4 • Tempat Yang Baru

63 16 16
                                    

Rasa sesal tak juga menghilang sejak sebulan berlalu.

Bagi Bryatta, Ayah adalah seseorang yang paling dicintainya setelah Ibu. Beliau orang yang mendidik Bryatta untuk tidak jadi anak yang penakut sejak kecil, mengajarkan banyak hal hingga ia bisa melakukan apapun secara mandiri tak bergantung pada orang lain.

"Nggak apa-apa, yang penting kamu sudah di sini. Nggak perlu menyesal, Bia."

Ketika Ibu memberitahunya kalau Ayah sakit, Bryatta tak bisa pulang. Ia masih saja disibukkan dengan pekerjaannya di sebuah event organizer. Belum lagi hasil kerjanya kacau karena ulah Winar. Bryatta stres dan ia belum bisa meminta ijin untuk pulang.

Bryatta bahkan tak sadar kalau ia begitu merindukan panggilan kecilnya dari Ibu.

"Iya, Bu. Tapi, rasanya berat. Aku menyesal karena nggak ada di saat terakhir Ayah. Sekarang, aku nggak akan pernah bisa lihat Ayah lagi."

Ibu menggelengkan kepalanya, seolah meminta Bryatta untuk berhenti bicara tentang hal itu. Mungkin juga karena sejak kemarin Ibu terus-terusan melihat Bryatta murung. "Terus bagaimana pekerjaan kamu sekarang?"

Hingga akhirnya Ibu mengalihkan pembicaraan.

Bryatta tersenyum tipis. Ia menunjuk laptopnya yang menyala dan menampilkan lembar A4 berisi lamaran pekerjaan.

"Aku mau cari kerja di sini." Bibir bawahnya digigit lembut. Manik mata sipitnya melirik Ibu takut. "Aku juga sudah pamit resign kemarin."

Ibu melotot. Netranya menatap Bryatta lekat, menuntut penjelasan. Kompor yang mulanya menyala buru-buru dimatikan. Wanita paruh baya itu bergabung dengan anaknya di meja makan. "Kenapa? Apa karena kamu pulang dan mereka nggak kasih ijin?"

"Nggak, Bu. Aku memang sudah lama berencana mau resign, tapi belum ada kesempatan," bohong Bryatta.

"Ah, jadi karena itu kamu dari kemarin nggak balik ke ibukota, ya?" Ibu menyentuh bahu Bryatta, memberi pijatan di bahunya yang kaku. Raut wajahnya berubah lebih santai. "Nggak apa-apa, nggak usah kembali ke ibukota. Kamu di sini saja, Ibu juga sendirian. Rumah semakin sepi kalau kamu pergi juga."

Ibunya mungkin bingung. Beberapa hari setelah kepulangan Bryatta, sebuah mobil dengan bak belakang terbuka datang. Membawa ranjang, lemari, hingga kardus yang isinya berbagai macam barang. Ibu tak berkata apapun, tetapi wajahnya menyimpan banyak tanya. Baru kali Bryatta mengatakannya kalau ia tidak akan kembali ke ibukota.

Lagipula Bryatta terlalu malu kalau harus bertemu dengan Heidy lagi. Anggap saja ini sebagai salah satu cara menghindarinya.

"Menurut Ibu?"

Ibu membuat pose berpikir yang lucu. Bryatta bahkan mengulum senyum ketika jemari Ibu yang sudah keriput mengetuk-ngetuk kepalanya. Seolah sedang berpikir keras.

"Tadinya Ibu kira kamu ambil cuti buat pulang ke sini dan Ibu juga kaget karena ternyata kamu resign. Ibu tentu saja senang. Mulai sekarang Ibu nggak akan sendirian lagi."

"Ibu kesepian kalau aku nggak di rumah?"

"Iya!" Ibu memukul lengan atas Bryatta main-main, bibirnya mengukir senyum kecil. "Sejak kamu pergi nggak ada yang berteriak-teriak karena lupa menaruh jam tangan dan kaos kakinya. Yang ada cuma Ayah yang tiap pagi sahut-sahutan sama burung."

Bryatta tertawa gembira. Matanya berkaca-kaca ketika mendengar perkataan Ibu. Rasanya sudah lama ia tidak mendengar omelan Ibu tentang kebiasaannya yang sering lupa hal kecil.

Ia rindu sekali.

"Mulai sekarang ada yang bisa Ibu omelin lagi."

..

FATEFULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang