01. Fathir Gala Andreas

6 0 0
                                    

"Kakak tuh jangan dibiasakan gak sarapan, nak" Pria beruban berkepala empat itu menasihati anak gadisnya yang tengah memakai sepatu dari arah pintu. Dan Adel tak  menggubrisnya. Dasar anak durhaka. Tapi nasihat itu sudah berjuta kali didengarnya tiap pagi dan dia bosan. Jadi untuk sedikit menghargai Pram sang ayah Adel hanya balas mengacungkan jempol.

Selesai mengikat tali sepatu. Adel bangkit dan berbalik badan untuk menyalami Pram. Diraihnya tangan besar yang banyak bulunya itu. Pram mencium pucuk kepala Adel yang dibalut hijab putih lalu mengusapnya lembut.

"Kakak gak mau ikut ayah sama adek aja?" Lagi lagi pertanyaan yang selalu terulang tiap sebelum berangkat sekolah didengarnya. Adel menggeleng mantap.

"Ayah, ayo berangkat!" Kiran adik Adel yang hanya terpaut dua setengah tahun darinya muncul dari balik badan Pram dengan rambut yang dikuncir tinggi. Adel yang melihat itu tidak tahan untuk menggoda Kiran "Kurang tinggi, bu!" Godanya lalu menarik asal rambut Kiran hingga kuncirannya terlepas. Perang pagi itu pun tar terelakan. "KAKAAAK !!!"

"Kakak jangan diusilin adeknya!" Sang ibunda dari dua anak perempuan yang sedang kejar kejaran di halaman datang membawa tas kerja Pram, ia memelototi kedua putrinya yang sudah rusuh saja pagi pagi.

Perang singkat itu berhenti ketika mereka sadar dikejar waktu.

Sari mengunci pintu rumah dan menaruhnya di bawah salah satu pot bunga, sudah menjadi kebiasaannya seperti itu. Sedang Pram berjalan ke mobil diikuti Kiran. Serta Adel yang menggiring sepedanya keluar gerbang.

Beginilah rutinitas pagi keluarga Adel. Rumahnya selalu kosong kecuali hari libur karena masing masing anggotanya memiliki kesibukan sendiri. Pram sebagai karyawan kantor dan Sari sebagai PNS, atau bisa dibilang Sari ini seorang guru SD.

Adel meletakkan tasnya di keranjang sepeda sambil menunggu mobil yang dikendarai Pram lebih dulu pergi. Kemudian disusul motor matic Sari, lalu barulah Adel yang merapatkan pagar sebagai orang terakhir yang berangkat.

Tepat setelah Adel merapatkan pagar, dari arah rumah depan ada suara seseorang yang sedang melakukan panggilan. Mata Adel memperhatikan gerak gerik lelaki yang baru ia kenal namanya tempo hari. Fathir masih mengenakan seragam sekolah lamanya. Kalau tidak salah ingat, dia dari Jakarta. Ingatan Adel terbukti benar ketika ia menemukan lambang sekolah Jakarta di bagian lengan seragam Fathir.

Lagi lagi Adel kepergok memperhatikan, mereka sempat berkontak mata sebelum Fathir masuk ke dalam mobil. "Idih, sombong." Senyum manis yang sempat Adel lempar saal mereka berlatapan pun luntur karena Fathir tak membalasnya.

Adel mulai menggoes pedal sepeda, lajunya begitu kencang, menabrak angin sepoi sepoi yang berterbangan dengan anggunly. Beberapa sisi kerudungnya berterbangan, namun tak membuat pet kerudungnya meleyot.

Iya lah, kerudung segi empat Adel kualitas premium. Mana mungkin bisa meleyot. Kalau di online shop, kerudungnya itu bernilai 5 bintang.

Alasan Adel menolak ajakan Pram tiap pagi untuk berangkat bersama karena dia yang tidak suka naik mobil. Pengharum kopi dan guncangan kecil mobil selalu membuatnya pusing. Naik sepeda sambil menikmati suasana pagi jauh lebih baik, sekalian olahraga. Lagipula sekolah Kiran satu arah dengan kantor Pram dan berlawanan arah dengan Adel. Tapi sebenarnya Pram tidak masalah jika harus jauh mengantar Adel, gadis itu saja yang tidak mau merepotkan.

Di sisi lain, Fathir menghela napas kasar setelah sambungan telepon terputus. Punggungnya ia sandarkan pada jok mobil guna merenggangkan ototnya yang sempat tegang. Lelaki itu mengacak rambutnya kasar. Dia lelah dengan drama yang terus berulang tanpa bisa melihat ujung nya. Tapi perasaan tidak akan bisa berbohong Fathir belum mau menyerah sekarang. Belum.

Let's Be Friend!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang