa ma?" Griffin menatap dengan tatapan penuh selidik ke arah buntalan yang mengemut permen stoberi di sebelahnya. Ada perasaan aneh yang muncul di hatinya.
"Koa namanya. Koashter Railey Mitz."
Saat mendengar nama itu ia langsung dapat mencerna semuanya. Itu adiknya. Adik yang kehadirannya bahkan tak ia ketahui.
🍓ᩍ ꔫ 🍼 ྀི. ݁𖦹₊ 🐰⊹ ᥫ᭡
Manik Griffin menatap dengan penuh minat pada pria kecil yang tingginya bahkan lebih pendek dari betisnya. Saat dilihat lebih dekat ia masih tidak percaya bahwa gen papa dan mamanya bisa menciptakan mahluk segemas ini. Mata bulat yang dalamnya penuh sinar, hidung bulat nan lucu itu yang walaupun begitu tetap terlihat mancung, bibir merah muda yang tampak kecil di matanya sekarang. Bagian favoritnya adalah pipi gembil milih sang adik yang benar-benar penuh lemak. Ia jadi berpikir kenapa bisa adiknya segemas ini. Rasanya tubuh bocah itu diselimuti oleh bubuk soda kue saking mengembangnya bocah bernama Koa itu.
Koa yang merasa acara makannya ditatap terus-menerus oleh kakak didepannya memiringkan kepala. Ia menyodorkan roti stoberi yang sudah ia gigit setengah. "Kakak mau? Loti stobeli enak cekali loh. Mau ndak kakak?"
Griffin menunjukan senyumnya menatap tingkah lucu mahluk di depannya itu. "Koa kakak lebih mau tangan kamu daripada roti stoberi. Kenapa tangan Koa terlihat sebelas duabelas sama roti itu? Lama-lama kalau kamu terlalu banyak makan roti, kamu akan jadi roti."
Mendengar ucapan milik Griffin, Koa langsung membuang rotinya dan berjalan menuju Griffin. Matanya yang bulat itu semakin bulat seiringan dengan tangisnya yang sudah diujung. Koa merentangkan tangannya keatas, ia meminta masuk dalam gendongan Griffin. Tidak usah kaget akan perilaku Koa ia memang bocah yang sangat ekstrovert bahkan boneka aja diajak temenan.
"Koa ndak mau dipanggang kakak. Koa leleh nanti ndak bisa ketemu mama dan kiki dan stobeli. Pelmen stobeli Koa belum Koa makan! Koa ndak mau makan loti lagi. Hiks.." Pecah sudah tangis bocah mungil itu setelah menjelaskan panjang lebar dihadapin Griffin yang justru gemas dengan tingkah Koa.
Setelah mendengar tangis Koa yang makin keras, Griffin jadi merasa agak bersalah. Ia tepuk punggung kecil itu dan mengambil roti yang masih ada di meja. "Maaf Koa, kakak bercanda. Nih makan lagi ya? Koa tidak akan jadi roti. Sudah jangan menangis lagi, maafkan kakak ya, Koa." Ia mencium pipi itu lalu menghapus aliran air mata milik si kecil. Griffin baru menyadari satu hal si kecil benar-benar beraroma stoberi. Apakah ini efek karena terlalu banyak memakan stoberi?
"Ifin, adikmu itu jangan dibuat menangis. Pasti kamu bicara hal-hal aneh lagi kan? Sini, biar mama yang gendong Koa. Kamu makan dulu."
Griffin hanya tertawa saat ditegur oleh sang mama. Sekarang Koa sedang berada di gendongan Cameera tampaknya bocah itu sudah mengantuk mengingat hari sudah menunjukkan pulul delapan malam, sudah melebihi jam tidur si kecil. Sementara, Griffin memakan dengan tenang, jari Cameera bergerak gelisah sampai akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya.
"Ifin kenapa bisa ada di Surabaya? Ifin disini sama siapa, nak?"
Griffin tahu dengan jelas topik pembicaraan ini akan pergi kemana. "Ifin disini buat study tour, mama. Hanya sendiri dan bersama bodyguard yang papa kirim untuk jaga Ifin. Papa ada di Jakarta kalau mama mau tau. Anak mama yang lain juga baik-baik aja." Griffin bisa lihat dengan jelas raut kecewa milik mamanya. Ia pasti ingin bisa menemui yang lainnya juga.
"Ifin sudah kabarin kalau Ifin disini? Jangan bikin papa dan kakak yang lain khawatir, nak."
Griffin tersenyum hangat ke arah mamanya, "Mama tenang saja papa nggak akan biarin Ifin disini sendirian." Benar saja. Pintu cafe milik Cameera didobrak dengan kasar dari depan. Ia bisa melihat orang-orang berkumpul disana dengan jas hitamnya. Cameera bisa dengan mudah menebak pria-pria dihadapannya. Namun maniknya gagal fokus menatap pria yang berdiri dengan tegas di tengah sana.
TBC PEEPS 😋🙌🏻...
KAMU SEDANG MEMBACA
Koa's Little World
Ficción GeneralUlang tahun Koa tahun ini masih sama seperti sebelumnya, hanya ada kue stoberi kesukaan Koa dan mama. Namun sepertinya tahun ini ada hadiah spesial yang menanti Koa, papa dan kakak.