Episode 3

237 46 14
                                    


SELAMAT MEMBACA

"Shabina, ayo giliran lo yang nyanyi," Sudah hampir sejam Gentari berada di kamar Shabina. Duduk di sofa kamar VIP Himawari.

Shabina menatap ajaib ke arah Gentari, apakah perempuan ini tidak lelah bermain gitar. Ada yang lebih ajaib lagi yang dilakukan oleh seorang Gentari yang datang dengan membawa gitar pagi-pagi. Bukan disitu masalahnya, tapi pemilik gitar ini bukan dia melainkan anak koas di rumah sakit. Dengan tatapan polos dan bibir pucatnya yang sedikit sudah memilki darah alias sudah pink dia mengatakan ini gitar pinjam di Mas Aron seorang dokter koas. Shabina tidak kenal, Gentari yang kenal.

"Gue ga bisa nyanyi, Ge." Shabina sudah mengatakan itu berulang kali.

"Lo nyebut nama gue aja merdu, masa nyanyi ga bisa sih?" ada nada tak percaya yang Gentari lontarkan.

"Ya emang gabisa," Balas Shabina.

Baru saja Gentari ingin menjawab,suara ketukan pintu membuat mereka mengalihkan atensi pada pintu kayu. Disana ada Dokter Orlan dan suster Indah baru saja masuk.

"Halo Shabina, selamat pagi" Sapa Dokter Orlan yang diangguki oleh Shabina. Shabina kembali ke mode tanpa ekspresinya.

" Boleh baring dulu, sini Shabina" Panggil suster Indah yang sudah berdiri disampping ranjang bersama dokter Orlan.

Shabina bangkit mendrong infus yang dua hari lalu dipasang lagi dan diikuti Gentari yang sudah meletakan gitar Mas Aron diatas sofa.

"Kenapa ikut?" tanya Shabina yang sudah berbalik, Shabina naik ke atas ranjang. Gentari langsung mengambil kaki Shabina untuk ia luruskan.

"Gue lagi jadi asisten dokter Orlan," balas Gentari asal dan sontak mengundang tawa dokter Orlan dan Suster Indah, begitupun Shabina yang menahan tawanya sambil menggeleng.

"Gak jadi suster kedua sama sus Indah lagi?"

"Engga, udah ganti job," balas Gentari. Lagi-lagi mengundang kekehan.

Pemeriksaan itu berlanjut. Gentari diam memperhatikan. Dua hari ini, itulah yang dilakukan Gentari setiap kali Shabina sedang dikunjungi dokter Orlan dan Suster Indah. Gentari hampir setiap hari, pagi atau siang datang ke kamar Shabina. Dan Shabina tidak menolak itu, ada senang yang dirasa ketika menyadari ada Gentari, dia tidak sendiri.

"Gentari gak balik ke kamar?" tanya dokter Orlan.

"Masih temenin Shabina, kasian dia kesepian karena ga bisa kemana-mana tangannya di infus lagi" Gentari menunjuk ke arah infus yang di punggung tangan Shabina, Gentari  menatap Shabina sambil menaik turunkan alisnya menahan tawa.

"Jangan lupa balik Gentari, nanti adik kamu datang terus kamunya gaada," Gentari hanya mengangguk malas.

Dokter Orlan dan suster Indah pergi dari ruangan Shabina. Shabina menatap lama Gentari, "Lo punya adik?" tanya itu keluar dari Shabina.

"punya, Zeila namanya. Lo punya?" balas Gentari sambil mengikuti pergerakkan Shabina yang ingin turun dari ranjangnya.

"punya,--" belum selesai Shabina berucap Gentari sudah berteriak panik, "Shabina tangan lo berdarah!" Shabina ikut panik, ngilu terasa di tangan kirinya.

Seperti suster yang handal Gentari memperbaiki selang infus yang beberapa menit lalu baru di chek, tapi Shabina tak bisa diam, kan berdarah jadinya. Shabina takjub, sepertinya dua bulan disini dia cocok menjadi suster bersama suster Indah.

"Lo diem aja, apa ga sakit tadi. Lo kalau tau tangan kanan di gips terus tangan kiri di infus jangan banyak tingkah," omel Gentari.

"Kenapa sih, ngomel terus. Gue bahkan semalem makan dan minum obat sendiri," balas Shabina terkekeh melihat wajah khawatir temannya yang belum genap seminggu berkenalan.

Februari dan KisahnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang