3 • Kabar Tak Menyenangkan

72 13 4
                                    

Tak ada yang terjadi sejak pesta pernikahan Samuel sebulan lalu. Bryatta sudah bersiap-siap, andaikan Heidy datang dan meminta tanggung jawabnya karena telah berbuat hal yang tidak semestinya. Belum lagi Bryatta yang menuduh macam-macam pada Heidy di hari itu. Ketika mengingatnya lagi, ia merasa sangat malu.

Seperti yang terjadi sekarang.

"Malam itu, Heidy antar lo pulang, kan?"

Hari ini Bryatta makan bersama dengan Joan. Lelaki yang merupakan teman sekelasnya saat kuliah itu bekerja tak jauh dari kantornya. Hari ini, ketika mereka tak sengaja bertemu, Bryatta mengajak Joan untuk makan siang bersama.

Anggap saja untuk mengeratkan jalinan pertemanan.

"Hm, iya. Dia antar gue pulang ke apartemen," jawab Bryatta bohong. Matanya berkedip lebih cepat, ia juga mengalihkan pandangannya ke rumput imitasi daripada melihat wajah Joan.

Joan mengangguk paham.

"Syukur deh, gue kira dia nggak antar lo pulang. Baru keingat kalau dia belum lama ada di sini dan nggak tahu banyak jalan."

"Dia panggil sopir."

Joan tertawa setelah meminum jus alpukatnya. Kepala dengan potongan rambut undercut menggeleng. "Bocah itu baik banget. Dia itu terlalu munafik."

Dahi Bryatta berkerut mendengar perkataan Jaon yang tiba-tiba. "Maksud lo?"

"Dia nggak pernah minum alkohol sebelumnya. Kemarin di pesta Samuel itu pertama kali dan ternyata dia bisa minum 4 gelas. Hebat juga." Joan meringis pada Bryatta. Kedua tangannya saling remas di atas meja. "Gue juga suruh dia buat antar lo karena gue juga harus antar Michele, terus Karina harus cepet pulang."

Bajingan.

Entah mengapa Bryatta ingin berteriak pada Joan kalau dia adalah bajingan nan brengsek. Memang boleh memaksa orang untuk minum seperti itu?

"Lo tahu? Heidy itu dari keluarga kaya. Ayahnya arsitek, ibunya punya butik. Dia punya rumah bagus dan uang saku yang jumlahnya nggak sedikit. Dulu waktu SMA, gue pernah minta tolong sama Heidy buat bayar hutang ke kantin karena uangku udah habis buat kencan." Lagi-lagi Joan tertawa. Seolah kata-katanya paling lucu. "Dan percaya nggak kalau ... dia bayar semuanya. Sampai sekarang gue nggak bayar hutang karena dia juga nggak pernah nagih. Samuel juga pernah pakai uangnya buat beliin pacarnya barang pas lagi nggak pegang uang. Apa mungkin karena gue sama Samuel satu-satunya teman di SMA, ya?"

Sandwich isi ham sisa seperempat tak lagi menarik. Bryatta mencondongkan tubuhnya, lebih tertarik pada topik Joan.

"Hah? Dia nggak punya teman?"

Joan mengangguk. "Lo tahu penampilan Heidy, kan? Anak-anak nggak mau jadi temannya karena dia itu pendiam dan kaku. Dia memang nggak banyak bicara sama orang asing, tapi kalau lo sudah kenal, dia itu teman yang cukup baik dan loyal, kok."

Pantas saja. Waktu itu Heidy terus-terusan menunduk dan membuang pandangan ketika Bryatta menatapnya. Dia pasti merasa tidak nyaman bersama orang asing.

Sejujurnya dengan tinggi badan yang mencolok, Heidy bisa jadi ketua diantara Samuel dan Joan. Bukannya malah dimanfaatkan oleh mereka berdua.

"Dan lo manfaatin dia, Joan."

Lelaki tertawa canggung, lalu membuang pandangannya pada jalanan yang ramai motor. "Iya. Sebenarnya gue mau minta maaf sama Heidy, tapi malu banget. Kalau dilihat-lihat dia juga nggak dendam sama gue atau Sam. Jadi, gue pikir ya udah, nggak perlu minta maaf."

"Dari luar memang emang dia itu tipe cowok yang nggak tahu apa-apa dan naif, tapi kita nggak pernah tahu bagaimana perasaannya," kata Bryatta mengingatkan sambil memutar mata malas.

FATEFULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang