Bab 1. Trauma Masa Kecil

98 39 31
                                    

Apakah kehidupanmu sudah sempurna? Tanpa adanya trauma? Sungguh mustahil.
Dan, Bagaimana caranya berteman dengan trauma?

🍂🍂🍂

Gadis kecil itu memiliki bola mata berwarna hitam dengan rambut panjang yang tergerai indah. Ia yang masih berusia 5 tahun itu sedang menangis sesenggukan saat wanita di hadapannya melemparkan sebuah piring ke arahnya. Kepalanya bisa saja sedang berlumuran darah jika ia tidak menghindar. Matanya yang buram karena air mata itu sesekali melihat pecahan piring di belakangnya.

Gadis kecil itu baru saja merasakan perihnya pukulan dari sapu injuk di area kaki kanannya. Tepatnya sapu injuk ini mendarat di bagian paha kanannya. Ia menangis sambil memanggil, "Mama.. Mama.." Namun sosok Mama di hadapannya seakan-akan tuli dan buta akan perilaku kejinya kepada Rennia.

Kesedihannya semakin terasa saat Mama mulai berjalan menghampiri Papa. Terlihat pria itu berjalan sempoyongan dari pintu utama, hendak menuju pintu kamar tidur.

"Kamu mabok lagi?! Mau sampai kapan mabok terus? Dasar suami gak tau diri, bisanya cuma selingkuh dan mabok-mabokan! Dasar bajingan!" teriak Mama dengan nada yang tak bersahabat.

Mendengar sang istri baru saja mengatakan 'Bajingan', sang suami langsung mendorong tubuh istri secara kasar, hingga tubuhnya terpental menabrak meja kaca di belakangnya. "Berisik sekali kau!" bentak Papa, matanya merah menatap Mama dengan penuh amarah.

Pertengkaran antara sepasang suami istri ini kembali terjadi. Rennia hanya bisa menangis sambil melihat kedua orang tuanya saling menyakiti satu sama lain. Kata-kata kasar pun terlontar cukup lantang dan keras, membuat tubuh Rennia bergetar ketakutan, dadanya pun terasa semakin sesak dan semakin sakit.

Sebuah percikan darah tampak tersebar ke mana-mana. Kedua suami istri itu telah menggunakan benda-benda tajam untuk perlawanan. Mereka meluapkan emosi batin yang sudah lama terpendam, yang menimbulkan kemurkaan hati. Terlihat tak ada yang mau mengalah di dalam pertengkaran itu.

Hingga akhirnya, seorang wanita berlari cepat memasuki rumah tempat keributan itu. Wanita itu langsung menghampiri Rennia yang sedang terduduk di atas lantai sambil menangis, ia menarik tangan gadis itu, hendak membawanya pergi ke luar.

Wanita itu pun berhasil membawa Rennia pergi dari rumah itu. "Kamu tunggu di rumah aku dulu, ya? Kamu tau rumahku, 'kan? Rumahku di sana." Wanita itu menunjuk ke arah jalanan besar di sana.

"Kamu tinggal belok aja ke kanan, terus masuk ke rumah yang warnanya pink, pagarnya warna abu-abu," lanjutnya.

Rennia langsung menatap wanita itu. "Mbak Rosa?" panggilnya.

Rosa langsung menatap lekat kedua mata Rennia. "Aku di sini dulu, untuk pisahin orang tuamu, kamu nurut, ya, sama aku!"

Rennia hanya bisa mengangguk saja, perasaanya mulai khawatir saat meninggalkan kedua orang tuanya dalam keadaan seperti ini.

Rosa, wanita berusia 27 tahun ini singgah tak jauh dari rumah Rennia. Ia berpofersi sebagai ahli psikolog, tugasnya menolong raga gadis kecil ini dari ancaman fisik yang di lakukan orang tuanya. Tak hanya raganya saja, jiwanya pun ia tolong.

Keributan yang di buat oleh kedua orang tua Rennia memang sering terjadi, orang-orang di sekitar rumah Rennia sudah mengetahui hal itu.

Namun, tak ada satu orang pun yang peduli dengan keributan antara suami istri ini. Mereka memilih untuk membiarkan pertengkaran terus terjadi. Hingga topik tentang keluarga Rennia menjadi buah bibir orang-orang di sana, sampai mengusik telinga Rosa. Wanita itu langsung bergegas untuk menolong keluarga Rennia, saat orang-orang kembali bersuara tentang keluarga itu.

Melebur WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang