Partner Enemy 8

16 3 4
                                    

"Aku ingin menengok Francetta. Bisakah kau membuatkan sesuatu untuk kuberikan kepada Nyonya Caroline, Shu? Rasanya jika hanya datang dengan tangan kosong, aku merasa tidak enak."

Mereka selesai makan siang. Urusan lantai bawah rumah pun telah selesai. Tinggal memberesi bagian lantai atas, tetapi Shuma berpendapat bahwa mereka bisa melakukannya besok. Untuk hari itu, keseluruhan energi telah habis. Merasa sudah tidak mampu untuk memberesi kamar-kamar besar yang sebagian memang berada di lantai atas.

"Membuat apa?"

"Apa saja. Kau pandai mengolah bahan masakan. Yang cocok untuk diberikan oleh kunjungan pertama dari tetangga baru. Cocok juga dimakan oleh anak-anak dan ibu yang masih menyusui. Nyonya Verial bilang kalau Nyonya Caroline memiliki anak seusia France. Apa kau juga mau ikut berkunjung, France? Sekalian berkenalan dengan anak Nyonya Caroline."

"Tidak. Terima kasih. Aku mau tidur saja di kamar."

"Setelah kau membersihkan bekas makanmu, Pangeran." Shuma menahan bagian belakang kemeja yang dikenakan France sebelum bocah itu melangkah lebih jauh.

Sembari mendumal, diiringi senyum jail Edia, France membawa piring dan gelas kotor miliknya ke bak cuci. Dengan sesekali diarahkan oleh Shuma terkait cara mencuci perkakas makan yang benar, dia berhasil menyelesaikannya. Karena tak memiliki tugas apa pun, tidak ada yang bisa dibebankan lagi kepada si bocah bermata hazel hari itu, mereka membiarkannya pergi ke kamar. Sedikit merasa iba karena telah berlaku sedikit keras.

"Itu bagus untuk membentuk karakternya sebagai sosok yang bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dia miliki." Begitu alibi Shuma saat Edia menyampaikan keibaannya.

"Bocah yang malang." Gantian Edia yang beranjak untuk memberesi bekas makan. "Jadi, apa yang akan kaubuat sebagai buah tangan ke kediaman Nyonya Caroline?"

"Karena dia masih menyusui, kupikir membuat rebusan ayam dengan berbagai jenis sayuran dan kacang-kacangan akan sangat cocok. Bagus untuk memperlancar ASI."

"Ho ho ho. Rupanya, kau juga tahu hal-hal semacam itu, heh?"

"Aku pernah ... melihat iklannya." Shuma menggerakkan kedua bahu. Tak begitu peduli. Mengabaikan tatapan kagum Edia yang dia tahu hanya dibuat-buat.

Satu jam kemudian, Edia membawa panci dari tanah liat menuju kediaman Nyonya Verial terlebih dahulu menggunakan kereta kuda pinjaman yang belum mereka kembalikan. Pagi tadi setelah mereka sampai, mereka meminta sais untuk pulang. Tidak perlu menunggu, tetapi berharap agar kereta itu diizinkan tinggal selama beberapa waktu. Paling tidak sampai mereka membeli sendiri.

Sais itu tak keberatan. Toh, kereta kuda milik Keluarga Gordocha tak hanya satu. Ada beberapa. Yang dibawanya hanya salah satu. Terlebih, Nyonya Verial pun telah berpesan kepadanya bahwa jika keluarga baru itu menginginkan kereta kuda, mereka boleh meminjam semaunya. Dia pun kembali ke kediaman Gordocha.

"Kau yakin bisa membawa kereta itu sendiri?"

Edia tersenyum jemawa sepanjang mengendalikan kereta. Pertanyaan bernada sangsi yang dilayangkan Shuma terjawab dengan sempurna.

"Hanya membawa barang ini apa susahnya? Tinggal mengendalikan kekang, membuat si kuda menuruti arahan, memperlakukannya dengan baik agar tidak bergerak liar, bukanlah sesuatu yang sulit, Bung."

Sayangnya, Edia tak bisa menemui Nyonya Verial. Nera bilang kalau mereka pergi ke kota sebelah untuk menghadiri undangan kerabat. Membawa serta si kembar dan anak lelaki mereka.

"Hm ... bagaimana kalau kau saja yang memanduku, Nera? Kau ... tidak begitu sibuk karena Tuan dan Nyonya Gordocha sedang pergi, 'kan? Lagi pula, pelayan di rumah ini bukan hanya kau saja, 'kan?"

Best Enemy Best PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang