Pertemuan pertama

13 2 0
                                    

Tokyo, Jepang

Kota modern yang selalu sibuk dengan pekerjaan mereka, tak terkecuali seorang bos muda satu ini, berniat liburan ke desa daerah Hokkaido untuk melepas penat selama bekerja tanpa henti kurang lebih 2 tahun lamanya.

Malam yang masih ramai dengan lalu lalang mobil, penjalan kaki, dan karyawan pulang bekerja. Seorang lelaki tampan sedang menatap layar tabnya untuk melihat jadwal selanjutnya, hari ini pekerjaannya harus selesai sebelum ia pergi liburan.

"Tuan, apakah hari ini anda jadi pergi ke Hokkaido?" tanya sopir melirik dari kaca kecil dalam mobil dekat bagian setir.

Pria tersebut tak menjawab karena kebiasaannya yang fokus terhadap pekerjaannya sejak kecil sifat ini sudah di terapkan oleh penerus keluarga Mahatma. Dimana marga klan tertinggi di lingkup orang asia timur.

Dean menutup layar tabnya dan menatap bangunan - bangunan megah di sepanjang pinggir jalan, toko yang masih buka walaupun jam sudah menunjukkan tengah malam. Anak muda kuliahan bersenang -  senang bersama teman - teman sebaya, melampiaskan rasa lelah belajar dengan bir dalam bar. Tak lain dilakukan oleh para pekerja.

Hening, salah satu dari mereka tidak ingin mengangkat bibir hanya untuk sekedar berbicara. Sang sopir juga memakluminya, ia sudah bekerja lebih dari 1 tahun di keluarga Mahatma jadi tahu sifat dan sika yang biasa di tunjukkan oleh para bosnya.

Setelah menepuh perjalanan kurang lebih 20 jam lamanya, Dean sang bos muda telah sampai di Hokkaido pada sore hari dan langsung menuju ke villa yang berada di Biei - cho, Hokkaido. Tempat indah yang sangat rekomen untuk para wisatawan berlibur.

Dengan adanya hawa sejuk menerpa membuat yang tinggal disana sangat betah, Biei - cho pedesaan yang banyak di impikan oleh semua orang. Bukit hijau dapat menyegarkan mata lelah pada pagi sampai sore hari.

"Sudah lama aku tidak kesini dan ternyata tempat ini masih sama aja dari 22 tahun yang lalu." Ucap Dean saat melihat villa dari kakeknya yang terlihat masih sama saat ia kecil beberapa tahun silam.

"Benar tuan, dan sekarang masih sangat indah dengan pemandangan gunung yang hijau serta pertanian subur dibawah sini." Jawab sopir yang sedang mengeluarkan barang -- barang Dean untuk liburan sementara waktu.

Dean menatap matahari tenggelam ke arah barat yang diiringi angin lembut, ia merasakan bahwa inilah hidup damai sebelum badai menerjang keesokkan hari. 'Aiko...' tanpa sadar pikirannya tertuju pada sosok teman masa kecilnya.

Mengabaikan pemikiran tersebut, Dean pergi masuk ke dalam villanya. Tetap sama, tidak ada yang berubah dari tempat ini. Lantai kayu yang bersih, dinding berwarna cream dapat menenangkan pemiliknya dan telepon jadul berada ditempat yang masih sama saat ia kecil.

"Oh, Tuan lama tidak berjumpa." Sang penjaga villa sekaligus pelayan pribadi kakek Dean datang menyapanya, dia sedikit terkejut bahwa tuan mudanya datang tanpa kabar sama sekali. Dan lebih terkejutnya, kini anak yang dirinya asuh sudah sebesar sekarang, Jaman memang cepat berubah.

Dean menatap wanita paruh baya dan tersenyum tipis, ternyata ibu asuhnya saat ia tinggal disini untuk belajar menjadi penerus ke 4 klan Mahatma. Wajah cantik dari wanita tersebut tidak pudar walaupun umurnya menginjak kepala 7 tahun ini.

"Apakah anda ingin mandi? biarkan saya menyiapkan air panas. Pada malam hari hawanya semakin dingin disini."

"Baiklah nenek."

Wanita paruh baya tersenyum yang disertai mata tertutup, sudah lama sekali ia tidak mendengar panggilan sayang dari anak yang dirinya asuh sejak umur 5 tahun. Dulu villa ini ramai oleh kedua anak laki - laki bermain dengan ceria layaknya anak kecil pada umumnya. Tetapi sayangnya, anak yang tertua telah tiada disebabkan tubuhnya lemah.

Anak tersebut diagnosis mengidap kanker otak pada stadium awal, pada jaman itu orang - orang masih percaya bahwa anak kecil gampang teridap penyakit karena kutukan Dewa kematian. Dan salah satu terkena imbasnya keluarga Mahatma, dulu keluarga ini sangat harmonis. Sebelum trauma kelam menyerang kepala keluarga sebelumnya.

Dean menatap bingkai kecil yang didalamnya terdapa foto dirinya dengan anak laki - laki dalam memori masa kecilnya, ia menyatukan kedua telapak tangannya untuk berdoa agar roh anak kecil itu tenang di alam yang berbeda dengan manusia.

"Tuan, air panas anda sudah saya siapkan." Dean menaruh lilin disamping figuramasa kecilnya dan mengikuti sang ibu asuhnya ke kamar mandi yang terpisah oleh kamar.

Sebenarnya, villa ini berbentuk bangunan tradisional Jepang yang masih menggunakan kayu dan pintu geser. Walaupun jaman modern ini banyak villa lain menggunakan tembok dan pintu kayu geser, kakenknya masih mempertahankan bangunan jadul ini.

Selesai membersihkan diri dan memakai kimono khusus untuk laki - laki seperti jaman dahulu. Dean pergi ke ruang makan, sudah disiapkan di atas meja makanan favoritnya yaitu ikan goreng dan sup tempura yang hangat.

Sopir dan pelayan pribadi kakeknya ikut makan, hal ini sudah biasa terjadi untuk Dean bahwa ia sedang melakukan apa yang dilakukan oleh anak laki - laki dalam figura dahulu. Ia selalu berfikir apa yang akan dilakukan anak itu jika saat ini masih hdiup.

"Aku sudah selesai, terimakasih atas makanannya nenek." Ucap Dean setelah selesai makan.

Ia pergi keluar rumah dan duduk dipinggir villanya dengan menyilakan kakinya, melihat rembulan yang bersinar dimalam hari serta diiringi suara bambu penuh dengan beratnya air. Lama melamun, entah apa yang ia pikirkan saat ini, begitu kosong tetapi terasa berat.

Dan dimalam yang sepi ini, hanya bunyi jangkrik juga rumput atau dedaunan yang terkena angin. Ia mendengar suara nyanyian yang halus disertai suara harpa, begitu lembut ditelinganya.

Dean terheran siapa yang malam - malam sepi seperti ini bernyanyi, untuk siapa dia bernyanyi dan tujuan apa dia bernyanyi. Dengan pelan mengikuti arah suara tersebut ia tidak menyadari bahwa dirinya telah dibawa ke tengah gunung belakang villanya.

Saat melihat ke belakang, gelap dan jalanan ditutupi oleh kabut tebal. Pohon - pohon rindang, hawa semakin dingin diatas sini, suasana semakin mencekam dan hanya ditemani oleh sinar rembulan. Tetapi tekadnya tidak berhenti disitu, ia terus berjalan naik ke atas gunung.

Setelah sampai diatas, ia melihat sebuah cahaya yang terpantul dari air sungai. Dean baru tahu bahwa diatas gunung ini terdapat pemandangan indah, air sungai yang bersih mengalir serta kunang - kunang disekitaran air menerangi gelapnya hutan. Anehnya di sepanjang pinggiran sungai tertanam bunga yang menyala seperti lampu.

Dean mendengar seorang yang bernyanyi semakin dekat langsung bersembunyi disemak - semak beberapa meter dari aliran sungai. Ia terkejut bahkan sangat terkejut bahwa siapa yang sedang bernyanyi ditengah malam seperti ini.

Hal ini pertama kali dalam hidupnya melihat sesosok perempuan dengan sayap warna putih di punggungnya dan tubuh yang terselimuti kabut putih halus dan cahaya bulan, sosok itu bernyanyi dan menari diatas air.

Saat nada tinggi sosok tersebut mendongakkan kepalanya tepat ke arah bulan dengan kedua tangan terangkat ke atas lebar seperti sedang memuji sang kuasa, sayap yang terbentang degan indah nan panjang. Mata sosok itu terbuka, memperlihatkan bola mata berwarna biru cerah dan bercahaya.

Ditengah bola matanya terdapat bentuk bunga lotus, pertama kali yang dipikiran Dean yaitu 'indah, sangat cantik.' Rambut perak panjang, alunan harpa yang di mainkan oleh sosok kecil dengan sayap bening seperti kupu - kupu.

The Fallen AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang