Chapter 3 ; Dia, kakakku?

655 94 3
                                        

Benci, adalah kata yang sering terucap dari mulutnya, setiap hari, kata itu seakan telah menjadi makanan sehari-harinya.

Untuk ayahnya mungkin iya, tapi Halilintar tak pernah benar-benar membenci Gentar, ia hanya tak suka dengan cara Gentar yang selalu membela Amato.

Halilintar tahu jika saat itu Gentar masih terlalu kecil, ia tidak mengingat apapun. Namun, Halilintar adalah saksi atas sifat buruk pria itu dimasa lalu.

Seandainya Gentar tahu, apa anak itu masih akan membela ayahnya?

Halilintar menghela napas panjang, tubuhnya terlalu lelah untuk memikirkan semua itu, lagipula ayahnya tidaklah penting untuk menjadi beban pikirannya. Lebih baik Halilintar belajar agar bisa mengalahkan anak sok hebat di kelasnya.

"Kak Hali kenapa sih, Yah? Padahal Ayah sayang sama dia, tapi kenapa Kakak kayak gitu?".

"Orang kayak gitu, kenapa Ayah sabar banget ngurus anak gak tau diri kayak Kak Hali?".

Halilintar mengepalkan tangannya berusaha menahan amarah. Jika begini jadinya, apa bedanya Gentar dengan dirinya yang sama-sama kurang ajar. Anak itu sepertinya sama sekali tidak berpikir dulu sebelum berbicara, bagaimana jika Halilintar sakit hati karena ucapannya.

Tidak mau mendengarkan ucapan Gentar lagi, Halilintar mengambil headphone dan berharap dengan mendengarkan musik telinganya bisa meredam suara Gentar.

Namun, ketika Halilintar akan mengambil buku-bukunya, ponselnya tiba-tiba menyala menampakkan pesan yang dikirim oleh kontak dengan nama Solar.

Solar

|Jangan harap kamu bisa dapat
|peringkat pertama Halilintar, kali
|ini aku yang menang

Halilintar berdecak kesal, bocah itu tidak pernah berubah sejak dulu, selalu menganggapnya saingan menjadikan nilai sebagai pertandingan. Jika diingat-ingat lagi besok ada ulangan, meskipun Halilintar tidak pernah di tuntut untuk menjadi sempurna oleh ayahnya, tapi Halilintar mana mau kalah dari bocah sok hebat itu.

"Besok bakal jadi semenarik apa?" Halilintar melakukan spinning pen, sudut bibirnya tertarik keatas membentuk senyuman miring.


𓏲ּ ֶָ

Silau, menurutnya kata itu sangat cocok untuk dideskripsikan begitu melihat sosok jangkung yang baru saja memasuki kelas. Pahatan wajahnya sempurna, sekelas dengan idolanya di negeri ginseng sana.

Namun, tidak! Ia tak suka menyerupai-menyerupai idolanya dengan orang yang baru saja di lihat. Tetapi untuk orang yang baru pertama kali bertemu, sepertinya ia pernah bertemu yang serupa namun berbeda identitas.

Mirip seseorang ... dia menoleh dengan cepat ke sudut ruangan, melihat orang yang sedang tiduran di lantai dengan menjadikan perut temannya sebagai bantalan.

Benar, kedua orang ini serupa tapi ... tak sama.

"Eh maaf, tadi nanyain kelas kan?" ia akhirnya kembali tersadar pada realita.

Orang didepannya mengangguk, terlihat malu-malu apalagi sekarang ia menjadi pusat perhatian di kelas ini.

"Ini kelas 10-B, gak salah tempat kok." ia tersenyum. Ia menunduk sesaat sebelum mengulurkan tangannya berharap akan disambut oleh orang didepannya.

"Aku Duri, kamu murid baru?" ucapnya memulai perkenalan, tak lupa tersenyum manis khasnya.

Cowok itu membalas uluran tangan Duri dan tersenyum, "Gempa, salam kenal.".

"Masuk yuk, entar aku kenalin ke temen—temen yang lain!" ajak Duri, tidak enak juga jika membiarkan orang yang baru menginjakkan kakinya disekolah ini tak disambut dengan hangat.

Dan Gempa lagi-lagi hanya mengangguk. Hatinya berdebar, ia sama sekali belum siap berada di tempat baru, apalagi harus kembali beradaptasi dan bergaul dengan orang lain.

Rasanya Gempa ingin menghilang saja dari dunia ini, ia benar-benar malu.

Hari ini Gempa memang sudah resmi pindah ke sekolah ini, sekolah yang dirumorkan banyak melahirkan murid-murid berprestasi. Ia awalnya ingin pindah ke sekolah lain saja karena takut menjadi bahan bullyan mengingat kapasitas otaknya pas-pasan, tetapi ibunya memaksanya untuk masuk ke sekolah ini.

SMA Elementer, begitu orang-orang menyebutnya. Oke, Gempa menghela napas, ia memutuskan untuk merakit reputasi baik di sekolah ini agar hal serupa seperti di sekolah lamanya tidak terjadi.

Duri tiba—tiba berbalik, "oi, Hali! Bangun!" teriaknya ke arah pojok kelas.

Gempa mengernyitkan dahinya saat memperhatikan ke arah yang ditunjukkan Duri. Di sudut kelas, seorang cowok tinggi berbaring di lantai, tampak tidur nyenyak. Lebih mengejutkan lagi, dia menggunakan perut seseorang sebagai bantal.

"Dia sama Ice kayak gitu terus, tidur di lantai," jelas Duri, dia duduk di salah satu bangku tempat terdekat dimana Halilintar dan Ice sedang tidur, "di ajak Ice sih sebenernya.".

Halilintar bergerak sedikit ketika Duri memanggilnya, namun ia hanya bergumam pelan, masih setengah tertidur. Duri mendekat dan menendang pelan sepatunya, membuat Halilintar akhirnya membuka mata. Sedangkan Ice tidak terganggu sama sekali, padahal suasana kelas tidak bisa di katakan tenang juga.

"Apa?" Halilintar terdengar agak kesal saat terbangun. Matanya menyipit karena cahaya, dan dia merenggangkan tubuhnya.

"Ada murid baru. Dia butuh kursi. Kamu sebagai ketua kelas, ya, beresin lah!" tidak lupa Duri tersenyum setelahnya, ia tak ingin terkena amarah Halilintar karena meskipun kelihatannya sabaran tapi jika sudah marah Halilintar itu lebih mirip monster dibanding manusia.

Halilintar menoleh ke arah Gempa dengan tatapan mata yang masih mengantuk, "yakin gak salah kelas?" tanyanya.

Namun, ketika mata mereka bertemu, ekspresi Halilintar tiba—tiba berubah. Kaget, tapi tak lama kemudian kembali tenang. Gempa pun sama kagetnya, meskipun sudah lama tidak bertemu tapi ia yakin jika orang ini kakaknya.

Tetapi lebih aneh lagi, bukannya Halilintar seharusnya sudah kelas sebelas saat ini? Kenapa orang itu ada disini? Atau, Gempa hanya salah orang, dilihat—lihat juga sepertinya si ketua kelas ini tidak mengenalnya.

Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Halilintar akhirnya bangkit dari lantai dan menendang pelan kaki Ice, yang masih tertidur, "bangun." katanya singkat.

Lalu, ia melirik Gempa cukup lama Halilintar menatapnya seakan ada keraguan di hatinya untuk memulai percakapan. Namun, Halilintar mengurungkan niatnya untuk berbicara, ia tak tahu harus mengatakan apa.

Dan akhirnya Halilintar memutuskan berjalan ke arah depan kelas untuk mengecek kursi di gudang, dia tidak menatap ke arah Gempa lagi.

Duri kembali menghampiri Gempa dengan cengiran lebarnya, "dia emang gitu orangnya gak usah takut, sebenernya baik kok cuma tsundere aja orangnya.".

Gempa masih terdiam, hatinya campur aduk. Dia tidak mengerti mengapa Halilintar bertindak seolah—olah mereka tidak pernah saling kenal. Tapi Gempa yakin kok jika orang itu kakaknya, Gempa tidak mungkin salah orang.

Tapi yang lebih membingungkan, jika Halilintar adalah kakaknya, mengapa dia sekarang ada di sini, di kelas yang sama, padahal seharusnya Halilintar sudah kelas sebelas kan tahun ini? Apa Gempa salah mengira orang, ya?

Pertanyaan itu terus bergelayut di benaknya, tapi untuk saat ini, Gempa hanya bisa mengikuti alur yang ada.

Mana mungkin orang itu tidak naik kelas.

RANTAI LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang