Gala Bunga Matahari [+1]

204 31 4
                                    

SELAMAT MEMBACA

Langit sore di pemakaman ini begitu Asri. Pada pinggiran jalan dekat gerbang masuk berjajar ibu-ibu juga anak-anak yang menjual bunga-bunga yang biasa di tabur atas makam.

Hijaunya rumput kecil-kecil dan bunga matahari disamping Nisannya. Cantik sekali percis seperti yang bersemayam disana. Mentari dan Zeila.

Dalam hening dua manusia yang menengadah disitulah rapalan doa dipanjatkan. Sebulan, dua bulan, dan sekarang adalah bulan ke tiga kepergian sosok saudara pemilik binar paling hangat.

"Mentari, apa kabar?" Suara pertama setelah hening. Itu Gentari,  ucapan yang diusahakan tanpa getaran. Sesak yang ditahan abis-abisan.

"Maaf ya lama ndak kunjungi, aku susah ga ada kamu, gaada teman cerita," Ada napas disebelah Gentari yang tertahan, itu Shabina. Orang yang berusaha ada bersamanya. Entah untuk apa, tapi Gentari berterima kasih.

Gentari menunduk, tidak siap melanjutkan kata-katanya.

Sebuah bayangan seperti roll film berputar di pikiran Gentari. Sebuah tawa Mentari, cerita Mentari, senyum dan perasaan yang bercampur dalam hati Gentari membuatnya semakin menahan sesaknya.

"Mentari, gimana di sana? bertemu Zeila?" Ada air mata yang lolos tanpa diminta hadir.

Di genggam sendiri tangannya, diremas, dikuatkan dirinya sendiri. Selalu begitu Gentari bertahan hidup sekarang.

"Mentari apa surga yang kamu temui seperti surga yang kita bayangkan bersama?" Dicabut tanoa sengaja rumput yang panjangnya berbeda dari yang lain.

"Kenapa ndak ajak aku? Aku juga mau lihat sungai surga, " Tanya perihal kenapa harus dia yang ditinggalkan terus berupaya menemukan jawaban dari tanya itu.

"Kamu dadanya ga sesak lagi ya? punggung yang selalu aku elusin tiap malam udah ndak sakit lagi ya?" Diingat kembali wajah pucat Mentari yang menahan sakit tubuhnya. Malam ketika mereka saling berpelukan menghadapi kenyataan dunia mereka yang tidak adil.

"Kamu bahagia di surga bersama Zeila? Kenapa ndak ajak aku,"

"Mentari.... aku rindu. Banyak hal yang kita lakuin bersama, malah sekarang aku sendirian" Sudah tak terbendung air mata yang Shabina tahan, semua berhasil lolos tanpa hambatan. Melihat mata yang tidak pernah menangis sebelumnya di hadapannya.

"Mentari kenapa harus tinggalin aku sendiri, "

"Aku ndak bisa hadepin papa sendiri, aku ndak bisa ketemu mama sendiri, aku ga bisa sendiri ngadepin semua ini. "

"Mentari, kamu dengar aku kan? Balas aku Mentari, kamu sekarang lihat aku dari sebelah mana?" Luruh sudah simpuh yang ditahan. Rumput hijau di hadapan Gentari semakin merekah seakan menyambut keluhnya.

"aku kangen semua ceritamu setiap kamu bangun dari tidur lama mu Mentari" Semakin sesak nada yang harus Shabina dengar. Tangan kanan Shabina gegap memegang bahu Gentari yang ikut luruh dengan segala rindunya.

" Mentari, dunia ini bikin sesak karena gaada kamu,"

"Aku ndak bisa sendirian, hiks"

Sebuah tarikan membuat Gentari masuk dalam dekap seseorang yang selalu berusaha ada di samping nya selama tiga bulan ini. Shabina menepati janjinya untuk bersama Gentari.

"Mentari, maaf selalu menyangkal semua cerita-cerita kamu setiap kamu bangun dari tidur panjang mu itu."

Gentari semakin mencengkeram kuat sisi baju Shabina, seolah menguatkan dirinya juga. Semenjak Mentari lebih memilih mengikuti mau Tuhan, maka Gentari sudah kelimpungan sendiri tentang bagaimana ia hidup.

Februari dan KisahnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang