VIII : Mengagahi Pak Hasan

6.8K 164 10
                                    

Episode sebelumnya :

Dan inilah saatnya, untuk mencapai panggung Fantasi Birahiku yang meriah di malam yang sunyi, bersama Pak Hasan, Bapak Mertuaku sendiri.

•••

Matahari sudah bersembunyi seluruhnya, waktu menjentikkan jemarinya di angka sembilan. Kami baru saja selesai makan malam, aku, Farel dan Pak Hasan. Malam yang sepi, hanya ada kami bertiga disini.

Rizki masih menginap di rumah temannya, sementara Tina sekarang sedang lembur bekerja dan paling lambat pulang esok lusa. Dan ya, ini adalah waktu yang paling ku nantikan.

Aku duduk di bibir ranjang, bertelanjang dada dengan bawahan celana kolor putih bersih diatas lutut. Sengaja aku menahan dinginnya angin malam ini untuk menunggu Pak Hasan masuk ke dalam kamarku.

Menatap ke jendela luar kamar, kini suara engkel pintu terbuka dan suara langkah kaki mendekat. Pak Hasan menginjakan kaki di kamarku untuk kedua kalinya. Tapi kali ini, akan ada banyak perbedaan diantara keduanya! Aku akan menyantap tubuhnya bulat - bulat!

Dia masuk ke dalam, mengenakan piyama berwarna biru muda panjang. Apa apaan yang dikenakan orang tua ini? Sebuah baju tidur dengan motif boneka beruang kecil? Apakah dia benar benar seorang Pria tua berumur 55 tahun yang aku kenal?

Lupakan hal itu, sepertinya baju piyama tersebut pemberian anaknya, Tina, yang tak lain merupakan Istri sahku. Mertuaku berjalan masuk perlahan, seraya menunduk melihat lantai, mengindari tatapan penuh akan nafsuku.

"Duduk pak." Perintahku untuk menyuruhnya duduk di sebelahku. Sementara aku beranjak untuk menutup pintu kamar yang tak ia rapatkan kembali.

Kini dia ada di bibir ranjang, wajahnya berpaling dariku. Sorot mata cemas dan ekspresi takut dicampur dengan kebingungan terpapar dengan sangat jelas di wajahnya yang sudah keriput itu.

Aku mendekati bapak Mertuaku, "M-mau apa kamu dengan saya?" Suara Pak Hasan sedikit bergetar. "Lho? Kan Bapak yang bilang sendiri saya bebas ngapain aja?" Jawabku penuh dengan penekanan.

Seraya aku mendekat, dia berusaha menjauh dariku dengan mundur lebih dalam ke ranjang tempat tidurku. Aku semakin mendekat hingga kini dia tak bisa kemana mana lagi.

Aku berada diatas Pak Hasan, mendekatkan wajahku dengan wajahnya. Aku dapat merasakan hembusan deru nafasnya yang teratur membasuh permukaan kulitku, menjadi irama tersendiri saat masuk ke dalam telingaku ini.

Tanganku membelai pipinya, mengelus elus kumisnya yang kian memutih itu, deru nafasnya semakin kuat, tapi dia tidak berbuat apa apa. Sepertinya dia benar benar bersungguh saat dia mengatakan siap melakukan apa saja.

"Baju ini pasti dari anak Bapak." Kataku pelan, hampir berbisik dengan nada yang begitu seduktif. Dia tak mengucap sepatah katapun. Sementara aku membuka kancing bajunya satu persatu.

Mulai dari kerah, menampilkan leher dengan jakunnya yang berulang kali menelan ludah karena tekanan kegelisahan yang kuat, kemudian turun sampai ke perutnya yang sedikit membucit di perut bagian bawah.

Perutnya kembang kempis mengikuti irama nafasnya yang tak beraturan, aku membelai perut bagian bawah tersebut, aku melirik semut, dia sedang meremas seprai ranjang ku.

Dan pada akhirnya, turun sampai diantar selangkang Pak Hasan. Meskipun masih tertutup celana panjang, tetap saja aku tidak merasakan sama sekali jendolan pusaka milik Pak Hasan. Ya, wajar saja lah. Lagipula memang dari awal Pak Hasan bukan orang sepertiku ini.

Aku meremas tepat dimana buah pusaka Pak Hasan berada, "Ahhmghh.." Bapak mertuaku tercekat, dia langsung menggenggam pergelangan tanganku yang sedang meremas buah Pusakanya yang masih terbalut celana ini.

"Mau apa kamu sebenarnya!? S-saya ini laki laki sama seperti kamu!" Suaranya begitu bergetar, sama bergetarnya seperti tangan Pak Hasan yang memegang pergelangan tanganku saat ini.

"Emangnya kenapa pak kalau Bapak sama saya sama sama laki? Emangnya kenapa kalau Bapak itu Bapak mertua saya sendiri?" Tanyaku mendominasi dirinya lebih jauh lagi, aku berbisik di telinganya yang memerah seiring waktu.

Aku kembali meremas buah batangnya lagi dengan lebih intens dan penuh tekanan, dia kembali tercekat sembari mengenggam pergelangan tanganku lebih kuat lagi. Melihatnya melakukan perlawanan seperti ini, dengan sigap tangan kananku mencengkram kedua pergelangan tangan Pak Hasan, menahannya keatas.

Sebagian kakiku terhimpit oleh kedua paha Pak Hasan, sementara tanganku menjalar masuk ke dalam selangkang Pak Hasan yang masih terbalut celana. "Buka Pak." Kataku memerintahkan dirinya untuk melebarkan selangkangnya.

Namun ia malah mempererat kedua belah pahanya itu. Aku mengernyit. Dengan spontan dan cepat, aku melucuti paksa celana Pak Hasan sampai dibawah lututnya. Pahanya yang mulus berwarna merah muda langsung terpapar di hadapanku.

Kalau dilihat lebih dekat, rasanya lebih menggairahkan ketimbang mengintipnya dari jauh. "Jangan! J-jangan..." Katanya merintih melihatku menanggatkan celananya begitu saja. Menyisakan celana dalam berwarna putih dengan bahan yang tipis.

Aku meremas celana dalam tersebut, kini sudah mulai berasa adanya daging batang Pak Hasan di balik kain ini. Aku terus meremasnya keras hingga membuat Pak Hasan menggelinjang ke kanan dan ke kiri. "Aaghh.. jangan nak! Ngi...ahhh..ngilu!" Mata Pak Hasan berair sembari melihatku yang sudah dikuasai birahi.

"Jangan alay pak, cengeng banget baru di remes pelernya udah nangis." Kataku bringas. Aku mendekatkan wajahku ke dada Pak Hasan yang masih berlaput kaos dalam berwarna putih, membenamkan wajahku disana dan memilin puting Pak Hasan dengan bibir dan gigiku.

"A...Ahhhh...!" Ia tercekat kembali, aku dapat merasakan bokong Pak Hasan naik, namun tertahan oleh badanku yang kini menindih Pak Hasan. Aku terus mengenyot pentil Pak Hasan tanpa ampun dan tanpa jeda nafas sedikitpun.

"Aahhhg... Hahh.. Udahh...! Udaah...!" Kepala Pak Hasan menggeleng ke kanan dan ke kiri, hanya bisa pasrah dengan permainan bibirku di putingnya. Dia merengek seperti anak kecil minta untuk diberhentikan. Tapi perduli setan dengan itu.

Kini permukaan kaos Pak Hasan yang menutupi pentilnya sudah lepek total karena air liurku. Aku melirik keatas, melihat wajah Pak Hasan. Ternyata air mata sudah membasahi wajahnya. Apa apaan Pria tua cengeng ini?

Aku menghentikan permainan pentil tersebut dan merangkak naik di atas tubuhnya. Kini pusaka kami berdua bergesekan satu sama lain di balik celana masing masing. Aku menatap dalam ke wajahnya.

"Saya belum merawani bapak aja udah ngerengek kaya gini. Apalagi kalau pecah perawan sama saya, Pak." Kataku. Mendengar kata kata tersebut, matanya membelalak melihat langsung ke mataku yang penuh dengan tatapan pemangsa nafsu birahi.

"M-maksud kamu merawani saya..." Suaranya bergetar, dia melirik kebawah, melihat gundukan besar di balik celana yang kupakai. 'Bagaimana? Apa itu berarti dia akan memasukkan benda besar itu kw dalam tubuhku? Apa itu akan benar benar muat?'

Mungkin saat ini, itulah yang dipikirkan Pak Hasan. Aku mendekatkan bibirku sekali lagi ke telinga Pak Hasan dan berbisik.

"Iya pak, Bapak harus membayar dengan perawannya Bapak."

BERSAMBUNG.

•••

Waduh, masa iya bayar pake begituan?! Apalagi ini Bapak mertuanya sendiri! Bener bener si Abi! Gelagatnya udah makin berani sama Pak Hasan. Apa pak Hasan akan bener bener sudi ngerelain perawannya buat menantu dia sendiri?

Selanjutnya : Jangan kasar - kasar!

Episode selanjutnya akan berlanjut jika sudah mencapai 350 Vote! Terimakasih yang sudah mendukung cerita ini menjadi lebih berkembang!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 28 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MENAKLUKAN BAPAK MERTUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang