Part 2 - Desakan Orang Tua

41 10 16
                                    

"Menikah itu mudah, yang susah adalah menemukan orang tepat untuk memulainya."

***

Nila tidak pernah berpikiran macam-macam tentang pernikahan. Dia juga tidak mematok usia ideal untuk menikah. Sekarang pun jika disuruh menikah dia tidak banyak pikiran. Hanya saja, calonnya tidak ada. Jadi, bagaimana dia bisa menikah jika calon suaminya tidak ada? Nila jadi jengkel karena orang tua terus mendesaknya. Apalagi setelah ada orang yang tidak dia kenal datang ke rumahnya dengan niat menanyakan lamaran. 

Rasanya, Nila ingin menghilang saja dari bumi. 

"Nduk, sampai kapan kamu mau nolakin laki-laki? Jangan terlalu pilih-pilih, gak baik."

Hasanah, ibu Nila selalu berkata begitu. Nila sampai hafal dan sangat muak. 

"Nila gak pilih-pilih, Buk. Tapi, apa ya ibu tega biarin Nila sama orang itu? Dia udah tua, Buk. Nila loh baru berapa? 24! Dia 40!"

Nila jadi tidak nafsu makan dan memutuskan untuk berdiri. 

"Jangan hanya karena dia udah punya rumah dan jadi PNS di Dinas kota, Ibu jadi gini lagi? Tapi, bayangin, anakku baru 10 tahun ayahnya udah 50 dan gak lama pensiun. Ibuk mau aku kerja sendiri karena suamiku udah tua?!"

Brak! Nila tak sengaja memukulkan piring ke meja saat akan mengangkatnya. Padahal, bukan niatnya begitu. Namun, tepat ketika itu, Harris-ayah Nila melihatnya dan menegur.

"Nila, apa sopan begitu sama Ibuk? Ngomong keras, banting piring ..." Harris geleng-geleng kepala dan menyuruh Nila duduk kembali. 

"Mbak, coba hitung berapa laki-laki yang kamu tolak selama ini? Sebenarnya kamu nyari apa? Nunggu apa? Laki-laki yang kamu ajak ke rumah kemarin? Kalau iya, suruh dia cepet seirusin kamu, paling gak lamaran."

Deg! 

Hati Nila berdenyut nyeri saat Harris menyinggung perihal Nawal. Sungguh, satu-satunya hal yang dia sesali dari hubungannya dengan Nawal selama ini hanya perkenalan Nawal dengan orang tuanya. Padahal, jika memang bukan dia yang menjadi pilihan Nawal, mengapa laki-laki itu bersikeras untuk datang ke rumahnya?

 "Ayah itu malu, Mbak ... kamu diomongin tetangga setiap hari. Udah lulus kuliah, malah kuliah lagi. Giliran mau dilamar orang, ditolakin, sebenarnya mau jadi apa? Jangan ngejar karir terus. Sementara karirmu juga gak jelas. Kamu kuliah jauh-jauh di kampus mahal, tapo malah cuma jadi guru TK. Sekarang, kuliah lagi buat nyelarasin jurusan. Kalau nunggu itu lama, Mbak. Mau sampai kapan? Sampai Ayah-Ibuk ubanan? Padahal, suksesnya orang tua itu ya pas anak-anaknya sudah mentas, sudah nikah semua."

Deg! Deg! Deg!

Belum selesai lara yang ditorehkan Nawal di hati Nila, sekarang ayahnya sebagai cinta pertama juga menggoreskan luka lain di dadanya. Hati Nila sesak. Dia menangis dalam hati. 

Sungguh ucapan ayahnya itu bukan pertama kali. Namun, kali ini terasa begitu sakit. Sebab ... ayahnya menyinggung perihal kuliah dan usahanya untuk bekerja, sedang dia selama ini mengandalkan beasiswa dan hasil keringatnya sendiri. Nila sungguh tidak menyangka usaha kerasnya menyelesaikan pendidikan satu per satu dan menapaki karir tidak lebih penting dari sebuah pernikahan bagi ayahnya. Bahkan, mengabaikan apakah pernikahan itu akan membuatnya bahagia atau tidak. 

Ayah dan Ibunya selama ini ternyata lebih malu akan dirinya yang tidak menikah-menikah daripada dirinya yang tidak lulus-lulus kuliah. Nila merasa dia sedang bermimpi buruk saat ini.

Sungguh, ayah yang dia percaya sekaligus cinta pertamanya, bagaimana bisa membuatnya sepatah ini?

Nila benar-benar ingin menangis, tetapi dia tahan. Dia tahan dengan sangat erat sampai-sampai untuk bicara pun sangat sulit.

Teman ke SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang