Partner Enemy 4

18 3 4
                                    

Mereka berhasil menemukan perahu dengan beberapa penumpang di dalamnya. Langit perlahan menjingga saat Edia memutuskan untuk menaiki perahu tersebut. Embus angin pagi berhasil menggigilkan. Pantas perempuan itu meminta Edia melapisi sang bayi dengan berhelai-helai kain saat pergi. Dari warna sebagian daun yang mulai kekuningan dan kecokelatan, Edia menduga bahwa negeri di mana dirinya terlempar tengah memasuki musim gugur.

Mereka cukup beruntung karena perahu segera bertolak dari dermaga tak lama setelah mereka masuk. Hanya ada 5 penumpang, dua di antaranya anak-anak. Meski masih berwajah muram, Edia merasa lega karena bocah lelaki itu tidak banyak drama. Mengunci mulut. Duduk diam sembari menunduk di samping Shuma.

Laju perahu tak begitu cepat sehingga mereka bisa menikmati panorama dinding kedua tebing. Sesekali terdengar kecipak dari ikan-ikan sungai yang menari di dekat perahu. Seorang anak perempuan duduk di sebelah wanita dewasa terlihat tak segan mengeluarkan tangan dari dinding pembatas sehingga mengenai cipratan air yang dilalui.

Fajar kian melebarkan jubah saat bayi dalam gendongan Edia mulai merengek. Sebisa mungkin ditenangkan, tetapi Edia tahu akan sulit. Selain karena hawa dingin musim gugur serta berisiknya mesin perahu, bayi itu kelaparan. Dia hanya menyusu dua kali sepanjang malam sebelum akhirnya mereka meninggalkan ruang persembunyian. Edia memang belum menikah, masih pelajar, tetapi beberapa hal tentang bayi telah dia pelajari. Untuk sementara, yang bisa Edia lakukan hanyalah menepuk-nepuk bokong bayi itu agar lebih tenang.

Melihat bayi merengek, wanita dewasa di samping anak perempuan yang asyik menikmati cipratan air merasa iba. Meski tak saling mengenal, dia paham apa yang terjadi kepada bayi dalam gendongan gadis di depannya.

"Kau malu untuk menyusuinya di depan kami, Nyonya Muda?" Dia mencolek bahu Edia. Tersenyum ramah. Berharap bahwa tegurannya tidak membuat gadis itu tersinggung.

"Eh? O, em ... bukan begitu, Nyonya." Seringai kikuk menghiasi wajah Edia.

Bagaimana dia harus menjelaskan bahwa bayi itu bukan bayinya? Tidak mungkin memberi tahu identitas sebenarnya dari bayi itu. Kalau saja sudah memasuki masa MPASI, Edia dengan mudah menyiapkan makanan pendamping selama masa kabur mereka. Paling tidak, pagi itu bisa dia siapkan bubur cair untuk memenuhi perut si bayi. Sayangnya, Edia tak mungkin melakukan itu.

"Air susumu tidak keluarkah, Nyonya?" Wanita itu menelisik dada Edia. Tidak terlihat rembesan air susu di pakaiannya yang kerap dialami bagi ibu-ibu menyusui.

"Ah, itu!" Edia memberikan cengiran lebar. Merasa terselamatkan. "Air susuku tidak keluar. Entahlah kenapa. Tabib bilang memang ada sedikit gangguan sehingga untuk sementara waktu, aku tak bisa menyusui bayi kami."

Wanita di hadapan Edia memindahkan tatap kepada Shuma dan bocah laki-laki di sampingnya. "Kalian pasangan yang masih sangat muda, ya."

Hanya senyum kikuk yang diberikan Edia sebelum bersitatap dengan Shuma. Pemuda itu memberikan tatapan tak percaya.

"Aku bisa membantumu kalau kau mau. Kebetulan, aku punya bayi yang masih disusui. Usianya delapan bulan sekarang. Paling tidak, bayimu harus kenyang sampai kalian turun. Kasihan kalau tidak segera disusui."

Lebih dulu Edia menatap lekat wanita itu. Didapatinya sinar ketulusan memancar dari sepasang mata lebar dengan sedikit kerutan di sudut-sudutnya. Edia memperkirakan bahwa usianya belum lebih dari 40-an tahun. Sangat wajar bila masih memiliki bayi jika anak paling besar saja hampir seusia bocah laki-laki yang mereka bawa.

Rengekan bayi perempuan di gendongan segera menyadarkan Edia. Kesempatan emas yang mereka dapat tak boleh disiakan. Mengenyangkan perut bayi merah itu harus segera dituntaskan atau rewelnya semakin parah sepanjang perjalanan.

Best Enemy Best PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang