"Itu pacarannya Langit?" tanya Elvina.
"Engga tau, mungkin?" Ntahlah Emilia tak ingin memusingkan hal itu.
"Cocok ya kalau diliat-liat," ujar Elvina.
Emilia melirik sekilas ke arah mereka berdua lalu menganggukkan kepalanya singkat.
"Pulang yuk, udah sore juga ini," ucap Elvina seraya melirik jam yang melekat cantik di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 17.30 WIB.
Emilia menganggukkan kepala dan mengemasi barang bawaannya. Mereka berjalan ke arah pintu keluar, tetapi sebelum itu Emilia sempat berpapasan dengan Langit dan netranya saling terkunci satu sama lain. Emilia segera memutuskan pandangan dan melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda.
***
"Bang," panggil Dira. Ia merupakan adik sepupu Langit, hubungan mereka layaknya seperti saudara kandung.
"Bang, woii," panggil Dira sekali lagi dengan suara sedikit meninggi, dirasa tak ada respon dari Langit.
"E-eh iya, kenapa?" tanya Langit setelah sepenuhnya tersadar. Mata itu, sungguh indah. Ia menyukainya, lagi dan lagi iris matanya bertubrukan dengan gadis yang ia temua kemarin di sekolah. Tidak lain dan tidak bukan ialah Emilia.
"Abang liat apa sih? Dipanggil-panggil enggak nyaut?" tanya Dira penasaran, ia celingak-celinguk melihat sekitar. Namun, tak menemukan siapapun, hanya beberapa orang yang berlalu-lalang.
"Engga liat apa-apa kok, Abang lagi engga fokus aja," elak Langit.
"Tadi manggil abang kenapa?" Langit mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
"Itu tadi bunda nitip kue yang ada di lantai 3, tapi engga tau namanya apa."
"Tante Mila engga bilang namanya dek?" tanya Langit.
"Engga, bunda engga bilang," jawab Dira.
"Ya udah, apa boleh buat. Kita harus mencarinya." Langit melangkah kakinya menuju lantai 3 diikuti oleh Dira, ia memilih menggunakan lift agar sampai dengan cepat.
***
Emilia melangkahkan kaki memasuki bangunan yang menjulang tinggi-rumahnya, tempat yang menjadi saksi dirinya tumbuh dan berkembang selama belasan tahun ini, tempat dengan sejuta kenangan indah bersama mamanya yang perlahan hilang termakan usia, meski begitu ia tak akan pernah bisa melupakannya, cerita lama itu masih tersimpan rapi dibenaknya yang perlahan berubah menjadi buku usang dengan segala keindahan disetiap bait yang tercipta.
Emilia berhenti di pintu masuk, menelisik isi ruangan itu, mencari orang-orang di dalamnya. Namun nihil, tak ada satupun orang yang terlihat di matanya. Satu kata yang dapat mendeskripsikan, hampa, seperti tak ada kehidupan di dalamnya.
Hingga dirinya dikejutkan dengan suara seseorang, "non, udah pulang?" tanyanya.
"Anj- Bi Mar mah ngagetin aja! Untung jantung Lia ga copot." Emilia berucap seraya memegangi jantungnya yang berdetak kencang. Hampir saja dirinya mengumpat.
"Maaf non, bibi ga sengaja," ucap Bibi Marni dengan suara rendah penuh penyesalan. Bi Marni merupakan pelayan di rumah Emilia disaat Emilia masih kecil hingga sekarang. Ia telah menganggap Bi Marni seperti neneknya sendiri.
"Engga papa bi, santai aja. Oh iya, orang rumah pada ke mana bi?" tanya Emilia.
"Tuan sama nyonya lagi keluar, urusan bisnis. Katanya besok pagi baru pulang."
Emilia menganggukkan kepalanya paham, setelah itu ia mengucapkan permisi kepada Bibi Marni untuk ke atas, membersihkan tubuhnya yang terasa lengket.
Setelah selesai dengan bersih-bersih tubuh, Emilia memutuskan untuk mengecek benda pipih yang selalu menemani hari-harinya. Banyak notif yang masuk memenuhi. Hingga atensinya mengarah pada notifikasi chat paling atas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berlabuh?
Teen FictionChintya Emilia Mada, gadis cantik dengan seribu teka tekinya. Ia terkenal dengan sifat yang keras kepala, tidak suka diatur, dan suka dengan hal yang berbau motor sport. Baginya hidup itu hanya sekali, jadi sayang jika disia sia kan. Meski tingkahn...