Bab 4. Kehilangan

33 10 6
                                    

"Terkadang, sesuatu akan terus berdatangan, tak peduli dengan jiwa yang menolak."


Matahari sudah mengintip bumi, sinarnya mampu membuat sensasi hangat bagi kehidupan.

Suasana asri saat atmosfer belum tercampur bersama hembusan napas seorang pendosa, sangat nikmat jika di hirup. Selain udara yang segar, juga keindahan matahari terbit tak kalah dari matahari terbenam.

Matahari terbit mengingatkan kita tentang; pentingnya tetap berusaha dan menjaga semangat dalam menghadapi kegelapan.

Hari ini, tak pernah ada yang tahu tentang 'Apa yang akan terjadi' beberapa waktu kedepan. Namun, di sarankan untuk tetap berusaha dan menanam jiwa semangat didalam hati, jika sewaktu-waktu bertemu dengan alur kegelapan, perjalanan akan jauh lebih ringan.

🍂🍂🍂

Rennia menghela napasnya dalam, cermin dihadapannya memantulkan lekuk tubuh dirinya. Ia sempat menatap dirinya sendiri, memikirkan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

"Ren, nanti tolong antarkan Dea dan Jessika pergi sekolah, ya? Matan dan Mawijang–Suami Matan, yang bakal urusin tempat makan. Nanti, kalo kamu udah selesai antar mereka berdua, tolong ambil ikan di tempat biasa," perintah Matan sambil menatap Rennia. Rennia langsung mengangguk paham. Ia melirik jam dinding, sudah menunjukkan pukul 6 pagi.

"Mama!" Dea berteriak. "Liat Jessi, bandel kali!" tegas Dea saat mendapati sang adik tengah bertingkah. Matan langsung berjalan menuju Jessika, untuk mengurusnya dan melarang bertingkah tak baik.

"Jessika, udah selesai mandinya? Jangan main-main air! Kamu mau sekolah 'kan?" Matan sedikit menaiki nada bicaranya.

Jessika langsung menatap sang Mama, lalu menghentikan permainannya. "Iya ma, ini mandi."

Dea langsung melengos memasuki kamarnya dengan langkan yang keras. Ia segera bersiap-siap. Sedangkan Matan membantu Jessika untuk membantu menyelesaikan mandi terlebih dahulu. Setelah suasana terasa cukup damai, Rennia menghela napasnya kembali.

Perbandingan karakter antara Dea dan Jessika cukup bertolak belaka. Hal itu yang selalu menjadi sumber keributan.

Untuk mengobati rasa jenuhnya menunggu, Rennia mengambil ponsel di atas meja, lalu memaikannya. Sudah ada beberapa notifikasi pesan masuk ke dalam ponselnya.

Sekitar 15 menit kemudian, Dea membuka pintu kamarnya, menampilkan dirinya yang sudah memakai seragam lengkap.

"Ren, Ika sama Iki belum bangun?" tanya Dea sambil berjalan mengambil jarum untuk memakai kerudungnya.

"Belum, mereka kayanya masih di kamar," jawab Rennia tanpa menoleh sedikit pun dari ponselnya.

"Loh? Terus tadi suara nangis itu dari mana?" Dea tampak menghentikan langkahnya, lalu menatap Rennia sambil membenarkan kerudungnya.

"Suara nangis apa? Dari tadi sepi di sini," sahut Rennia.

"Ya udah lah gausah di pikirin. Oh ya, kamu udah sarapan belum?" tanya Dea sambil menatap Rennia.

"Belum, nanti aja aku sarapannya kalo udah anter kamu sekolah. Kamu sarapan dulu aja, aku tungguin," jawab Rennia sambil terus memainkan ponselnya.

Setelah menunggu hampir 12 menit, Rennia menyalakan motornya untuk mengantar Dea dan Jessika. Kedua kakak beradik ini tampak sudah siap untuk berangkat.

"Berangkat dulu, Ma. Assalamualaikum."

Rennia sudah membawa kedua sepupunya untuk pergi ke sekolah. Cuaca cerah tampak memberi energi bagi tubuh, namun tak ada percakapan apa pun saat berada di atas motor.

Saat tengah memfokuskan diri membaca perjalanan, Rennia langsung mengingat sekolah yang sudah memesan 200 box paket makanan. Mereka akan segera melewati sekolah itu. Saat sudah di depan mata, Rennia tampak melirik ke arah sekolah itu, tampak besar dan luas saat di lihat dari luar.

"Sekolah ini 'kan yang pesan 200 box?" tanya Dea yang mengikuti lirikan Rennia.

"Iya sekolah ini. Kita udah bikin 175 box, sisanya hari ini kita selesaikan. Besok acaranya dimulai," sahut Rennia.

Di sana, terlihat siswa dan siswi ramai memasuki gerbang sekolah. Terdengar suara-suara canda tawa saat tepat sejajar dengan gerbang sekolah. "Pantesan 200 box, muridnya aja banyak banget!" ucap Rennia sambil meluruskan pandangannya kembali ke depan.

"Tapi, kalo 200 box kayaknya gak akan cukup, deh. Liat aja tuh, banyak banget muridnya, mereka mau makan 1 box buat berdua?" pikir Dea dengan polos.

"Terus?" sahut Rennia. "Ya gak tau, lah! Itu 'kan sekolah mereka, bukan urusan kita! Kita cuma bagian melayani pesanan aja," lanjutnya. 

"Iya, sih. Masa mau 1 box untuk berdua? Pasti gak mau." Dea menghentikan ucapannya sebentar untuk mendengar respon Rennia. Namun, harapannya memudar saat Rennia tak menjawab apapun.

"Liat sekolah ini, aku jadi inget kasusnya. Katanya ada kasus asusila, terus di videoin deh," lanjutnya, ia memancing untuk membahas kasus tempo lalu.

Memang benar, saat Rita masih menginjak kelas 10, terdengar kabar tak sedap dari kakak kelasnya.
"Kamu tau gak? Anak kelas sebelah, seangkatan sama kamu, kena kasus..."
Di mana sala satu teman seangkatannya terkena kasus asusila lewat Video. Lalu, Video itu tersebar sampai kepada kepala sekolah.

"Heh! Tau dari mana kau, jangan lah ikuti kasus-kasus kek begitu!" Akhirnya Rennia membuka suara, ia sedikit tersentak saat mendengar hal itu.

"Siapa, sih, yang gak tau sama kasus itu, Ren? Lagian bisa diambil juga pelajarannya, gak usah mau-mau banget deket sama cowok, dan gak usah bego kalo lagi sama cowok. Lagian, dari kasus itu juga bikin aku jadi waspada sama cowok, jadi aman dong?" ujar Dea dengan lantang.

"Ya udah, ambil pelajarannya aja, De!" tegas Rennia. Tak perlu heran jika berbicara dengan Dea, gadis ini selalu berpikir kritis di mana pun ia berada. Padahal, Dea baru menginjak kelas 1 SMP.

Jessika hanya diam saja mendengar percakapan itu, ia sibuk menatap pemandangan pagi hari yang cukup segar, serta udara sejuk yang menusuk kulit mampu membuatnya bungkam.

🍂🍂🍂

Rennia sudah memarkirkan kembali motornya, lalu membawa beberapa kantong berisi ikan untuk bahan makanan. Rennia berjalan memasuki rumah Matan untuk memberi tahu bahwa ikan sudah ada di depan. Namun, terdengar suara keributan dari dalam.

"Kamu ini gimana, sih? Uang kita udah terkumpul banyak, Mas! Semuanya udah 500 juta asal kamu tau! Tapi kamu seenaknya kasih pinjaman ke orang lain?!" teriak Matan dari dalam kamarnya. Rennia tak berniat menguping, hanya saja terdengar jelas dari luar.

"Maaf, dia butuh uang banget kemarin, makanya aku kasih," jawab Mawijang.

"Terus? Oke, aku terima kalo kamu niatnya membantu. Tapi, SEKARANG UANGNYA DI BALIKIN ENGGAK?!" Terdengar pertanyaan itu tak bersahabat.

"Ini lagi di hubungi, sabar dong! Lagian dia janji bakal balikin uangnya," ucap Mawijang sambil terus menekan telefon panggilan dari seseorang yang baru saja membawa kabur uang itu. Tak ada jawaban apa pun dari seseorang itu.

"Tuh, 'kan! Ini pasti uang kita di bawa kabur, mas! Haduh... Kamu ini gimana sih? Tabungan itu udah kita kumpulkan bersama ... bahkan kita buka rumah makan udah 8 tahun untuk tabungan itu. Dan kamu? Kamu seenaknya kasih hasil tabungan kita ke orang lain?! Di mana pikiran kamu? DI MANA?" Matan terdengar sedang berteriak hingga bergetar suaranya, suasana di sana tampak tak kondusif. Rennia langsung memundurkan langkahnya, ia memutuskan untuk pergi. Pandangannya ia turunkan kebawah.

Hallo semuanya! Jangan lupa Vote dan Komen, ya! Untuk meninggalkan jejak!
Terima kasih.

🍂🍂🍂

Melebur WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang