Angin malam seakan merasuk hingga ke tulang, cahaya lampu jalan yang temaram memantulakn bayanganku di atas besi jembatan penyeberangan yang lengang. Hanya satu dua orang saja yang lalu lalang di atas plat besi datar yang mengkarat. Aku menghirup dalam-dalam asap rokok, merasakan kehangatan nikotin yang kubiarkan menjalar ke paru-paru. Hanya dengan begini aku bisa menikamti ketenangan dalam hidupku. Langkahku pelan, sembari memikirkan segala yag sudah terjadi dalam hidupku yang tak pernah terduga dan kubayangkan sebelumnya.
"Siaaaal! Sampai kapan akan begini?" Suara teriakan di ujung jembatan membuatku menoleh. Di antara bayang-bayang dan cahaya lampu berpendar, sesosok gadis menapakkan kakinya di pembatas jembatan. Aku mendekati bayangan itu. Wajahnya tidak bisa kulihat dengan jelas tapi, pakaiannya tampak aneh di mataku. Warna pakaiannya tidak begitu jelas tapi, bisa kutangkap sedikit warna biru dengan rok berlipit dan aksen putih memberikan tampilan yang energik dan penuh semangat.Sepatu bot yang berkilau terkena remang lampu, rambutnya yang gelap terurai dengan rapi, dan sebuah pita menghiasi bagian samping kepalanya, menambah kesan manis pada penampilan gadis itu tapi, raut wajahnya tidak mencerminkan cerahnya pakaian yang dia kenakan. Bagiku, tetap saja penampilannya aneh.
Sebenarnya aku tidak ingin masuk ke dalam urusannya tapi, mataku melebar saat menyadari apa yang hendak dia lakukan. Gadis itu memanjat sedikit lebih tinggi pagar pembatas jembatan.
"Hey!" teriakkanku membuatnya terkejut dan menoleh ke arahku. Namun, dia tidak menghentikan kenekatannya. Aku membuang rokok yang masi panjang, segera aku menangkap lengan kurus gadis itu.
"Lepasin! Lepasin!" Gadis itu memberontak.
Bruk!
Aku berhasil menariknya ke atas jembatan.
"Kamu ngapain,sih?" Dengan napas tersengal aku masih memegang erat lengan gadis yang kini terduduk di atas jembatan.
Bukannya berterima kasih, dia malah menghempas tanganku.
"Ngapain kamu ngehalangin aku? Biarin aja aku lompat!" Suaranya bergemetar penuh keputusasaan. Aku menegakkan badan dan sesaat kemudian gadis itu tiba-tiba saja menangis.
"Aku.. Aku udah gak bisa lagi!" Gadis itu menutupi wajahnya.
Udah gak bisa lagi! Kalimat yang seakan menarik kembali memori masa laluku. Kalimat yang dulu selalu kuucapkan di balik jeruji besi.
Aku menghela napas dalam-dalam, membiarkannya menangis. Sambil mendengarkan erangan gadis itu, aku mengeluarkan bungkus rokok dari dalam saku celana kemudian menyalakannya. Asapnya kuhirup kuat-kuat mengembuskannya kembali ke udara.
"Aku gak tahu apa masalahmu tapi, dari pakaianmu kayaknya kamu seorang yang dikagumi. Jadi, jangan mati!"
Hanya itu yang bisa kuucapkan.
Wajah gadis itu basah karena air mata, menatapku nanar setelah menelan sisa tangisnya. Aku berbalik dan berjalan menjauh, tidak peduli kalau dia berpikir akan melompat lagi. Aku tidak ingin terlibat setelah ini.
"Tunggu!" suaranya menghentikan langkahku.
"Kenapa kamu menarikku?"
Aku terdiam sejenak. Tanpa berbalik aku menjawab. "Mengalah pada keadaan boleh, tapi jangan sampai membuatmu lompat."
Aku melanjutkan langkah hingga ke jelan seberang. Saat kakiku menapaki trotoar, aku mendongak ke ujung jembatan di seberang, gadis itu sepertinya sudah tidak di sana.
"Apa sih yang kubilang tadi?" ucapku sendiri sembari memegangi tengkuk.
***
Setelah meninggalkan gadis itu di atas jembatan, aku melanjutkan perjalanan pulang. Langit malam Jakarta masih dipenuhi dengan kerlap-kerlip lampu kota, dan suara kendaraan di bawah jembatan semakin memudar seiring langkahku yang menjauh. Akhirnya aku tiba di depan sebuah rumah yang terlihat kecil dari luar tapi sebenarnya rumah dua tingkat. Letaknya di pinggiran kota tapi merupakan kompleks perumahan. Tidak bisa dibilang kumuh meskipun padat pemukiman karena masih termasuk dalam lingkungan perumahan.
"Keluyuran kemana lu jam segini?" Seorang pria berusia sekitar enam puluh tahun dengan kumis tipis mengenakan singlet dan hanya sarungan kotak-kotak warna merah menyambutku sembari berkacak pinggang, suaranya menggema di ruang tamu yang sempit.
Aku menegakkan badan, mencoba menjawab tapi, kata-kata tersangut di tenggorokan. Babe Jamin, pria yang telah menyambutku mendekat.
"Kan baru tutup, Be." Aku beralasan.
"Eh, ini udah jam sepuluh. Lu keluyuran kemana habis nutup toko?"
"Kagak kemana-mana, Be." Aku tertunduk. Tidak berani memandang mata pamanku.
"Lu pikir, gue bakalan biarin lu keluyuran terus terlibat lagi dalam kasus sebelumnya? Eh dengerin ye, Birawa! Kagak boleh lu ngulang kesalahan yang sama dua kali! Ngerti kagak? Nunduk aje lu!"
"Ngerti, Be," sahutku.
"Bagus deh kalau udah ngerti. Lu udah makan?" Babe Jamin mereda.
"Gak lapar, Be."
"Ya udah, masuk kamar, sana. Tidur. Besok lu jaga toko lagi!" ucapnya kemudian duduk di sofa dan mengganti chanel TV menggunakan remote.
"Iya, Be."
"Udah aku bilang, Bang. Jangan nampung anak itu. Apa yang bisa diharapin dari tuh anak. Udah keluar dari penjara, nganggur lagi!"
Suara Mak Jamin dari lantai satu terdengar meskipun pintu ini sudah kukunci rapat. Kata-kata yang selalu menusuk lebih dalam daripada kemarahan Babe Jamin. Sudah biasa hingga telingaku bebal mendengarnya. Setiap kali aku mendengar ucapan Mak, darahku terasa mendidih tapi, sebisanya aku menahan diri untuk tidak membalas. Pasca keluar dari penjara, meraka punya alasan untuk meragukanku, seorang Birawa Asuka yang punya catatan kriminal. Terlebih lagi, dari sekian banyak keluarga besar papa,hanya Babe Jamin yang mau menerimaku.
Sejak aku tinggal di sini, rasanya lebih parah daripada di penjara. Makian Mak kalau Babe tidak di rumah tapi, aku terselamatkan karena toko ikan hias Babe menjadi tempat pelarianku. Tak jarang aku tidur di toko karena malas pulang dengan beralasan sudah malam.
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur, kepikiran soal gadis di jembatan tadi. Kalimat yang kulontarkan pada gadis itu pun membuatku ingin menertawakan diri sendiri kemudian bergumam, "Mengalah pada keadaan, jangan sampai membuatmu lompat."
Aku merasakan bibirku melengkung. Bisa-bisanya orang sepertiku mengatakan hal konyol begitu. Padahal, aku sendiri juga sampai saat ini berpikir untuk mati. Keputusasaan di wajah gadis itu seakan mencerminkan diriku. Apa sesakit itu hingga dia ingin mati? Ah, sama saja! Aku maupun gadis itu mungkin punya alasan yang membuat bertahan pada keadaan.
Apa mengakhiri kisah kehidupan adalah jalan ninja untuk menyelesaikan semuanya?
Jawabannya tak kunjung kutemukan sampai saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ngidol
Teen FictionBirawa Asuka gagal meraih mimpinya menjadi seorang penulis. Dia memiliki catatan kriminal dan menjalani kehidupan sebagai penjaga toko ikan hias milik pamannya pasca terbebas dari penjara. Toko ikan hias adalah satu-satunya tempat Birawa melarikan d...