IV

8 0 0
                                    

But i can see us lost in a memory
August slipped away into a moment in time, 'cause it was never mine.
- August, Taylor Swift


Empat orang pria sedang berkumpul di satu ruangan yang terlihat seperti kapal pecah. Kabel-kabel benda elektronik yang tidak beraturan, sampah kemasan berserakan beserta remahan-remahannya yang mengotori lantai. Mereka tampak tidak peduli dengan kondisi ruangan yang berantakan itu. Keempat pria tersebut diketahui adalah Kala, Benaya, Dean dan Arka.

Saat ini Ben dan Arka sedang sibuk bermain play station milik Kala. Di kursi dekat jendela ada Dean yang memainkan sebuah lagu dengan gitarnya. Sementara di atas kasur terdapat Kala yang bermalas-malasan hanya menonton kedua temannya yang sedang duel game, ia juga memakan beberapa snack sambil berbaring.

Benaya dan Arka tengah beradu tim pada game bola. Sudah babak terakhir tetapi Ben masih belum mencetak gol, terlihat dari raut wajah Ben yang sudah tidak bersemangat, dia berkata.
"Sabar dong, jahat banget sih".

Arka melihat ke arah Ben dengan ekspresi tengilnya itu. Walaupun ada rasa kasihan, tapi Arka senang bisa meledek temannya yang kalah itu.
"Aihhh ini dia, ini dia! Let's go! Bisa yok bisa. Ya?! YA?!... GOAALLLL!! UHUUY!"
Arka seketika teriak selebrasi sambil menepuk-nepuk teman di sebelahnya.
Ben hanya bisa pasrah menerima kekalahan, namun Arka tetap mengolok-olok Ben. Dean terkekeh melihat tingkah kedua temannya yang seperti anak kecil, begitupun Kala yang sesekali ikut mengompori.

"Si abang jago akhirnya tumbang sodara-sodara! Hahaha." Kata Kala sambil mengunyah keripik.

"Ini gua menang dapet apa?"
Ben melirik Arka malas, lalu ia menjawab. "Ga ngurus lah gua."

"lo maunya apa, Ka?" Sahut Kala.
Arka tersenyum, lalu melirik penuh harapan pada Kala. "Dapet peluk cium dari Gaby boleh ga, kal?".

"Sebelum lo peluk cium si Gaby, gua sunat dulu punya lo sampe abis!." Kala melempar kaleng kosong tepat di kepala Arka. "Aduh!" Arka mengusap-usap keningnya yang sakit itu.
"Ha! Mampus!" Ben puas melihatnya. Dean hanya menggelengkan kepala menyaksikan tingkah teman-temannya.
Di tengah situasi yang heboh itu, ponsel Kala mendapatkan sebuah notif. Dengan cepat dia memeriksanya, namun setelah itu Kala kembali menutup ponselnya, raut wajahnya menunjukkan perasaan kecewa.

Sadar dengan perubahan ekspresi Kala, Dean pun bertanya kepadanya. "Kenapa, Kal? Bukan notif dari dia ya?"
Arka menatap Ben dengan penuh tanda tanya. Ben memberi isyarat, dan seolah mengetahui siapa yang dimaksud, Arka pun mengangguk paham.

"Gua bikin dia ilfeel kali ya?"
Arka menghampiri lalu duduk di sampingnya. Dia mengelus-elus punggung temannya menyemangati, "Mungkin, emang dari awal dia ga ada niat buat bertemen apalagi deket." Ucap Arka.

"Iya, kal..
Sakit si, abis ketemu besoknya langsung ngilang gitu aja. Tapi mau gimana lagi?"
Ucap Dean, di balas anggukkan setuju dari Ben, begitu juga Arka sambil diam-diam sudah merebut keripik yang ada di genggaman Kala.

"Udah sebulan, Kal! Buat apa lo tungguin? Percaya sama gua, dia ga bakal hubungin lo."
Mendengar ucapan Ben itu Kala menarik napas dalam. Ia berbaring menatap langit-langit kamarnya, benar-benar seperti orang yang kehilangan arah. "Iya, emang gua aja yang aneh."

"Kal, daripada ngegalau gitu kenapa ga coba buka hati buat Ella?"
Kala menoleh ke arah Dean, mengerutkan dahi lalu bertanya.
"Kenapa Ella?"

"Kala, Kala!"
Ucap ketiga temannya berbarengan.

"Apa si?"

"Keliatan bro, kalau Ella tuh tertarik sama lo, masa lo ga bisa liat si." Ucap Ben.

"Tau darimana?"
Arka melemparkan remahan keripik ke wajah Kala sehingga membuatnya terkejut. "Bego..." ucap Arka.

Just Give Me A ReasonWhere stories live. Discover now