"Lo bisa kena masalah, Janika tolol!" Kelvin mengatakannya hampir delapan puluh kali dalam sehari, tapi Janika bergeming. Ia tahu, ia mendengarnya, ia bahkan memikirkan tentang masalah yang disebutkan Kelvin.
"Kopi gue mana?" Tangan Janika mengadah, dengan kesal Kelvin memberikan kopi dalam gelas kertas. Janika pasti kelelahan, semalam belum sempat tertidur dan sekarang Bintang masuk rumah sakit karena demamnya begitu tinggi.
Bagi Kelvin akan lebih baik jika dia dikembalikan kepada ibunya, tapi sepertinya beberapa Minggu tinggal bersama Janika merasakan perasaan sayang yang besar untuk Bintang.
Kelvin meninggalkan Janika sendirian, dia asisten artis bukan asisten baby sitter.
"Heran banget, kenapa Janika selalu disulitkan cowok jantungan," gumam Kelvin sepanjang perjalan.
Setelah menyesap kopi sampai tetes terakhir, Janika masuk ke dalam kamar inap. Melihat Bintang mungkin sudah lebih baik meski wajahnya masih pucat, bahkan karena anak itu nakal infusnya sudah dilepas.
"Kenapa dilepas, Bintang?" tanya Janika.
Bintang tersenyum saat melihat Janika panik sambil meletakkan punggung tangan cantik miliknya ke kening Bintang. Mengingatkan Bintang tentang perlakuan Ibu ke Ayahnya.
Janika menghela napas, demamnya sudah sangat turun.
"Mau pulang?" tanya Janika.
Bintang mengangguk, dia kenapa sangat menggemaskan? Sekali pun Bintang selalu melarikan diri, terkesan seperti anak nakal yang cari perhatian. Senyum Bintang itu indah, meski bagi Janika yang paling indah adalah suara jantung Bintang.
Suara berisik yang bersemayam dalam dada anak terpilih yang diberi kesakitan sejak dilahirkan. Janika tersenyum ke arah Bintang, mereka pulang.
***
Jemari Bintang menyita perhatian Janika, ujung-ujung kukunya biru. Seakan menjadi bagian tubuh yang sudah mati padahal sang empu masih hidup, mengatur dawai gitar yang baru dibelikan Janika. Katanya Janika tidak terlalu suka bunyi gitar elektrik Bintang, apakah Bintang bisa memainkan gitar yang lebih santai?
Bintang memasang ulang senar-senar gitar dengan yang baru, fokusnya lurus sekali. Sesekali Bintang memetik gitar untuk merasakan apakah kunci-kunci nadanya sudah tepat atau belum, tapi fokus Janika masih pada jemari biru Bintang.
"Bintang sini!" Janika membawa tangan Bintang, menggantikan gitar di pangkuan menjadi bantal. Bintang memperhatian bagaimana Janika menyuruh tangannya diam di atas bantal.
Setelah beberapa saat mengobrak-abrik laci, gadis itu menemukan cat kuku berwarna hitam. Dioleslah kuku-kuku biru itu dengan halus dan hati-hati, tidak mau sedikit pun berantakan di atas kulit ari Bintang.
"Kamu nggak bakal bilang kalau kamu cowok dan nggak mau pake kutek, 'kan?" tanya Janika.
"Aku sering lihat temenku pakai." Nail art di kalangan pria saat ini sudah menjamur.
Janika dengan telaten memakaikan kesepuluh jari Bintang dengan cat hitam. Sedikit banyak nenutupi fakta bahwa Bintang punya penyakit yang seperti bom waktu tanpa prediksi.
"Bintang, luka kamu tetap ada di dalam, tapi ayo kita harus tetap berjalan," ucap Janika sambil tersenyum teduh.
"Janika, kamu juga masih tertinggal jauh di belakang sana." Bintang tersenyum, mengambil tangan Janika lalu mengoleskan cat kuku yang sama ke kelingking Janika.
"ENGGAK RAPI!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
HEARTBEAST [terselesaikan]
Teen Fiction"Aku mau jantungmu berdetak lebih lama." Orang-orang dengan jantung sehat saja kesulitan untuk hidup, apalagi anak seperti Bintang Admadja? Anak tengil itu tidak punya ambisi hidup, tidak punya kemauan hidup, pemberontak. Selain tidak punya angka ha...