1. Menjengkelkan

45 15 6
                                        

Di jalan raya yang begitu ramai terlihat seorang remaja perempuan melajukan motor sportnya dengan kecepatan tinggi, ia menyalip pengendara lain bak pembalap profesional, dirinya tak mengindahkan beberapa umpatan yang keluar dari pengendara lain. Yang terpenting sekarang ia sampai di sekolah dengan tepat waktu.

"Sial, masa harus manjat lagi? Ck merepotkan." Emilia berdecak kesal saat melihat pagar sekolah telah tertutup dengan rapat, artinya ia terlambat lagi.

Tidak hanya sekali dua kali dirinya terlambat, bahkan hampir setiap hari. Ntahlah, Emilia malas untuk bersekolah, padahal dia memiliki cita cita untuk melanjutkan ke University Harvard. Tak apalah bermimpi, mimpi itu gratis silahkan ambil yang paling mahal.

"Ini motornya gue taruh di warung belakang aja kali ya?" Setelah sampai, Emilia turun dari motornya menuju sebuah bangunan yang cukup sederhana.

"Ibu! Nitip dulu ya motornya." Emilia meringis ketika mengatakan hal itu, sungguh ia tak enak hati karena terlalu sering menitipkannya.

"Iya neng, sok atuh." Ibu penjaga warung keluar dengan senyum manis.

"Maaf ya bu nitip nitip terus, abisnya gerbang udah ditutup."

"Iya neng ga papa, udah gih ke kelas sana, takutnya dihukum."

"Iya bu makasih banyak, kalau gitu Lia pamit dulu, permisi." Emilia berlari menuju pagar belakang dengan sangat cepat. Ibu penjaga warung tersenyum seraya menggeleng gelengkan kepala melihat tingkah Emilia, setelahnya ia masuk ke dalam untuk melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda.

Emilia memanjat pagar setelah dirasa tak ada orang yang melihatnya. Namun, disaat dirinya ingin turun ia melihat segerombolan anak OSIS yang sedang berpatroli.

Ia mengumpat dalam hati, dengan cepat dirinya bersembunyi diantara daun-daun mangga, Emilia sangat beruntung pohon itu tumbuh tinggi, sehingga tubuhnya dapat tertutupi dengan sempurna, meski begitu ia sedikit memanjat agar kakinya tidak kelihatan.

"Udah kaya monyet aja gue, uu aa uu aa." Emilia terkekeh geli saat mengatakannya, tangannya langsung membekap mulut saat beberapa anggota OSIS mendengar suaranya.

"Denger ga sih? Kaya ada suara monyet anjir." Farel bergidik ngeri saat mengatakannya.

"Lo kali monyetnya." Driyan menimpali dengan muka polos minta ditabok.

"Kamprett!"

"Ayo cabut, kayaknya ga ada orang di sekitar sini." Alger menginterupsi teman temannya untuk kembali, ia berlalu meninggalkan tempat itu disusul yang lain.

"Huh selamat." Emilia menghela nafas lega, kemudian segera turun dengan cara melompat. Namun, saat hendak berlari ia merasakan tasnya ditarik dari belakang.

"Anjing babi, kayaknya tadi dah pada pergi, kok masih ada sih. Matilah aku." Emilia mengumpat dalam hati, dengan kaku ia membalikkan tubuhnya dengan tangan mengangkat membentuk v dan jangan lupakan senyum manis dengan deretan gigi yang terlihat.

"Aduh anak OSIS, makin hari makin ganteng deh. Lepasin gue ya? Janji deh ga akan terlambat lagi."

"Gue bukan OSIS," jawab pemuda itu dengan santai.

"Hah?" Emilia segera membuka mata saat mendengarnya. Dan benar, pemuda itu bukan anggota OSIS.

"Jadi lo telat?"

"Kalau iya kenapa? Masalah buat lo? Enggak kan, lepasin tangan lo, gue mau pergi." Emilia menatap tak suka pada laki laki yang terus memegangi tasnya.

Laki laki itu tersenyum miring saat mendapatkan ide cemerlang di benaknya. Ia melihat beberapa anggota OSIS yang belum jauh dari tempatnya sekarang.

"Woiii, ini ada yang telat." Laki laki itu berteriak dengan tangan menunjuk ke arah Emilia, sontak Emilia melototkan mata.

"Anjing!" Umpat Emilia secara sepontan.

Sialan sekali pemuda ini, ia memberontak saat salah satu anggota OSIS menyeretnya menuju lapangan. Matanya memancarkan kobaran api yang siap meledak kapanpun itu. Ia sempat melirik nametag pemuda sialan itu "Baskara Satria Langit". Ingatkan dia untuk membalas perbuatannya ini.

Lagi dan lagi, Emilia harus menjalankan hukuman, ia dijemur dibawah terik matahari sampai istirahat pertama.

"Panas banget, kabur aja kali ya?" Emilia bermonolog pada dirinya sendiri.

"Jangan coba-coba kabur!" Suara bak toa itu memenuhi gendang telinga Emilia, guru BK yang terkenal menyeramkan tengah mengamati gerak gerik Emilia dari pinggir lapangan.

Emilia menatap guru itu dengan pandangan cengo, bagaimana bisa dia mengetahui niat buruknya? Apakah gurunya itu cenayang? Sudah, ia tak ingin memusingkan hal itu. Emilia memilih mengedarkan pandangan ke sekeliling lapangan. Netranya tak sengaja melihat pemuda yang sangat menyebalkan, Emilia menyipitkan mata untuk melihat lebih jelas. Dapat ia lihat bahwa laki laki itu tengah menjulurkan lidahnya dengan muka mengejek.

Emilia merubah mimik mukanya menjadi datar dengan jari tengah yang mengacung tinggi. Ia membuat gerakan tangan memutari leher seolah olah berkata "Habis idup lo!"

Pemuda yang diketahui bernama Langit itu hanya menggidikkan bahunya dan berlalu dari sana, seolah olah tak terjadi apa apa.

***

Bel istirahat berbunyi, Emilia segera berjalan menuju kantin. Sungguh, ia sangat haus.

Grepp

Seorang remaja perempuan dengan tiba tiba memeluknya dari belakang, hingga membuat Emilia hampir nyungsep.

"Gue jatuh, muka lo bonyok."

"Santai mbak santai, sorry sorry... Lagian lo dari mana sih anjir, dari tadi kagak ke kelas," cerocos Elvina seraya berkacak pinggang, ia merupakan teman Emilia dari masa orok.

"Dihukum, gara gara manusia sialan," ucapnya dengan menggebu-gebu, sungguh jika mengigat kejadian tadi membuatnya naik darah.

"Siapa sih?"

"Ga pernah liat, kalau ga salah namanya Baskara Satria Langit. Nyebelin banget tu orang!"

Elvina mengangguk-anggukkan kepalanya, "Katanya anak pindahan?"

"Engga tau, udahlah ayo kantin. Haus banget gue mana laper lagi," ucap Eliana dan langsung melengos begitu saja.
































Sampai sini dulu ya, jangan lupa kasih bintang 🌟

Ini kurang panjang engga? Ini baru 861 kata, kalau kurang panjang bilang yaa.
Kalau ada saran, bisa tulis di kolom komentar.

See you in the next chapter.

Berlabuh?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang