Gemuruh melodi yang menggerakkan tangan dan kaki, tidak mengalun lembut, tapi cukup untuk dinikmati. Tidak peduli bahwa terik matahari membakar kulit, banyak orang berdesakan untuk menunjukkan betapa sukanya mereka terhadap grup musik beranggotakan remaja-remaja belasan tahun yang cukup tampan untuk dipandang.
"Apa, sih, Sam? Aku nggak mau berdesakan begini!" protes Janika ketika dia sudah dengan tiba-tiba berada di tengah kerumunan yang menurut Janika bukan habitatnya.
Samudra tetap acuh dan tetap mengabaikan rasa tidak nyaman Janika, suara orang-orang menirukan lirik begitu kencang dan enak-enak saja untuk diikuti. Samudra bahkan ikut mengangguk lalu mengangkat tangannya seolah ikut bergerak sesuai ketuk, Janika kesal bukan main karena dia tidak terlalu suka gaya musik yang berisik seperti ini, seleranya masih berada dalam lagu pengantar tidur. Kalau Sagara---kekasihnya, masih hidup pasti dia akan mempertimbangkan apakah perempuan rewel seperti Janika akan suka atau tidak dalam satu situasi?
Musik berhenti tiba-tiba karena gitaris dalam grup tersebut tiba-tiba tersungkur. Semua orang sontak berhenti bernyanyi, nyawa lagu ini berada dalam petikan gitar dan sang gitaris sedang dalam kerumunan di atas panggung.
"Sagara?" Janika terpanggil ke dalam masa lalunya, mengingat bagaimana Sagara yang tersungkur di pasir adalah momen pertama pertemuan mereka.
***
"Kenapa? Bintang!" Suara orang-orang itu hanya membuat pemuda itu semakin kesusahan bernapas, orang-orang mengelilingi Bintang, membalikkan tubuhnya terlentang lalu mengarahkan ke punggung seseorang.
Tubuh tingginya itu justru diusung oleh pria yang lebih pendek dari Bintang, selalu menyusahkan setiap konser-konser yang berdekatan. Bintang diletakkan di kursi backstage, keringat sudah membasahi kaos hitam yang dia pakai bahkan kulitnya mengkilap karena tubuh Bintang tidak bisa dia rasakan lagi.
"Minum!" Seseorang memberikan botol minum pada remaja sembilan belas tahun tersebut, tangan Bintang gemetar mengambil botol dari pria yang lebih tua darinya.
Rekan-rekannya kembali ke panggung, mereka semua khawatir tetapi para orang dewasa di balik ketenaran band BPRO begitu rasional terhadap keadaan. Dibanding takut Bintang kenapa-kenapa, mereka lebih khawatir terhadap konser yang kenapa-kenapa.
"Kalau lo sakit mending lo resign." Singkat, padat, resign. Bintang menutup kembali botol air yang sudah dia buka, memandang wajah pria dewasa yang kini tengah menatapnya dengan tatapan tidak suka.
Bintang mengangguk, dia tahu bahwa menggendong pemuda setinggi seratus delapan puluhan senti pasti adalah beban yang cukup berat untuk dipikul tim.
***
Suasana makam tidak pernah menyenangkan. Meski pun rerumputan di atas gundukan sudah tumbuh dengan rata, bunga-bunga kemarin sudah hilang berganti dengan ratusan kali. Tetap ada perasaan duka setiap berkunjung di sana.
Meski sedih, beberapa orang masih tidak punya takut untuk bersedih. Mereka selalu datang untuk menangis atau sekadar menyimpan mendung itu di dalam hati, termasuk Janika dan Bintang.
Janika berdiri di depan makam Sagara yang terlihat sudah lama. Bunga kamboja yang ditanam Janika di atas nisan sekarang sudah cukup untuk membuat Sagara tidur dengan tenang, teduh dan indah menurut kekasihnya.
Suara gemericik air terdengar, membuat Janika menengok ke arah kanan. Hanya berbeda beberapa makam, dia sedang melihat anak yang tidak asing.
"Selamat ulang tahun, Ayah." Pemilik hidung bangir itu menuangkan minuman keras, mungkin begitu caranya menghormati sosok mati yang dia sebut ayah.
"Kalau Bintang legal, Ayah bilang bakalan mabuk bersama Bintang." Tidak lama, air mata pemuda tinggi itu berjatuhan seperti hujan. Tidak sanggup menahan kelelahan hidup, Bintang mengusap air matanya kasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
HEARTBEAST [terselesaikan]
Teen Fiction"Aku mau jantungmu berdetak lebih lama." Orang-orang dengan jantung sehat saja kesulitan untuk hidup, apalagi anak seperti Bintang Admadja? Anak tengil itu tidak punya ambisi hidup, tidak punya kemauan hidup, pemberontak. Selain tidak punya angka ha...