Dulu sekali, kita semua tahu cara mengeja harapan.
Rasanya seperti bernapas—tidak ada yang mengajari, tidak ada yang memberi tahu bagaimana untuk melakukannya secara teknis, tidak ada buku panduan yang menjelaskan langkah demi langkah. Rasa-rasanya bagai kemampuan natural yang diberikan pada tiap insan. Saat kita bernapas, saat itulah kita belajar untuk mengeja harapan.
Awalnya, pada orang-orang terdekat.
Lagi-lagi, kamu tidak bisa mengendalikannya. Itu seperti sesuatu yang datang begitu saja tanpa bisa dicegah, seperti jamur yang menyebar dengan cepat. Sebagaimana kita bisa melihat, meraba, merasa dengan lidah, seperti itu pula cara untuk berharap.
Sederhana, saat itu.
Kamu hanya berharap, Mama dan Papa memperlakukanmu dengan baik. Setidaknya, selalu ada ketika kamu membutuhkan. Toh bagaimana pun, mereka adalah orang tua, bukan? Orang pertama, malah, yang kamu kenal. Tidak bisakah mereka meluangkan waktu untuk menemanimu bermain sebentar?
Tidak bisa, ternyata. Saat itu, untuk pertama kali, kamu mengenal rasa sakit yang baru. Satu sayap harapanmu patah.
But life goes on. Hidup terus berlanjut, waktu terus berlabuh, dan dalam setiap langkah, kita akan selalu menemukan harapan baru. Kedua, kamu mulai mengenal apa itu hubungan. Persahabatan, pertemanan, dan bermula dari kenaifan, kamu pun kembali berharap.
Sederhana saja, kamu hanya berharap teman-temanmu setia. Mereka yang akan menemanimu di setiap momen hidupmu—suka dan duka, tangis dan tawa—seperti bagaimana kamu selalu ada untuk hidup mereka.
Tidak berlangsung lama, kamu perlahan belajar bahwa setiap orang pada dasarnya akan datang dan pergi—entah oleh masalah, entah oleh waktu. Dan kamu tidak bisa berharap mereka untuk terus tinggal, kalau yang mereka inginkan adalah singgah.
Sayap harapanmu patah, untuk kedua kali.
Lalu, kamu mulai berharap pada hal yang berbeda. Kamu berharap pada mimpi, angan, dan kerja keras. Layaknya kata pepatah, setiap usaha pasti akan berbuah manis, bukan? Maka, bermodal itulah, kamu mulai bekerja keras. Mengusahakan ini dan itu, mengerjakan ini dan itu, menyibukkan diri dengan berbagai macam pekerjaan. Dengan ini, kamu berharap bisa sampai ke puncak—setidaknya kalau manusia bisa mengecewakan, biar kesuksesan yang berbicara.
Tapi tidak ada satu pun dari usahamu yang membuahkan hasil.
Malah, semakin giat kamu bekerja, semakin banyak kesia-siaan yang kamu hasilkan.
Harapanmu patah, untuk kesekian kalinya.
Lalu, lambat laun, kamu berubah menjadi pribadi yang apatis. Persetan dengan harapan, kini kamu menjalani hidup dengan hambar. Tidur pukul tiga pagi setiap hari (bukan sebab disengaja, tapi lebih sering ketiduran, dengan ponsel masih menyala di depan wajah), lalu terbangun pukul dua siang setiap hari. Bekerja dengan aras-arasan asal dapat uang, pulang kamu gunakan untuk makan seadanya, mandi sekenanya, lalu beberes dan tidur. Tidak benar-benar tidur, kamu kerap scroll medsos hingga subuh menjemput. Begitu pula dengan esok dan selanjutnya.
Hari-hari terlewat begitu cepat, banyak hal baru bermunculan, tapi tidak ada yang membangkitkan minatmu. Tidak juga dengan buku favoritmu atau serial televisi kesukaanmu. Everything feels so ... flat.
You've lost interest about anything in life.
Kamu hanya mengikuti rutinitas, dan voila, tahu-tahu satu tahun terlewat.
Kini kamu menoleh ke belakang dan bertanya-tanya,
Kemana diriku yang lama?
Kemana perginya semua harapku itu?
Tapi, sebelum kamu mendapat jawabannya, coba tanya satu hal ini pada dirimu terlebih dulu: Sebenarnya, pada siapa kamu berharap?
Karena, bila berharap dengan hal-hal yang fana, tidak jarang kamu akan mengecap kecewa.
Manusia adalah fana. Uang adalah fana. Bahkan kesuksesan dan tingkat sosial adalah fana. Untuk apa kamu mengharapkan hidupmu pada sesuatu yang jelas adalah fana? Untuk apa kamu melangkah kalau tahu ujungnya adalah jurang?
Siapa tahu, sayap-sayap harapan itu patah karena kita menggantungkannya pada sesuatu yang rapuh. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Secerah Mentari, Semanis Kerlip Bintang di Langit
Phi Hư CấuMasih ada harapan di tengah keputusasaan. Masih ada secercah mentari di ujung jalan yang gersang. Jangan menyerah. Jangan ciut dan kehilangan keberanian. Mulai hari ini, melangkah saja.