Part 8 - Keresahan

36 12 1
                                    

"Kita bisa saja patah hati, tapi bukan berarti itu menjadikan alasan kita bisa mematahkan hati orang lain."

***

Nila tidak pernah dekat dengan orang lain meski ada satu dua masa dia putus kontak dengan Nawal. Sifatnya yang memang tidak seperti wanita kebanyakan membuatnya secara alami sangat tulus dan setia hanya pada satu orang. Jadi, saat dia sudah memutuskan untuk menikah dengan Nizam ... Tidak ada sedikit pun pemikiran Nila yang mengharapkan orang lain. Apalagi itu Nawal, orang yang sudah mencampakkannya dengan tanpa rasa bersalah.

"Nizam ... Kamu tahu kan? Kamu mungkin lebih mengenalku daripada Mas Nawal. Apa aku pernah pindah ke lain hati selama aku udah suka?" Nila mengambil jeda dengan satu tarikan napas.

"Mau itu langganan makan, beli make up atau lain-lain ... Aku gak pernah pindah tempat cuma karena toko lain menawarkan hal yang lebih murah atau ada diskon. Apalagi ini soal perasaan. Kamu tahu aku gak sepicik itu," pungkas Nila.

Nizam menghela napasnya. Dia masih memegang tangan Nila. Sesekali dia mengusah cincin di jari manis wanita itu.

"Aku tahu, Nil ... Tapi, itu kalau kamu udah suka. Sementara kita gak lamaran karena saling suka ... Aku khawatir."

Nizam berbicara dengan nada rendah. Nila jadi merasa bersalah. Hubungan yang dia bangun dengan Nizam tidak memiliki landasan. Tentu saja jika ada angin kencang, hubungan itu sangat berantakan. Wajar saja Nizam memiliki kegelisahan. Jika posisi mereka terbalik dan Nizam lah yang memiliki mantan tak terlupakan, dia sendiri pasti akan menanyakan hal yang sama.

"Zam ... Aku mungkin polos, lugu. Tapi, aku gak bodoh. Siapa juga yang mau kembali setelah dicampakkan?"

Mendengar jawaban Nila yang tegas, akhirnya ada setitik kelegaan di mata Nizam. Pria itu juga kini sudah kembali menatap Nila.

"Melupakan memang gak mudah, kamu juga tahu kan rasanya? Tapi, kembali itu mustahil. Sejak dia memutuskanku, artinya aku memang bukan pilihannya, Zam. Kalau dia berubah pikiran, aku gak akan menerima. Aku bukan barang pengganti, yang kalau udah gak ada pilihan lain baru aku yang dipilih. Gak ..."

Nila geleng-geleng kepala. Seulas senyum dia sunggikan dengan denyut-denyut di dadanya. Bagaimana pun Nila sangat yakin bahwa kembali pada Nawal adalah hal yang tidak mungkin.

"Aku percaya sama kamu ..."

Nizam memgelus-ngelus tangan Nila lagi. Wanita itu mengangguk. Sebenarnya dia tidak keberatan bersentuhan dengan Nizam, tapi mereka masih belum menikah sekarang.

"Ya, baiklah. Bisa lepas sekarang dan kita cari makan?"

Mata Nila mengarah pada tangannya. Nizam menaikkan sedikit bibirnya.

"Kenapa? Kamu gak deg-degan cuma karena ini, kan?" goda Nizam.

Nila mendengus senyum.

"Apaan sih? Kita belum nikah, Zam. Masih dosa. Lepasin ..." ujar Nila dengan baik-baik.

Nizam perlahan melepaskannya dengan senyum kian mengejek.

"Hhh, padahal siapa yang sering pegang-pegang tangan buat guntingin kuku dengan gak baik kuku panjang?" ucap Nizam.

"Bilang aja gak mau kalau dipegang aku. Kalau dipegang Nawal pasti mau kan?" lanjutnya sembari berdiri lalu berjalan keluar.

Nizam hanya niat bercanda bukan sungguhan menyindir. Namun, Nila sudah kelabakan saat menyusul langkah Nizam.

"Eh, Ya Allah ... Siapa yang begitu? Aku gak pernah pegang-pegangan sama Mas Nawal ya! Jangan fitnah!"

Nila memukul lengan Nizam dengan tas kecilnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Teman ke SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang