Janika memainkan jemarinya, saling meremas satu sama lain, mengetuk-ngetuk tanpa sadar. Kakinya cedera karena jatuh dari tangga, rasanya memang sakit, tapi yang lebih menyiksa adalah rasa takut yang luar biasa. Khawatir kalau Bintang akan kenapa-kenapa, tadi napasnya sudah tersenggal meski sudah mendapatkan pertolongan pertama preoritas.
Penyakit Bintang mungkin bagi Janika lebih menyebalkan dibanding milik Sagara, tidak ada permisi dan libur. Jantung Bintang terkadang mempermainkan anak itu ketika sedang berbaring dan berniat tidur, sekarang dia berlarian menuruni delapan belas lantai bersama beban berat di punggungnya.
"Bintang gimana keadaannya?" Janika menautkan tangan ke jemari Samudra begitu laki-laki itu datang untuk menjemput.
***
"Mas yang tenang ya?" Seorang suster sedang menenangkan Bintang yang sedang berjuang untuk bernapas, Bintang ingin marah karena dia tidak merasa panik sama sekali, jantungnya mungkin iya.
Bintang tersengal-sengal meski sudah mendapatkan oksigen, dadanya terasa panas, luka-luka gores akibat puing tidak diindahkan lagi karena rasa sakitnya tidak seberapa dibandangkan nyeri yang menjalar di seluruh tubuh bagian kirinya.
Mungkin Bintang menyerah, tubuhnya sudah tidak bisa mendengarkan perintah. Ujung bibirnya sedikit tertarik, tersenyum di balik masker oksigen yang mengembun karena akhir hidupnya benar-benar keren. Mati untuk Janika sepertinya romantis, membunuh perasaan sakit karena Janika yang selalu menjaganya dengan baik padahal dia seorang pria.
Kesadaran Bintang berlahan memudar, menimbulkan bunyi yang begitu tidak enak didengar. Bintang sendiri tidak suka suaranya, tapi dia benar-benar tidak bisa menghentikan atau sekadar berkata 'tolong matikan'.
Sayup-sayup dan tidak jelas Bintang melihat seorang pria naik ke atas ranjang dan menekan-nekan dadanya yang sudah sakit, jika bisa bangun dan berteriak sudah pasti dia dimaki oleh Bintang. Bagus, bila dia bisa bangun dan mengumpat.
***
"Jadi selama ini cucuku nggak pernah pulang?" tanya seorang wanita tua, terduduk di atas sofa keemasan rumah anaknya. Sekeranjang jajan kesukaan cucu semata wayang jatuh ke atas lantai berserak, pasti jika Bintang tahu neneknya membawakan berbungkus-bungkus snack dia akan kelewat senang.
"Bintang sudah besar, Bu. Ini pilihan hidup dia, tinggal bersama wanita lain yang mungkin bisa mengayominya."
"Dan justru kamu tenang saat anakmu tinggal bersama wanita? Gila kamu!" Ibu mertua itu marah, wajahnya yang keriput memerah. Jika Yuda masih hidup, pasti sudah dituntut untuk menceraikan Bintang.
Padahal hanya Bintang, satu-satunya yang dapat dilihat sebagai Yuda versi masih muda.
Irish itu terlalu keras kepala dan berhati dingin, meski hatinya pun mencemaskan Bintang tetapi harga dirinya tidak dapat dikalahkan."Mas Bintang masuk rumah sakit, Bu." Suara itu menginterupsi percakapan dua wanita yang sedang dalam kondisi tegang.
***
"Bisa stop? Bisa nggak kamu pikirin diri kamu, Janika?" tanya Samudra, dia tidak habis pikir kenapa wanita yang terlibat zona teman dengannya itu begitu nekat untuk Bintang. Dia bahkan berjalan dengan tertatih hanya untuk memastikan Bintang aman dan baik-baik saja.
Janika melepaskan tangan Samudra yang hendak menahannya, jalan tanpa halangan saja sulit sekarang ditambah dihadang laki-laki berbadan besar. Itu gila, Janika merasa dipersulit.
"Berhenti peduliin orang lain, Janika! Dia bukan siapa-siapa kamu, dia bukan adik kamu."
Telinga Janika terasa panas dengan spontan, gadis itu berbalik badan dan menatap tajam Samudra. Pandangan mereka berdua terlihat dalam, penuh kewaspadaan satu sama lain.
"So berhenti peduli sama gue!" Janika menunjuk wajahnya sendiri, "gue, dan elo!" Kemudian Janika menyentuh dada Samudra, "bukan siapa-siapa."
"Janika...," ucap Samudra menggantung dan Janika tak memberi kesempatan berbicara.
"Gue bukan adek lo, gue bukan temen lo, gue juga bukan pacar lo! Jadi jangan peduliin gue, mau gue terjun dari gedung ini pun jangan peduliin gue, okay?" Janika berbalik cepat, mencari kemana Bintang berada.
***
Janika tersenyum, berlinang air mata karena meski dengan napas yang tersengal-sengal Bintang masih hidup di dalam ruangan itu. Bahkan dia sempat mengacungkan jempol ke arah Janika saat anak itu datang, dokter berhasil menahan Bintang untuk pergi.
Janika masuk, menggenggam tangan dingin Bintang yang masih memiliki kuku hitam akibat kutek.
Janika pikir sudah tidak akan bertemu Bintang lagi setelah ini. Bintang terlihat lelah, peluhnya membuat surainya basah.Bintang tersenyum, meski bibirnya sontak pecah akibat terlalu kering. Dengan sayang Janika mengelus rambut Bintang, anak ini belum sempat selesai menangisi kematian ayahnya, dia belum boleh mati.
"Maafin aku, kenapa aku nggak bisa lari sendiri? Padahal aku punya kaki," ujar Janika.
Bintang mengangguk, tanda bahwa tidak ada yang perlu disesali dari semua ini.
***
"Bintang udah enakan?" tanya Janika saat memasuki ruang inap Bintang, ini sudah lewat tiga hari setelah kejadian gempa. Janika sudah bisa berjalan normal meski kadang terasa nyeri, dia menggunakan flat shoes dibandingkan sepatu tinggi untuk menghindari cedera baru.
Bintang menatap bintang-bintang lain di atas langit, dia duduk di sana memandang miliaran Bintang yang berbicara.
"Ini snack dari siapa, Bintang?" tanya Janika.
"Nenek," ucap Bintang.
Janika mendekat, memeriksa apakah Bintang punya trauma dengan neneknya atau tidak.
Ternyata tidak, anak itu masih aman."Apa katanya?" tanya Janika.
"Mau tinggal sama Nenek atau nggak."
"Terus? Bintang jawab apa?" tanya Janika.
Janika dipandang oleh anak sembilan belas tahun yang baru saja lolos dari maut tersebut. Senyuman itu terlihat tulus, terbit di bibir pucat Bintang.
"Aku nggak bisa tinggal sama kamu terus, Janika."
"Kenapa?" tanya Janika.
"Karena bahaya," ucap Bintang.
"Habis ini kita pindah rumah, kok. Kita nggak akan tinggal di apartemen."
"Karena aku suka kamu, Janika. Aku suka kamu, makanya aku nggak bisa tinggal sama kamu. Aku tahu perasaan ini salah, gila, jadi lebih baik aku tinggal sama Nenek, 'kan?"
***
Some part left
KAMU SEDANG MEMBACA
HEARTBEAST [terselesaikan]
Teen Fiction"Aku mau jantungmu berdetak lebih lama." Orang-orang dengan jantung sehat saja kesulitan untuk hidup, apalagi anak seperti Bintang Admadja? Anak tengil itu tidak punya ambisi hidup, tidak punya kemauan hidup, pemberontak. Selain tidak punya angka ha...