Chapter 7

53 11 10
                                    


Selamat datang, terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca. 🥀

Bolehkan saya mendapatkan emot : 🥀 ?

Enjoy, turn on your fantasy music!

*

*

*

Batu merah delima itu telah menarik seluruh keinginanku.

Aku ingin menggenggamnya.

Aku ingin merenggutnya.

Aku ingin menguasainya.

Sudah beberapa waktu ini, pikiranku di penuhi oleh batu itu. Jantungku bagaikan terserap padanya, membuatku terkadang sulit bernafas dan tidak bisa tertidur pulas.

Namun Khaos, berapa kalipun aku berbicara tentang permata itu, dia selalu menyuruhku untuk menutup mulut. Setiap hari kami melewatkan jamuan makan bersama, setiap kesempatan yang datang padaku demi memohonnya untuk memperlihatkan batu itu satu kali lagi. Selalu berakhir pada olokan. Walau dia tahu aku telah menjelaskannya, bahwa batu itu seakan berdetak untukku.

"Hari ini, aku akan melakukan semua yang kau mau tanpa terkecuali. Aku ingin melihatnya hanya satu kali lagi. Kumohon, Khaos." Dahiku mengernyit, memutar-mutar garpu perak pada sebuah piring.

"Dan kau akan berakhir menjadi wanita gila, Minerva. Aku telah memberitahumu batu itu adalah sihir kuno. Bahkan saat ini batu tidak ada padamu namun kurasa kau memilih untuk menjadi gila demi sebuah batu." Khaos menatapku, wajahnya terlihat jengkel.

"Lalu kenapa kau menggiringku pada ruangan itu agar aku bisa menemukan batu sihir itu?"

"Itu bukan ulahku." Wajahnya menjadi datar dan tatapannya tajam. Berbanding terbalik dengan rautku yang gelisah karena mendambakan sebuah batu.

"Lalu siapa? Bukankah semua sihir dalam kastil ini adalah perbuatanmu? Sebenarnya untuk apa aku disini? Kau membuatku yakin aku disini bukan hanya untuk menjadi pelayan, aku mirip dengannya itu kebenaran mutlak. Sebenarnya apa-"

Dia dengan raut kesal mengeluarkan batu merah delima itu dalam kantongnya, memutar-mutar batu dengan jari-jarinya. "Lihat saja dari jauh."

Aku langsung diam, memperhatikan sang batu bagaikan sihir yang menghipnotis. "Kau mirip dengan istriku yang telah mati, itu benar. Namun penemuanmu akan ruang rahasia itu adalah ketidaksengajaan dirimu sendiri. Anggap saja aku yang mengatur semua sihir dalam kastil ini, namun tidak terbesit sedikitpun bagiku untuk memperlihatkan padamu barang berharga peninggalannya."

Tubuhnya kaku, tanpa emosi di wajahnya. Sebelum dia memasukkan batu itu kembali pada kantung celananya.

Dan Khaos berdiri, berjalan ke arahku lalu mengulurkan tangannya.

"Aku ingin menunjukkan sesuatu."

Dia menuntunku pada taman luas lalu melempar batu delima itu di tanah. Membuatku ingin berjalan padanya namun sebelum itu terjadi Khaos menarik pinggangku agar aku tidak melangkah satu jengkal pun.

Telapak tangannya mengeluarkan aura hitam, lalu berubah menjadi api dan menyambar batu.

"Kau bilang kau tidak bisa menyemburkan api?"

"Memang tidak."

"Lalu itu apa?"

"Api. Aku tidak menggunakan mulutku untuk menyemburkan api."

'itu sama saja!' Dahi kami mengernyit.

"Aku yakin kau adalah sumber api dan kematian pada semua orang di desaku."

"Bukan aku yang menyalakan api, kalau yang membunuh aku tidak bisa mengelak." Dia mulai jengkel lagi. "Bila aku tidak ada saat itu kau sudah terpanggang hidup-hidup berkat perbuatan ibumu sendiri." Walau begitu nada bicara nya rendah dan tenang.

Padamkan.

Suara percikan api berseru lewat angin membuatku menoleh, api semakin besar. Dan dia melepas dekapannya sehingga aku terburu-buru menghampiri sumber api.

Khaos lebih cepat dariku, bahkan sebelum aku sempat berkedip dia sudah menggenggam batu delima. "Ini tidak hancur."

Api padam, namun perasaanku yang ingin menggenggamnya masih membara.

"Sebenarnya untuk apa batu itu?" Aku mengerutkan dahi.

"Ini peninggalan dari Ratu yang malang."

"Kau tidak menjawab sama sekali pertanyaanku. Sebenarnya untuk apa batu itu? Apa batu-batu yang lain dalam lukisan itu akan berdampak ketika seseorang menggenggamnya? Namun kurasa itu tidak bereaksi sama sekali padamu."

"Karena aku memiliki sihir. Bila seorang mortal menggenggam ini, kurasa mereka akan menjadi tergila-gila pada seseorang yang dia sukai dan melakukan apa saja untuknya." Dia menyeringai lalu memasukan batu itu ke dalam sakunya lagi, menatapku penuh ejekan. "Kau menyukaiku."

Dahiku semakin mengkerut dengan sangat tegas. "Tidak. Apa kau kira aku bisa menyukai lelaki yang sudah membunuh ibuku?"

Mendengar itu dia malah tertawa. "Sudah kubilang orang-orang disana bukan manusia, mereka berwajah babi. Sayang sekali aku tidak bisa memberikan bukti karna mereka terbakar hangus. Sepertinya aku memang harus mengatakan itu, kau di asuh kawanan monster. Dan aku menyelamatkan hidupmu. Itu yang dapat aku katakan padamu wanita buta."

"Kebenaran atau apapun, aku tidak bisa percaya begitu saja. Memang benar aku buta saat itu. Namun walaupun begitu.. mereka telah mengurusku selama aku hidup."

"Ya, mereka mengasuhmu untuk di jadikan tumbal." Matanya sangat dingin, tajam. Dan pernyataannya itu seperti sebuah kenyataan pahit yang harus aku telan bulat-bulat.

Aku melingkarkan kepalan tangan pada dadaku, menunduk.

"Itu bukan yang sebenarnya terjadi, aku yakin itu. Semua ini, kau sudah merancangnya. Kau adalah sumber kehancuranku, Khaos."

"Aku memang menghancurkan desamu demi menyelamatkan kebodohan mereka sendiri, tapi aku tidak menghancurkanmu. Aku menyelamatkanmu." Dia menatapku tajam dan dalam, dengan raut marah. Sebelum akhirnya tersenyum dan mengangkat dahi. "Kalau begitu kenapa kau tidak mencoba untuk menusuk jantungku saja sejak awal? Kau memiliki belati yang aku beri pada hari pertama kau tinggali tempat ini. Dan kau selalu menyimpannya di antara pahamu, bukan?"

Cahaya langit semakin jingga, matahari hendak menenggelamkan dirinya lagi. Dan aku hanya berjalan memasuki kastil. "Aku memang sangat ingin melakukannya. Tapi aku yakin, bahkan bila tubuhmu terbelah dua bagian kau tetap akan hidup. Kau abadi."

Khaos hanya tersenyum pahit, sebelum tawanya mendesis.

'Kebenaran, aku butuh kebenaran.'

Aku membuka pintu masuk lebar-lebar, dan aku merasakan suatu aura aneh pada aula ini, aku berkedip beberapa kali. Dia berdiri tepat di depan lukisan yang tertutup kain merah itu. Ratu yang malang, mengenakan gaun hitam dan aksesoris emas mewah. Rambut tersanggul dan menoleh ke arah sisi tanpa sebuah mahkota, menyambut Khaos yang mendekat padanya. Yang menunduk, mengecup lembut punggung tangan sang ratu.

Dan pemandangan itu menghilang setelah Khaos terlebih dulu berjalan mendahuluiku yang sedari tadi berdiri tepat di tengah-tengah pintu. Menoleh ke arahku dengan wajahnya yang kaku dan mengangkat sebelah alisnya. Tanpa sepatah kata apapun, kami hanya saling menatap. Sebelum pada akhirnya kami berjalan berbeda arah dari aula megah ini.

*

*

*

Terimakasih sudah membaca, bantu untuk votenya ya. 🌹

Follow untuk lebih banyak cerita fantasi lainnya.

Luv. cozyrinn

Ig/tt : cozy.rinn

Seribu tahun lagi - cozyrinnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang