VI : Rahasia Yang Terungkap II

3.8K 54 2
                                    

Episode Sebelumnya :

"Ngomong yang benar, pak. Kamu bukan bayi." Kataku menambah tekanan kepadanya.

"Saya Aka—"

•••

"Papa? gakpapa disana?"

Di tengah perbincangan kami, tiba tiba ada suara yang berasal dari ruang makan, tak lain itu adalah suara Farel, anakku yang kedua.

"Ya nak! Gakpapa. Kamu lanjut makan aja sana." Aku menyaut, suara yang gema menyampaikan pesanku kepada Farel. Untungnya dia tidak sampai masuk ke dalam dapur.

Aku kembali menatap Pak Hasan, "Jadi?" Dia kembali menunduk, "Saya... Bakal ngelakuin apa aja... Jadi... Tolong jangan kasih tau ini ke siapapun, saya mohon." Suaranya lirih dan kecil, hampir berbisik.

"Hm? Saya gak denger pak." Kataku dengan mengintimidasi. Alih alih berbicara kembali, bapak mertuaku malah memegang kedua lengan atasku di dekat pundak, kepalanya disenderkan ke dadaku dan tetap berdiam tanpa sepatah kata apapun.

"Hah?" Aku mengernyit, kebingungan. Sepertinya Bapak mertuaku ini sudah mati langkah dan tak tahu apa yang harus ia lakukan lagi. Aku memegang pundaknya, sedikit merunduk kebawah agar mencapai daun telinga pak Hasan karena memang tinggi badannya yang pendek.

"Besok Tina Dinas malam, lembur dan pulang siang atau sore. Ke kamar saya setelah jam 11 malam lewat, saya tunggu." Aku berbisik, deruh nafasku cukup untuk membuat bapak mertuaku bergidik. Tanganku secara spontan meraih kepalanya dan mengelusnya bak anak kecil.

Setelahnya, aku langsung berbalik menuju ke ruang makan. Kami melanjutkan acara makan malam kami dan kebetulan Tina sudah pulang di tengah tengah kami yang sedang makan malam bersama.

"Besok kamu ngambil lembur, sayang?" Kataku. Ia memangut, "Iya mas. Soalnya bulan kemarin aku udah ngeskip lembur, jadinya nuntasin besok aja." Jawabnya. Mendengar itu bapak langsung melirik ke arah Tina, kemudian ke arahku. Dari rautnya, terlihat mata yang penuh kecemasan dan kegelisahan. Aku bisa melihatnya dengan cukup jelas.

Aku mengecup kening Tina, "Ohh, yaudah sayang. Kamu istirahat yang cukup." Merapikan perabotan kotor, kali ini Tina yang mengajukan diri untuk mencuci piring, dan aku? Bersantai di depan ruang tengah, menonton berita lokal seperti yang orang lain lakukan.

Sementara bapak, dengan sifatnya yang sangat giat nan rajin itu, turut membantu Tina di dapur. Hari esok akan lebih santai bagiku, karena semua projek pembangunan sudah hampir tuntas keseluruhan, dan tidak ada pemesanan barang, jadi tanpa sadar aku tidur sedikit lebih larut dari biasanya.

•••

Sesuatu menggerakkan kakiku yang sedang tertidur lelap, "Pak, Pak, Bapak." Aku membuka mata perlahan, "Hmmm..." Suaraku sangau, karena benar benar baru mengumpulkan nyawa. "Pak, tolong anterin aku pak berangkat sekolah." Farel masih mengguncangkan kakiku. "Mas mu mana emang Rel?" Tanyaku sembari mengulur waktu untuk tidur sedikit lebih lama.

"Mas udah jalan duluan, pak. Tadi sebelum subuh, katanya kebagian piket gerbang sekolah."

Aku mengulet, merilekskan sedikit otot dan sendi, duduk sebentar dan dengan berat hati bangun dari tidurku yang belum terpuaskan. "Ngapain emangnya mas mu jagain begituan?" Tanyaku sembari berjalan ke kamar mandi untuk cuci muka.

"Ya mas kan Ketua OSIS, pak. Wajar aja banyak kerjaan kaya gitu." Sahutnya.

Kami berangkat hari ini, untung bagus Farel dapat datang ke sekolah dengan tepat waktu meskipun jalanan depan sedikit padat, karena akses jalan desa yang memang terbilang kecil. Aku kembali ke rumah, dari yang harusnya bisa sampai sekitar 20 sampai 30 menit, menjadi hampir satu jam kurang hanya karena terjebak macet pasar.

Menaruh mobil di parkiran umum depan, aku melanjutkan perjalanan pulang dengan berjalan. Dari kejauhan sini, aku bisa melihat seseorang memasuki teras rumah, sepertinya tidak asing, dan Bapak mertuaku...?

Benar saja, setelah aku dekati, ternyata dua orang itu adalah orang yang sama saat mendatangiku menagih hutang Bapak mertuaku. Aku menghampiri dengan sigap, mencengkram tangan penagih hutang itu yang mencekik kerah baju Bapak mertuaku.

"Ngapain kalian ke rumah saya?" Nadaku tegas, dia dengan tenaganya melepaskan genggamanku, "Ini dia menantunya. Mana, lunasin utang mertua lo ini!" Suaranya angkuh dan songong, benar benar membuatku tersulut. Aku melirik semut ke arah Pak Hasan, dia berpaling.

"Sini, nomer rekening lo." Sahutku dengan nada yang tak kalah nyolot. Mendengarnya, mertuaku terkejut dan berusaha menahan lenganku meskipun tidak berkata sepatah kata apapun. Alhasil, lagi lagi aku membayarkan hutang Bapak mertuaku sendiri, kali ini yang membedakan adalah sekarang bapak mertuaku menyaksikan secara langsung aku membayar hutang yang tidak jelasnya itu.

Tanpa mengucapkan sedikit terimakasih-pun, kedua penagih hutang tersebut jalan dengan petantantang-petenteng lalu meninggalkan kami.

"Kamu seharusnya gak bayar hutang itu, itu hutang saya." Bapak angkat suara saat aku masuk ke dalam rumah dan melewatinya, aku menoleh kebelakang, "Terus, mau gimana lagi, pak?" Tanyaku. Dia kembali mengalihkan bola matanya ke tanah, terfokus pada jari jari kakinya yang menapak di halaman rumah.

Aku mengambil langkah mendekatinya, mendekatkan bibirku ke telinga Bapak Mertuaku, "Tenang aja pak, bapak gak perlu membayar hal ini dengan uang. Cukup dengan Bapak sendiri." Aku berbisik, aku bisa melihat lehernya bergidik mendengar ucapanku tersebut. Sekarang dia pasti memiliki tanda tanya besar apa yang dimaksudkan menantu lelakinya sendiri?

"Dah, tolong buatkan saya kopi, pak. Kayaknya enak pagi pagi dingin begini." Aku berpaling dan kembali berjalan menjauh, ke dalam ruang tengah. Sementara dia terpatung dalam beberapa saat namun tak lama kembali sadar dan segera menuju ke dalam dapur, menyiapkan secangkir kopi hitam di meja yang berada tepat di depanku.

Sembari menggenggam sepuntung rokok dan menonton berita TV, aku melirik semut ke arah Pak Hasan. Hari ini dia memakai baju kaos hijau muda dengan aksen celana kolor berwarna coklat diatas lutut, benar benar mengundang tanganku untuk menyusup masuk diantar celahnya dan mengobrak abrik sebagian besar isi yang berada di dalam celana kolor pendek tersebut.

Dengan sigap aku mengenggam pergelangan tangannya, "Mau kemana pak? Buru buru banget?" Kataku. Ia kembali memegang tanganku dengan tangan yang satunya, mencoba untuk melepaskan genggaman tanganku terhadapnya.

Melihatnya seperti itu, dengan sigap aku menarik tangan Pak Hasan dan membuat tubuhnya terduduk di sofa tepat di sampingku, tubuhnya menempel langsung di pundakku secara spontan.

Dan penuh persiapan pula, tangan kananku langsung merangkul Pak Hasan yang memang sekarang sedang berada tepat di samping kananku. Tubuh kami menempel satu sama lain, meskipun dia berusaha untuk kembali menjauh.

"Lepaskan saya, nak. Di dalam ada anak saya! Saya gak mau dilihat anak saya seperti ini." Katanya sembari mencoba melepas dan menjauh dariku. "Tenang aja pak, lagian saya juga cuma pengen nonton bareng Bapak Mertua saya, emangnya salah?" Kataku sembari terkekeh sedikit melihat tingkahnya itu.

Aku menyeringai, "Bapak gak lupa tentang apa yang saya kasih tau ke Bapak sebelumnya, kan?"

BERSAMBUNG.

======================================

Halo, Readers!

Lama gak jumpa! Singkat aja karena sudah Author umumkan di Papan Pengumuman Author, setelah ini Author FV akan langsung membuat untuk lanjutan Episode selanjutnya!

Terimakasih atas semua atensi dan dukungan Readers untuk cerita ini! Sekali lagi Author ingin Readers untuk tetap mendukung cerita ini dengan cara Voting cerita ini supaya Author tetap semangat Update Episode baru setiap harinya ya! Cheers up!

======================================

Si Abi berani juga ya narik dan maksa rangkul mertuanya begitu! Iya tau mungkin emang badan mereka terlampau jauh! Apalagi Pak Hasan yang notabennya pendek kecil bakalan gampang banget di tarik dan di rangkul dengan tangan besar Abi!

Apa yang bakal dilakuin menantu bejat ini kepada Bapak Mertuanya sendiri nanti?

Selanjutnya : Nyekap Bapak Mertua

MENAKLUKAN BAPAK MERTUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang