Bintang bangun di atas kasur keras yang lembab, badannya terasa remuk karena meringkuk semalaman dengan posisi yang sama dan kasur ini sudah hampir kehilangan isinya, sudah terlalu tipis dimakan usia. Bintang bangun dan meregangkan tubuh, sesaat meringkuk lagi karena memangnya untuk apa bangun pagi? Band itu sudah tidak membutuhkannya.
Suara deru ponsel mengganggu anak itu, dengan malas benda pipih itu diraih lalu menampilkan nomor tidak dikenal. Apa dia sudah sempat mengajukan pinjaman online kemarin?
"Halo?" tanya Bintang.
"Bintang ini aku, Janika." Bintang tiba-tiba saja tersenyum, tidak merasa terganggu dengan Janika yang tiba-tiba tahu nomor ponselnya.
"Ya, kenapa, Janika?" tanya Bintang.
"Aku ke rumah kamu sekarang, ya?"
"Aku nggak ada rumah," ujar Bintang. Detik kemudian suara pintu terketuk, Bintang dapat melihat kepala berambut pirang dari ventilasi jendela.
Pemuda itu berdiri lantas membuka pintu, yang lebih tinggi bersandar di kusen pintu. Tidak ingin membuat Janika masuk ke dalam kamar kecil yang terlihat seperti kandang babi ini sekarang.
"Kenapa?" tanya Bintang.
"Kamu tinggal di sini, Bintang?" tanya Janika, dia mengedarkan pandang ke dalam kamar.
"Kenapa?"
"Cepet mandi, kamu harus ikut aku ke suatu tempat."
***
Makan bubur ayam pagi-pagi terlihat normal untuk orang-orang, tapi bagi Bintang ini agak aneh karena di sini dia makan bersama Janika. Seperti melihat gambar keluar dari layar lebar, Janika meniup bubur panasnya lalu makan dengan berlahan. Cantik sekali, Bintang mencari kapan sekiranya Janika akan menjadi jelek.
"Kita keluar cuma makan bubur?" tanya Bintang.
"Hari ini aku mau adopsi kamu. Kamu harus hidup lebih baik, hidupku juga sepi."
"Umurku udah sembilan belas, nggak bisa." Bintang menyendok bubur.
"Apa yang nggak bisa kalau pakai uang?" tanya Janika, Bintang menghentikan gerakan mengaduk buburnya, lalu memandang Janika. Bahkan dia menopang kepalanya di
Ga karena sepertinya Bintang akan memandang Janika lebih lama."Kamu pedo, ya?"
"Ck! Mana mungkin!" Janika memang lebih tua sekitar sepuluh tahun dari Bintang, tapi anak itu berpikir bahwa Janika menggemaskan. Tanpa sadar dia tersenyum karena melihat Janika.
"Terus alasannya apa? Mbak Janika."
"Aku ...." Janika menatap mangkok buburnya yang diaduk tidak napsu, entah apa yang Janika pikirkan sampai rasanya tiba-tiba sedih, "aku mau kamu hidup lebih layak," ucap Janika.
"Lihat itu!" Janika mengikuti kemana sorot mata Bintang menavigasi, di sana banyak anak kecil dengan baju lusuh berkeliaran di jalan raya untuk mengadahkan kemasan bekas snack. Meminta recehan, berpindah tempat dari saru mobil ke mobil lain. "Kenapa nggak ke mereka?"
"Mereka nggak, sakit, Bin!"
Bintang tahu akhir-akhir ini dia bisa merasakan bahwa intensitas angina atau nyeri dada yang dia alami begitu kerap. Mungkin memang sudah waktunya dia kembali menjadi Bintang yang fokus pada kesehatan.
Sayang, energi remajanya normal tidak seperti jantungnya. Dia ingin bebas melompat ke sana kemari, lagi pula sejak awal Bintang ingin cepat mati.
"Kayaknya seru, dirawat kamu." Celetukan Bintang hanya ditanggapi oleh sebuah gelengan.
***
Seperti biasa, pulang bekerja pukul dua bukanlah hal yang aneh. Janika membuka pintu unit kamarnya, lantas membuka suara batuk dari kamar Bintang. Tentu, itu bukan suatu hal yang baik. Janika membuka kamar yang kini sepenuhnya diakuisisi Bintang, anak itu benar-benar diadopsi Janika.
"Bintang?" tanya Janika, anak itu tertidur tapi batuknya masih aktif.
Janika membangunkan anak itu agar napasnya tidak semakin berat, perempuan yang baru dikenal Bintang beberapa hari ini itu memeluk ringan tubuh Bintang agar dia terduduk. Remaja yang dipeluk bangun, merasakan bahwa dia harus duduk dengan kemampuannya sendiri.
Bintang melepaskan diri karena rasanya canggung, kemudian Janika memberikan minum.
"Nggak apa-apa loh, itu cuma .... kebanyakan minum es teh di pinggir jalan."
"Udah minum aja airnya sekarang," titah Janika, entah kenapa dia menurut. Selain karena itu hanya air putih, Bintang bukan anak penurut.
Sesaknya tidak mungkin berkurang hanya dengan air putih, Bintang masih saja diributkan dengan batuk yang terjadi akibat sulit menarik napas dan menghembuskannya. Bintang merasakan punggungnya dibelai lembut, tangan kecil Janika sedang menemani malam sakitnya.
***
Esoknya Bintang terbangun, menemukan presensi Janika yang masih di kamar ini. Tepatnya di sebelah tempatnya tertidur, pemuda itu segera membungkus tubuh Janika dengan selimut agar tidurnya lebih nyenyak.
Bintang buru-buru keluar setelah itu, dia menarik dan menghembuskan napasnya dengan berlahan. Dadanya berdetak begitu ribut kala menyadari bahwa dia ditemani tidur oleh sang bidadari.
Bintang mengelus-elus dada kirinya, sebaiknya dia tidak terlalu berulah lagi hanya karena Janika membantunya melewati malam."Janika apa nggak mikir bakal dicurigai nyimpen brondong, ya?" Bintang pergi ke dapur untuk membuatkan Janika sebuah hadiah yang tidak terlalu istimewa, pasti dia senang karena selain bisa sakit Bintang juga bisa membuat sarapan.
***
"Dompet Mas Bintang ada di tong sampah, Bu." Seseorang berseragam hitam yang sepertinya bagian dari supir keluarga Admadja memberikan dompet coklat yang diambil dari kepolisian untuk ratu dari keluarga ini.
Hati keibuan sedikit memikirkan bagaimana nasib anaknya itu sekarang?
Namun, kemarahannya lebih besar. Bahkan kehilangan Yuda Admadja jauh lebih besar dibanding amarahnya ke Bintang, dua perasaan pilu itu membuat hubungannya dengan anak semata wayang renggang.
Tidak ada tanggapan dari Irish---Ibu Bintang. Selain memandangi lekat kartu pelajar yang tersemat dalam dompet.
Sang Supir undur diri dalam batinnya memarahi majikan. Pantas saja Bintang keras kepala, keras hati. Ibunya saja begini, dia hanya anak-anak, dia seorang Ibu atau sekadar mau menikahi Ayahnya? Anak sesakit itu dibiarkan menjadi gelandangan bertahun-tahun.
***
"Bintang masakannya enak, aku suka." Bintang tersenyum sambil merapikan piring-piring dari meja makan.
"Bukan berarti aku nyuruh kamu masak setiap hari, atau ngerjain semuanya setiap hari."
"Enggak, aku emang suka masak suka cuci piring," ucap Bintang, selain suaranya terdengar gemericik air yang langsung membasuh piring-piring yang kotor.
"Unik ya hobinya." Janika dapat mendengar Bintang tertawa.
Janika mengikuti Bintang dari belakang, mengintip anak itu cuci piring. Terlihat dewasa, tidak seperti saat berada di atas panggung atau melarikan diri.
"Kenapa jadi manis begini? Aku pikir kamu anak nakal."
"Kamu aja yang terlalu suudzon sama aku, dosa!" Bintang meletakkan piring-piring itu ke rak.
Janika tersenyum lebar dan menurut Bintang itu sangat cantik luar biasa. Hatinya terbuka, dimasuki oleh perasaan anehnya kepada Janika. Apa pun yang terjadi dia ingin melihat senyum seindah itu selamanya.
"Kalau kamu mau berobat yang serius, aku kasih kamu satu permintaan." Janika mengacungkan jari telunjuknya.
Bintang menatap ke atap, berpikir permintaan apa yang akan dia berikan ke Janika.
"Nggak usahlah. Harusnya aku yang berterimakasih ke kamu, nggak perlu."
"Ayolah, kamu itu anakku. Ini Ibu, masa kamu nggak mau minta?" Janika mengerucutkan bibirnya, Bintang tertawa dibandingkan seperti Ibu dia terlihat seperti pacar yang lucu.
![](https://img.wattpad.com/cover/372489571-288-k251851.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
HEARTBEAST [terselesaikan]
Teen Fiction"Aku mau jantungmu berdetak lebih lama." Orang-orang dengan jantung sehat saja kesulitan untuk hidup, apalagi anak seperti Bintang Admadja? Anak tengil itu tidak punya ambisi hidup, tidak punya kemauan hidup, pemberontak. Selain tidak punya angka ha...