Jenan
Jenan bermimpi tentang gemerlap lampu disko. Dari sudut pandangnya, ia sedang berada di tengah-tengah lantai dansa sambil mengerjapkan mata. Lantai dansanya lebih mengilap sehingga mengaburkan pemandangan sekeliling. Jenan tidak bisa melihat penonton, musik juga hanya samar-samar ia dengar.
Di depannya, ia melihat sosok yang jangkung. Aroma parfumnya didominasi oleh musky dan woody notes, sampai-sampai Jenan mengira itu bukan mimpi. Bak feromon yang memabukan, Jenan terbuai dengan aroma itu, membuatnya mendekati sosok laki-laki tadi—ia tersenyum manis pada Jenan, tangannya terulur untuk mengajaknya berdansa.
Mereka menguasai lantai dansa dengan gerakan yang luwes. Walaupun begitu, Jenan merasa para penonton di sekelilingnya hanya membisu, seolah-olah sedang menghakiminya dalam diam, selama beberapa saat Jenan agak takut sampai mimpinya tiba-tiba berubah.
Laki-laki di depannya kini sudah tidak memakai pakaian. Ia masih tersenyum sembari tangannya mengusap wajah Jenan. Tubuh mereka seakan menyatu kulit ke kulit. Samar-samar Jenan mendengar alunan musik sensual—padahal di mimpi itu mereka masih ada di lantai dansa dan—kenapa dia telanjang? Kok bisa gini? Jenan kebingungan sendiri di dalam mimpinya.
Lagu itu semakin lama semakin kencang. Nadanya berubah dari musik sensual jadi musik pop yang berisik. Rupanya nada itu datang dari ponsel Jenan di dunia nyata—Jenan akhirnya terbangun.
DUK!
"A-aduh..." Jenan memegangi kepalanya yang terbentur nakas. Matanya masih setengah terbuka saat mencoba meraba-raba ponselnya di lantai. Saat itu juga ia merasakan udara dingin menusuk punggungnya yang masih telanjang.
"Oh shit!"
Jenan menyambar ponselnya lalu duduk. Ia terpaku selama memperhatikan tubuhnya dan layar ponsel yang berisi puluhan pemberitahuan, dan suara panggilan dari Janitra.
Jenan mengangkat teleponnya, tapi dia tidak sempat mengatakan apa-apa saat menyadari ada orang lain yang tidur di sampingnya.
"JENAN! LO DI MANA—Ha-halo? Jenan? Lo kenapa?!" teriak Janitra. Ia bisa mendengar suara Jenan yang memekik dan menjerit kesakitan. "Lo di mana anjir gue telponin dari tadi nggak diangkat! Gue hampir aja mau ke Exodus, tahu?! Ini udah jam 7 pagi, Jen!!"
"AAAA!!!" Jenan tersungkur ke lantai saking kagetnya. Wajahnya pucat pasi saat memperhatikan situasi sekeliling. Sosok asing di kasurnya masih terlelap, tapi mungkin tidak akan lama lagi dia bangun. "Jan. Gue—gue nggak tahu ada di mana..."
Sebenarnya Jenan tahu kata yang tepat untuk situasi ini, tapi ia tidak siap mengatakannya pada Janitra.
"Hah?! Gimana bisa?! Jen, lo nggak abis dibawa tidur sama orang kan? Halo?? Eh, kok diem aja? Jenan!"
Damn. Kok dia tahu-tahuan sih? Oh—shit, shit mati gue! Harusnya kan gue ke rumah dia! Jenan, lo bego.
Jenan terpaku menatap punggung pemuda asing yang tak lain adalah Hamal. Tubuhnya mulai bergerak untuk bangun. Hamal masih duduk di sana selama beberapa detik. Jenan melihatnya menggaruk-garuk kepalanya dengan kuat, kelihatannya Hamal tidak begitu terkejut dengan situasi ini. Ia merasa biasa saja saat menatap sekeliling. Ia masih memunggungi Jenan, belum menyadari kehadiran dirinya.
Suara nyaring Janitra-lah yang berhasil membuat Hamal menoleh, padahal Jenan tidak menyalakan loudspeaker.
"EH ANAK MAMI, BURUAN JAWAB GUE!"
"Anjing!!!" Hamal ikut tersungkur ke lantai. Wajahnya ikutan pucat pasi. "Ke-kenapa lo mojok disitu kayak tuyul?! Lo-lo siapa?!"
"Siapa gue?" Jenan bertanya balik. "Lo yang siapa?! Kenapa gue bisa di sini?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
How Long Before We Fall In Love?
Fanfic∙ HEEJAKE AREA ∙ Jadi pengangguran dadakan disaat lagi banyak cicilan yang belum lunas, Hamal terpaksa mencari pekerjaan baru walaupun gajinya jadi lebih kecil daripada yang sebelumnya. Transisi dari budak korporat jadi budak ahensi bikin jantung Ha...