Hangat matahari menembus celah jendela kamar, mataku yang tersilau karenanya kututup dengan bantal guling tapi, tidak juga kunjung membuatku tidur. Selain mata yang terganggu karena cahaya, musik yang terdengar dari kamar sebelah membisingkan telinga.
"Dan aku pun menolak jika dunia ini indah, sebelum aku menyadari dirimu yang membuatku jatuh cinta lagi."
Aku menurunkan kaki, mengacak rambutku hingga awut-awutan. Mengela napas dan mengumpulkan energi untuk menghadapi hari baru yang akan berjalan seperti biasa.
Dengan langkah pelan, aku turun dari kamar, melewati tangga kayu yang berderit setiap kali diinjak. Saat mencapai lantai bawah, suara percakapan dari ruang tamu menarik perhatianku. Aku berhenti sejenak di ujung tangga, mendengarkan dengan seksama.
"Be, minta duit," suara sepupuku, Nadira, terdengar jelas.
Nadira Ayu Jamin. Sepupu yang hanya terpaut tiga hari denganku tampak sedang berbicara dengan Babe di meja makan. Yah, dari kamarnyalah musik dengan beat ceria yang liriknya menyedihkan terdengar.
"Bakal apa?" tanya Babe Jamin.
"Nonton mini konser Idol L," jawab Nadira dengan semangat yang jelas terasa dalam suaranya.
Alis Babe mengkerut seketika.
"Astaga, Nadira. Berhenti kenapa ngidol-ngidol begitu. Ingat, kamu udah kuliah, nak!"
Nadira memajukan bibir. "Mending ngidol daripada ngelakuian yang enggak-enggak," ucapnya.
"Eh, Nadira. Kamu saban hari ngidol dan ngidol. Lagu-lagu kamu juga begitu aja.Kagak bosan apa?"
"Namanya juga hobi."Aku melangkah lebih dekat,Nadira menoleh padaku sejenak sebelum kembali memfokuskan diri pada Babe Jamin.
"Ya udah deh, ya. Berapa duit kamu butuhin?"
"Lima ratus ribu."
"Hah? Banyak bener."
"Sebenarnya tiketnya cuma dua ratus ribu tapi, kan tempat konsernya itu di mall. Ntar kalau pengen jajan gimana?"
Babe Jamin menghela napas panjang, kemudian merogoh saku celananya.
Nadira menangkupkan dengan senyum kemenangan.
"Nih. Jangan sering-sering nonton beginian. Ngefans boleh tapi, kurang-kurangin deh." Babe menyerahkan uang itu pada Nadira.
"Makasih, Be."
Aku menuangkan air dari teko ke dalam gelas kemudian menenggaknya.
"Tapi, jangan pergi malam-malam sama teman-teman kamu itu," ucap Babe dengan nada tegas.
"Lah, terus sama siapa?" Nadira menatap Babe Jamin dengan kening berkerut heran. Setahuku, ketika Nadira menonton konser dia akan pergi bersama beberapa temannya yang juga fans.
Babe melirik ke arahku yang baru saja menyelesaikan aktivitas minum kemudian menunjukku dengan dagu.
"Noh, ajak Birawa!"
Mata Nadira melebar saat menoleh ke arahku seakan berkata, "Hah? Yang benar aja!"
Aku menatap balik. Menonton konser idol bukanlah hal yang begitu penting
"Serius, Be? Sama Birawa?" Nadira bertanya, suaranya sedikit tidak percaya.
"Ya, serius. Daripada sama teman-teman yang gak jelas. Birawa bisa jagain kamu," jawab Babe Jamin dengan nada tegas yang tidak memberi ruang untuk perdebatan.
Nadira menghela napas panjang, terlihat masih setengah hati menerima keputusan itu. "Oke deh, kalau gitu."
Jawaban Nadira seakan tidak ada pilihan lain selain menurut kepada Babe.
"Lu mau, kan Birawa?" tanya Nadira penuh harap.
"Aku gak tahu itu apa. Mending aku jagain toko."
"Be, lihat Be! Birawanya gak mau."
"Birawa, jagain adik lu!"
"Aku mau ke toko dulu." Aku tidak menghiraukan lagi mereka berdua. Melenggang kemudian mengambil dlanel kotak-kotak yang tergantung di tempat penggantungan jaket dekat pintu.
"Kemane, lu?"
Mak tiba-tiba muncul dengan tas penuh belanjaan pasar ketika aku membuka pintu.
"Jaga toko, Mak."
"Ya udah, hati-hati!" ucapnya ketus.
***
Langkahku melambat saat menapak anak tangga jembatan penyeberangan. Pemandangan klasik Jakarta, jalanan macet dengan deretan mobil dan motor yang nyaris tidak bergerak, para pengamen yang berusaha mencari rezeki dengan alat musik seadanya, serta pedagang kaki lima yang menjajakan berbagai dagangan mulai dari makanan ringan hingga barang-barang kebutuhan sehari-hari. Suara klakson kendaraan sudah menjadi latar belakang yang akrab. dibandingkan dengan di Denpasar, kota tempatku dibesarkan.
Aku berhenti sejenak di tengah jembatan, mengeluarkan sebungkus rokok dari saku kemeja flanel. Menarik sebatang, menyalakannya dengan pemantik dan menghisapnya dalam-dalam.
Setiap sudut kota ini penuh dengan kehidupan, meski terkadang terasa sumpek dan kacau. Asap rokok perlahan menguap ke udara, menyatu dengan hiruk pikuk kehidupan di bawah sana.
Setelah beberapa kali hisapan, aku teringat kembali soal gadis semalam yang nyaris melompat dari sini.
"Udah gak bisa lagi!" ucapku pelan.
Aku menengadah ke atas dan tanpa sengaja melihat billboard tinggi. Billboard itu menampilkan sebuah tulisan "Idol L x Chocolite." Di samping tulisan itu ada gambar beberapa orang gadis memegang coklat dengan senyum yang berkilau. Pakaiannya sama persis seperti gadis semalam.
Di tengah pemandangan itu ada ketenangan aneh menyelimutiku tapi, hanya sebentar.
"Oh, cuma iklan." Setelah berkata begitu, aku menghela napas panjang,melanjutkan perjalanan menuruni jembatan menuju toko ikan hias milik Babe Jamin.
Aku berdiri di depan toko bertuliskan toko dengan papan bertuliskan "Toko Ikan Hias Sakana." Toko ikan hias Sakana dapat ditemukan dengan melewati jembatan penyeberangan kemudian melewati gang-gang sempit dan lorong-lorong diantara himpitan megahnya gedung pencakar langit Jakarta, lorong-lorong itu mencolok oleh barisan toko.
Aku memutar kunci pada pintu gulung kemudian menariknya ke atas. Begitu pintu gulung terbuka, aku masih harus membuka pintu kaca setelahnya. Aroma khas air akuarium selalu menyambutku setiap datang ke toko yang tidak begitu luas tapi ditata dengan efisien. Barisan akuarium beruukuran sedang tertata rapi. Meja kasir di letakkan di sebalah kanan pintu masuk kaca dan papan pengumuman tentang jenis ikan yang tersedia. Tidak hanya ikan hias yang dijual, peralatan akuarium hingga pakan pun dijual di sini. Dan tempat ini adalah tempat paling tenang dibanding rumah Babe Jamin.
"Krincing!" Suara lonceng ketika pintu dibuka terdengar saat aku menggunakan apron. Tanpa berbalik karena membelakangi pintu, aku berkata. "Maaf, kami belum bu-,"
Kalimatku berhenti ketika melihat Nadira tersenyum memperlihatkan gigi gingsulnya di depan meja kasir dengan ransel hitam. Mengenakan jas almamter kampus di luar kemeja putihnya. Rambut hitam sebahu dibiarkan tergerai.
Karena keberadaan Nadira sama sekali tidak penting, aku melanjutkan aktivitasku. Pertama-tama pekerjaan standar sebagai pekerja toko ikan hias, mengambil alat kebersihan yang terletak di pojokan ruangan.
"Birawa, lu mau kan nemenin gue?"
Aku tidak segera menjawab dan langsung membersihkan lantai. "Aku sibuk," ucapku tidak terbiasa menggunakan sapaan khas anak Jakarta.
"Yah, Birawa. Ayolah. Lagian Babe kan minta lu buat nemenin gue."
Nadira mendekat, aku mengela napas.
"Kamu harusnya kuliah yang bener. Bukannya malah ambil kegiatan kayak gitu." Aku fokus menyerok debu yang terkumpul.
Nadira mengela napas. "Lu benci banget ya sama gue sejak kejadian itu, Bir?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ngidol
Teen FictionBirawa Asuka gagal meraih mimpinya menjadi seorang penulis. Dia memiliki catatan kriminal dan menjalani kehidupan sebagai penjaga toko ikan hias milik pamannya pasca terbebas dari penjara. Toko ikan hias adalah satu-satunya tempat Birawa melarikan d...