Dompet coklat itu dibuang pemiliknya ke dalam tempat sampah, dia tidak membutuhkan kartu pelajar karena sudah lulus, tidak sempat membuat kartu tanda penduduk pun tidak ada kartu kredit dan rekening yang masih aktif di dalamnya. Satu-satunya alasan adalah kesal, Bintang kesal karena gaji-gaji terakhirnya habis karena membayar klinik yang dengan sok baik hatinya mengangkut Bintang yang tergeletak pingsan.
Padahal biarkan saja anak tanpa rumah ini menjadi bangkai, dimakamkan di sebelah ayah pasti romantis.
Bintang melangkah ke sebuah toko yang sering dia kunjungi, selama ini mereka melakukan transaksi dalam bentuk apa pun. Menukar barang-barang mahal yang dia punya seperti baju dan celana hanya untuk makan atau hal-hal semacamnya, kali ini dengan berat hati yang Bintang punya hanya gitar elektrik kesayangannya.
"Bintang? Lama nggak ke sini?" tanya pria yang sudah lebih tua dari mendiang ayah Bintang, lantas duduk di kursi dan menunggu anak itu menyampaikan maksud.
"Jual gitar, Bang."
Bintang sakit hati, mungkin ini satu-satunya gitar yang membuatnya merasa pernah disayangi. Kado orang tua untuk anaknya yang sedang merayakan hari kelahiran, sudah lama rasanya setelah gitar ini diberikan tidak ada hadiah lain selain kesakitan.
"Gitar kesayangan lo?" tanya si pria dengan badan gempal itu sambil menyentuh permukaan gitar dan juga senar, rasa gitar mahal yang bisa dia rasakan.
"Kalau mau makan emang harus korbanin benda kesayangan. Kalau bisa jangan jual, gue beli lagi nanti."
"Berarti jatohnya digadaikan?" tanya si pria.
"Iya, Pak."
***
Pengangguran memang tidak ada kegiatan lain selain berkeliaran dan berjalan ringan di trotoar. Orang-orang mengenali Bintang, beberapa meminta foto, kebanyakan acuh.
Dia ingin pulang karena hari mulai petang, ke sangkar kecil yang sama sekali tidak dianggap Bintang rumah. Bisa dibilang tempat untuk tidur dan beristirahat saja.Langkahnya terhenti di sebuah gedung, ini malam Minggu. Banyak orang berdatangan masuk ke dalam, Bintang memantapkan diri untuk menghadap ke gedung itu. Bioskop adalah tempat menyenangkan dulu, sejak dia lebur atas kenakalannya sendiri Bintang tidak pernah lagi tahu apa saja film yang ada di bioskop.
Papan besar sepertinya menyala terlalu terang, rambut pirang panjang yang indah itu menarik perhatian. Film Janika sedang diputar, tanpa sadar Bintang tersenyum lalu masuk begitu saja ke dalam bioskop.
***
Bintang tidak punya pilihan selain duduk di tengah-tengah orang lain, dia sama sekali tidak punya rencana untuk menghabiskan uangnya di dalam bioskop. Ini akhir pekan harga tiket melambung dari biasanya, tentu ini di luar rencana. Bintang tidak merasa rugi karena dia melihat sesuatu yang indah, Janika Sahara dengan segala pesonanya.
Alur ceritanya biasa saja bagi Bintang, tapi orang-orang menangis. Telinganya dapan menangkap isakan-isakan dari depan atau belakang, bahkan orang yang duduk berdampingan.
Bintang tidak menangis, mau sekejam apa pun takdir tentang pasangan dia merasa biasa saja.
Sampai di menit-menit terakhir saat ada adegan kehilangan ayah, dia menangis. Seorang Bintang Admadja menangis.
Ayah tidak akan kembali lagi! Tidak ada pilihan lain selain kita menyusul Ayah.
Tangisan itu bertambah parah kala mendengar adegan sialan yang membuat Bintang tersentuh, dia mengusap kasar matanya yang tidak berhenti melelehkan air mata. Bintang tidak suka harga dirinya terluka begini, remaja itu memutuskan untuk keluar sebelum filmnya selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
HEARTBEAST [terselesaikan]
Teen Fiction"Aku mau jantungmu berdetak lebih lama." Orang-orang dengan jantung sehat saja kesulitan untuk hidup, apalagi anak seperti Bintang Admadja? Anak tengil itu tidak punya ambisi hidup, tidak punya kemauan hidup, pemberontak. Selain tidak punya angka ha...