2. This Easy Peasy Job

387 64 2
                                    

Banyak yang bilang, Ayra belum punya pacar karena terlalu pemilih. Tapi setelah dua tahun bekerja dengannya, Kala tahu bahwa sebenarnya Ayra sama sekali tidak punya pilihan. Dia tidak punya banyak teman pria. Dia tidak suka berkumpul dengan teman-teman sebayanya seperti banyak dilakukan oleh orang lain pada akhir pekan. Dia punya banyak teman, tapi pergaulannya terbatas. Dia juga menolak segala macam bentuk perjodohan yang ditawarkan temannya dengan alasan ia tidak terbiasa dengan hal-hal semacam itu.

Wijaya menatap Ayra dan Kala bergantian dengan raut wajah bingung.

"Kala malu, Pa." Ayra berdiri lalu memberikan isyarat Kala untuk mendekat.

Mulut Kala terbuka saking bingungnya. Ia masih di posisinya. Sama sekali enggan mendekat.

"Sejak kapan?" Wijaya bertanya.

"Satu bulan." Ayra masih menjawab dengan santai. Ia jarang berbohong, tapi semua yang keluar dari mulutnya saat ini membuatnya terlihat seperti seorang yang handal.

Kala masih konsisten menggeleng, meski gerakannya semakin pelan.

"Ngaku aja, Ka. Pak Wijaya udah tahu." Ayra memberikan isyarat dengan tatapannya. Meminta lelaki itu membantunya kali ini.

"Beneran, Ka?" Kali ini Wijaya bertanya pada Kala.

Tatapan Ayra berubah menjadi tatapan memohon. Ia menatap Kala seakan berbicara melalui telepati.

Kala menelan ludah. Ia merasakan tiba-tiba saja darah mengalir terlalu deras ke kepalanya sehingga membuatnya pusing.

"Ka?" Ayra berusaha menyadarkan Kala yang masih berdiri di dekat pintu. Tatapannya kali ini melembut.

"Iya, Pak." Kala akhirnya mengangguk. Ia pasti tampak sangat bodoh karena tidak konsisten.

Ayra tersenyum. "Udah, ya, Pa. Ayra ada meeting. Nanti kita ngobrol-ngobrol lagi." Ayra mendekati Kala. Menyenggol lengannya untuk memberi isyarat agar mengikutinya.

Saat sampai di ruangannya, Ayra mengembuskan seluruh napas yang seolah sejak tadi ditahannya. Ia menjatuhkan bobotnya di kursi dengan kasar. Ia menatap Kala yang masuk ke ruangannya.

"Mbak, kenapa kok tiba-tiba..." Kata menghentikan kalimatnya saat melihat Ayra mengangkat sebelah tangannya.

Ayra memajukan tubuh dan menaruh kedua sikunya di atas meja. "Gini, Ka... Lara sama Kamal ada rencana mau nikah. Tapi Papa nggak akan kasih ijin kalau saya belum punya pacar."

"Ya terus?"

"Saya nggak mau jadi penghalang rencana baik mereka. Jadi saya terpaksa..." Ayra memejamkan mata. Menunduk dan menopang kepala dengan kedua tangannya. Ini masih pagi, tapi rasanya seluruh energinya sudah terkuras habis.

"Tapi kenapa harus saya?" Kala menunjuk dirinya sendiri.

Ayra mengangkat kepala dan menatap Kala, "refleks, Ka. Kebetulan kamu yang masuk ke ruangan." katanya, "masih untung kamu. Coba kalau karyawan lain yang ternyata udah punya istri. Papa bisa jantungan."

Ayra berdiri dari duduknya lalu menarik napas panjang, "Ka, sampai pernikahan Kamal dan Lara direncanakan, saya minta kamu pura-pura jadi pacar saya, ya." pintanya.

"Nggak mau, Mbak." Kala menolak tanpa perlu berpikir.

"Kenapa? Kamu lagi nggak punya pacar, kan?" Nada suara Ayra melembut.

"Iya. Tapi bukan berarti saya mau jadi pacarnya Mbak."

Ayra berdecak, "Ka, pura-pura doang. Saya juga nggak mau pacaran sama kamu."

"Terus untungnya buat saya apa?" Kala menembak. Baginya, tidak ada pekerjaan cuma-cuma. Selama bisa menjadi uang, ia akan menjadikannya uang.

Ayra mendesah. "Pahala kamu banyak, Ka, kalau bantuin orang."

RaharaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang