Chapter 11 ; First talk?

266 54 11
                                    

JANGAN BULLY AKU, TOLOOONG!

HAPPY READING!

Ruangan rumah sakit terasa sunyi, hanya suara mesin pemantau detak jantung yang monoton mengisi kesunyian. Dia terbaring lemah di atas ranjang dengan wajah pucat. Kondisinya memburuk akibat lupus yang menyerangnya semakin hebat, terutama setelah dua minggu terakhir ia harus dirawat. Di sudut ruangan, Mara duduk di kursi dekat jendela, menatapnya dengan cemas, matanya berkabut.

"Angin ..." Mara memanggil perlahan, suaranya lirih.

Pria bernama Angin itu membuka matanya perlahan, menoleh sedikit ke arah Mara, "kamu masih di sini?" desisnya, suaranya serak.

Mara tersenyum tipis, "mana mungkin aku ninggalin kamu sendirian disini,".

Angin memejamkan mata sejenak, mengatur napasnya yang terasa berat, "seharusnya kamu pulang saja, Kak. Amato mungkin—".

"Amato udah bukan urusan aku lagi," potong Mara, nada suaranya sedikit tegas tetapi lembut, "dia udah lama gak ada hubungannya dengan aku. Kamu tenang aja, sekarang ini aman.".

Angin terdiam, hatinya terasa berat mengingat pria itu. Amato yang pernah menjadi figur kuat dalam hidupnya, sekaligus penyebab rasa sakit yang tak pernah hilang. Luka fisik dan mental dari masa lalu terus menghantuinya, mendorong stres yang berlebihan, hingga lupus itu menyerang tubuhnya. Lupus, penyakit yang perlahan melumpuhkan tubuhnya, seolah mengingatkan pada segala tekanan yang tak pernah usai sejak kekerasan fisik dari Amato dulu.

"Aku ... gak pernah bisa membenci dia, Kak," gumam Angin, tatapannya tampak kosong seakan tak memiliki kehidupan didalamnya, "tapi ... apa yang sudah dia lakukan mengubah hidupku. Aku benar-benar lemah,".

"Kamu nggak lemah," sela Mara, "kamu bertahan. Kamu berusaha melawan, meskipun apa yang dia lakukan sama kamu menghancurkan segalanya. Tapi kamu masih di sini, Angin. Kamu masih hidup dan berjuang.".

Angin menghela napas dalam, matanya menatap plafon putih pucat kamar rawat, "Kadang, aku berpikir ... andai saja aku bisa kembali ke masa itu, saat semua belum berantakan. Mungkin, aku bisa menghindari apa yang akan terjadi. Atau setidaknya mencegah diriku agar tidak menjadi seperti ini.".

Mara menarik napas dalam—dalam, mengerti betapa berat perasaan Angin. Ia tahu bagaimana Amato memperlakukan Angin dulu, dan itu adalah luka yang dalam yang tak mudah sembuh baik secara fisik maupun mental.

"Kamu gak bisa mengubah masa lalu, yang bisa kamu lakukan adalah menghadapi apa yang ada di depanmu sekarang. Kamu punya Kuputeri, kamu punya Beliung dan Taufan. Mereka membutuhkan kamu, kamu harus kuat, untuk mereka." Mara tersenyum meskipun rasanya sulit untuk dilakukan, hatinya terlalu sakit melihat bagaimana Angin saat ini.

Angin tersenyum pahit, "bahkan dihari minggu Beliung tidak bisa berada di sini karena harus latihan futsal untuk turnamen besok, Taufan juga terlalu sibuk dengan sekolahnya. Mereka tidak punya waktu untuk ayah yang sakit-sakitan ini.".

Bahkan setelah semua yang terjadi akhir—akhir ini, Angin tidak yakin jika mereka masih menganggapnya ayah. Semakin hari rasanya semakin asing dengan anaknya, semakin jarang berkomunikasi dan bertemu, terakhir bertemu Taufan saja dua minggu lalu.

"Mereka peduli sama kamu, percaya sama aku, " Mara menegaskan, "Beliung sama Taufan mungkin emang sibuk sama urusan mereka masing—masing, tapi itu bukan berarti mereka gak memikirkan kamu. Mereka mencintai kamu, Angin.".

Angin tak langsung menjawab, ia menatap pintu sadar jika seseorang ada di sana namun tidak berani untuk masuk, entah karena apa alasannya. Hal itu membuat Angin sedikit tersenyum karena tahu siapa orang diluar sana.

RANTAI LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang