Prolog

99 16 7
                                    

Katanya, saat dekat dengan perempuan, seorang laki-laki pasti sudah menentukan tujuan untuk perempuan itu. Entah itu teman, persahabat atau pasangan. Jadi, jika terus digantung dalam waktu yang lama, boleh jadi … kita memang bukan tujuannya. Bukan kita orangnya yang dianggap sesuai untuk mendampinginya dalam membangun rumah tangga.

Nila tahu benar itu. Namun, dia selalu menolak kenyataan. Dia berpikir, jika dia mampu bersabar sehari lagi saja, mungkin sesuatu akan terjadi. Akan tetapi, sehari itu bisa jadi tidak akan pernah datang. Ya, tidak pernah.

"Maafkan, aku, Nila. Sepertinya lebih baik kita berteman saja."

Jdar!

Suara guntur di langit seolah turut berduka atas gemuruh yang memenuhi dada Nila. Sorot matanya tampak kecewa dan seakan tak percaya mendengar jawaban dari pria yang dicintainya bertahun-tahun ini. Walau dia cukup tidak terkejut karena sudah menduga jawaban itu sebelumnya. Hati Nila tetap terasa patah. Ternyata semua waktu dan keputusannya untuk menunggu pria itu telah sia-sia, tak bersisa.

Dengan suara yang berat dan senyum tipis, dia pun menjawab.

"Ya, aku paham."

Nila meremas tangannya sembari menguatkan diri agar tidak menangis. Sebab jika dia meneteskan air mata sekarang, rasanya sungguh payah sekali.

"Gak setahun dua tahun kita bareng. Tapi, Mas masih butuh waktu seminggu buat ngasih aku kepastian. Bukannya itu lucu? Waktu bertahun-tahun aja gak cukup buat mantepin hatimu, apalagi cuma seminggu."

Nila menggantungkan ucapannya lalu menghela napas berat. Matanya mulai berkaca meski dia mencoba sekuat tenaga untuk bertahan.

"Ya, mungkin memang gak jodohnya."

Nila kemudian berdiri dan mencangklong tasnya.

"Aku mau pulang sekarang. Gak usah diantar. Terima kasih buat selama ini." Dia mengatakan itu sembari melihat ke jalan yang mulai dibasahi dengan gerimis.

"Tunggu, udah mau hujan sekarang. Biar aku anter pake mobil."

Lengan baju Nila ditahan, tapi perempuan itu menyentaknya.

"Cukup, Mas. Setelah ini jangan bersikap baik padaku lagi. Aku bisa salah paham kayak 10 tahun terakhir ini. Secukupnya aja."

Usai mendengar kata-kata dingin dari Nila, pria itu melepaskan pegangannya. Nila kemudian berlari ke jalan dan hujan langsung mengguyurnya.

Nawal … pria yang baru saja memutuskan hubungan dengan Nila itu mengepalkan tangan. Dia ingin berlari dan memberikan payung untuk perempuan itu. Tapi, dia tahu, dia sudah tidak berhak sekarang.

"Hhhh, seharusnya kamu marah saja atau setidaknya menangislah. Kenapa kamu sok kuat begitu? Aku jadi merasa sangat bersalah."

Sementara itu, di belokan gang … Nila yang sudah basah dengan air mata dan air hujan, menabrak seseorang.

Pria dengan payung transparan yang entah sejak kapan sudah di sini dan pasti menyaksikan semua yang terjadi padanya. Nila hanya bisa berjongkok dan perlahan mengeluarkan tangisnya.

"Hiks, dia bener-bener jahat, Zam! Bisa-bisanya … hubungan 10 tahun itu gak berarti buat dia selama ini? Aku dianggap apa sebenernya? Apa?!"

Ya, pria bernama Nizam itu hanya bisa menghela napas jengkel sebelum memberikan responnya. Usia pertemanan mereka dan lamanya hubungan Nila dan Nawal adalah sama. Jadi, Nizam sebagai laki-laki tahu benar … sejak awal Nawal tidak pernah serius dengan Nila.

Nizam pun kemudian menyahut.

"Udahlah! Mau kamu nangis sampai mukamu bengkak, make up mu luntur dan kamu jadi jelek pun gak ada yang berubah. Lagian, cowok di dunia ini bukan Nawal doang, Nil."

Mendengar tanggapan Nizam yang begitu, Nila mendongak ke atas dengan wajah cemberut.

"Aku ini lagi sedih loh, lagi patah hati, masih bisa ngomongin soal make up? Kamu ini ya! Apa wajahku semalu-maluin itu kalau gak pake make up! Aish, mau patah hati aja jadi gak bisa! Huh!"

Nila kemudian berdiri lalu menendang tulang kering Nizam dengan keras. Pria itu mengeluh kesakitan.

"Aw! Sakit, Nil! Nendang gak kira-kira."

"Wleee! Rasain! Traktir aku es krim Ind*maret depan karena aku lagi potek sekarang!"

Nizam hanya bisa geleng-geleng kepala melihat Nila sudah mengambil tisu dan mengelap wajahnya. Sebenarnya, dia tahu Nila tidak sepatah hati itu karena Nila pun sudah menduga akhir dari hubungannya dengan Nawal. Hanya dia denial selama ini, bahwa sosok baik yang dia cinta tidak berniat serius padanya.

"Hujan-hujan gini jangan es krim. Nanti pilek. Ayo ke kang bakso aja."

"Oke."

Mereka pun berjalan di bawah payung yang sama untuk menuju tukang bakso seolah-olah apa yang terjadi beberapa menit lalu bukan apa-apa.  

.
.
.

Bersambung~

Author

Bismillah, alhamdulillah ... Bisa berjumpa lagi.

:)

Kali ini ceritanya tentang orang-orang biasa ya. Tentang anak-anak usia 24-25 yang sedang di fase ... Disuruh cepet nikah sama orang tua, tapi gak punya calon, baru aja putus hubungan setelah minta kepastian, takut buka hati sama orang baru, takut ini dan itu ... yang akhirnya mau berdamai dengan menikah sama temen sendiri.

Lalu, gimana endingnya? Yuk, kita lihat bareng.

Siapa tahu menginspirasi. Semoga suka juga. Jangan lupa vote dan komennya ya.

Salam,

Naima

Teman ke SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang