2 • Sambutan Pagi Hari

88 14 20
                                    

Dingin.

Seingatnya, kamar di apartemen tidak pernah sedingin ini. Ia bahkan meringkuk, memeluk guling dengan harapan tubuhnya merasa hangat dan bisa melanjutkan mimpi yang sempat tertunda. Kepalanya semakin masuk ke cerukan bantal, berusaha menyamankan diri.

"Mana bonekaku?"

Tangannya meraba sisi kiri ranjang. Kosong. Bantal strawberry seukuran galon air tak ada. Bryatta berdecak sebal. Mata masih terlampau berat untuk terbuka. Kepalanya juga masih pusing padahal hanya minum sedikit.

"Sial!"

Bryatta membuka mata. Plafon yang dicat putih tampak buram. Ia berkedip lambat. Kedua tangan mengucek mata untuk menghilangkan kantuk. Beberapa kali sebelum semuanya terlihat jelas. Kepalanya menengok pada lampu kekuningan menyala di sisi kiri ranjang. Terlihat asing dan aneh. Juga, Bryatta tak punya jendela besar seperti ini. Jendelanya di apartmen hanya seukuran pintu, cukup kecil dengan gorden.

Lalu ... dimana bantal strawberrynya?

Dahi Bryatta mulai berkerut bingung.

"Ini dimana?"

"Di hotel."

Tubuhnya yang baru saja hendak bersandar pada headbed berhenti. Seketika kepala dengan rambut acak-acakan menoleh ke sumber suara. Betapa terkejutnya Bryatta saat melihat seorang lelaki berdiri di depan pintu kamar mandi yang jaraknya 7 meter dari ranjang. Berdiri tegap tanpa atasan, memamerkan tubuh tan berpahat otot perut 6 kotak. Rambut basah, ujungnya menyentuh leher, membuat air bekas keramas mengalir hingga batas handuk putih yang menutupi daerah privasi ke lutut.

"Ngapain lo di sini! Siapa lo?!"

Bryatta beringsut mundur. Ia panik. Lagi-lagi mata sipitnya melebar ketika selimut yang semula menutupi tubuhnya meluncur turun. Buru-buru ia menarik kain tebal itu hingga menutupi setengah wajah.

"Lo ngapain di sini? Jawab! Masih punya telinga, kan?" bentak Bryatta setelah melihat lelaki itu hanya diam.

"Ah, maaf." Lelaki itu berjalan cepat melewatinya menuju sebuah sofa abu-abu yang jaraknya 1 meter dari ranjangnya. Sebuah kacamata bulat tak asing diambilnya. Rambut hitam basah disugar, ia memakai kacamata miring sebelum menoleh pada Bryatta yang masih meringkuk di ranjang. "Gue Heidy."

"Terus kenapa lo ... nggak pakai baju?"

"Eh? Gue baru aja selesai mandi." Heidy menjawab polos. Namun, ia buru-buru menambahkan ucapannya ketika Bryatta menatap layaknya buronan penjahat kelamin 5 tahun. "Tenang, jangan salah paham. Gue nggak ngapa-ngapain, kok. Semalam lo mabuk dan pingsan. Teman-teman lainnya nggak bisa antar karena keadaan mereka nggak memungkinkan. Karena gue nggak tahu dimana rumah lo, jadi gue bawa ke hotel."

Bryatta menelan salivanya kasar. Pipinya memerah saat Heidy membuka handuknya dan menyisakan celana hitam sepaha. Kepala berpaling saat ia berkata, "Terus kenapa gue juga nggak pakai baju? Lo beneran nggak ngelakuin hal yang aneh-aneh, kan?"

Heidy berhenti. Celana jeans yang mulanya hendak ia pakai, tertunda di tengah paha. "Lo buka baju sendiri karena kata lo hawanya panas, padahal AC-nya udah nyala."

Wajah Bryatta berubah kebingungan. Ia sama sekali tak ingat. Untuk saat ini yang ada di otaknya hanyalah ia yang pingsan karena minum 2 gelas sekaligus di pesta pernikahan Samuel.

"Maaf, semalam gue juga mabuk. Semalam gue takut mau nyetir jadi gue pesan sopir dan suruh buat antar kita ke hotel."

Pundak yang sejak beberapa menit lalu kaku mulai melemas. Ucapan Heidy cukup masuk akal.

"Gue nggak berbuat yang aneh-aneh, kan?" Bryatta berdecak setelah menghela napas lega. Ia mengusap wajahnya yang berminyak.

"Nggak, nggak."

FATEFULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang