3. Mini Concert (Part 2)

12 0 0
                                    

"Terus, kenapa sejak lu datang ke sini lu jadi dingin? Padahal dulu kita sepupu yang akrab. Kenapa lu gak bersikap kayak biasanya? Kayak dulu."

Aku melirik jam. "Kamu nanti terlambat. Kuliah sana." Aku tidak menjawab pertanyaan Nadira. Alih-alih melanjutkan kalimat, gadis itu diam. Aku tidak bisa melihat ekspresinya karena fokus dengan aktivitasku.

"Krincing!" Saat aku menoleh ke arah suara, Nadira sudah berlalu.

***

Setelah menyelesaikan tugas pertama sebagai penjaga toko ikan, aku duduk di depan meja konter. Menunggu pelanggan datang yang sebenarnya pekerjaan paling membosankan. Mengusir rasa bosan hal yang aku lakukan adalah membuka laptop yang sudah sedikit ketinggalan zaman tapi, masih bisa digunakan.

Aku membuka folder data di layar. Ada bermacam-macam judul yang pernah kuselesaikan sebelum aku meringkuk di balik jeruji besi. Sudah tiga tahun berlalu sejak itu bahkan satu pun tidak ada yang selesai. Kebanyakan hanya setengah jalan cerita.

Jari-jariku bergerak lambat di atas keyboard, tapi setiap kata yang kutulis terasa salah. Aku menatap kosong ke arah akuarium di depan, ikan cupang beraneka warna, berenang dengan anggun tampak bebas dan damai, berlawanan dengan kekacauan yang kurasakan di dalam diriku.

Aku menghela napas panjang dan meletakkan tangan dari keyboard. Writer's block. Sesuatu yang sudah terlalu sering kurasakan belakangan ini. Aku mencoba mencari inspirasi di sekitar, tapi toko ini, meskipun penuh dengan kehidupan, terasa membosankan dan monoton. Tidak ada yang menarik, tidak ada yang bisa dijadikan bahan cerita. Hanya ikan-ikan yang berenang tanpa henti, berputar-putar di dalam kotak kaca mereka. Buntu.

"Krincing!"

Suara lonceng membuatku refleks berdiri. Seorang gadis dengan rambut hitam panjang dan senyum manis berdiri di depan salah satu akuarium. Dia mengenakan kaos biru cerah yang kontras dengan warna-warna ikan di dalam akuarium. Sesekali dia menaikkan kacamata minus yang melorot.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku seraya mendekat.

"Pagi, Bang. Gue mau nyari ikan yang bisa diajak bicara. Katanya ada ikan yang bisa ngomong, ya?" tanyanya dengan wajah serius.

"Hah?"

Aku memiringkan kepala, masih sepagi ini sudah mendapat pelanggan aneh.

"Ikan yang bisa ngomong?"

"Iya. Mau saya ajak ngobrolin idola ibu kota."

"Memangnya ada ikan yang mau diajak ngobrol?"

"Ada, Bang. Almarhum ikan saya sebelumnya. Kalau diajak ngobrol soal idol ibu kota, dia langsung nyamperin."

"Turut berduka karena kematian ikan sebelumnya tapi, mana ada ikan yang kayak gitu."

Aku berpikir sejenak, berusaha untuk tidak tertawa. "Ikan yang bisa ngomong cuma di film animasi."

Wajah gadis itu langsung berubah. Senyum yang tadinya lebar kini memudar, matanya yang berbinar-binar menjadi sayu. Aku merasa sedikit bersalah melihat ekspresi kecewanya. 

"Maaf ya, tapi kalau kamu suka, ada banyak ikan yang cantik dan bisa jadi teman yang menyenangkan di rumah."

"Dih, ini toko ikan apaan, sih. Masa gak ada ikan yang biasa diajak ngobrolin soal idola ibu kota!"

Gadis itu menghela napas pelan dan mengangguk. "Ya, mungkin lain kali aja. Thanks!"

Dia berbalik perlahan, masih dengan raut kecewa di wajahnya, dan melangkah keluar dari toko. Aku mengantar pandangan sampai dia menghilang dari pintu.

NgidolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang