korban 6

43 1 0
                                    

Lelaki itu terus berlari, angin malam menghantamnya berkali-kali. Rasa gagal, sedih dan kecewa pada diri sendiri membuatnya linglung.

Malam itu dengan beralasan ada acara perkumpulan bapak-bapak di kompleks mereka, pak nasir berhasil keluar dari rumah.

Berbohong? Tidak. Laki-laki baya itu memang ke perkumpulan, membayar iuran kemudian berpamitan pergi. Menyuauri jalan tanpa tahu akan kemana. Ia enggan pulang. Hatinya sesak, setiap hari mendengar erangan anak pertamanya. Anak yang mereka kurung diruang bawah tanah. Yang hanya bisa diakses melalui kamarnya atau kamar lila.

Bukan satu dua bulan beliau menahan semuanya. Berusaha tersenyum dan terlihat baik-baik saja. Nyatanya banyak luka dan air mata yang lelaki baya itu simpan.

Sampai kapan dia akan terus diam, menjadi pecundang. Bila tak ingat kedua anaknya ingin ia akhiri hidupnya sejak Berbulan-bulan lalu. Entah setan apa yang telah membuat istri yang dulu sangat patuh menjadi seperti sekarang. Menghalalkan segala cara untuk memenuhi segala keinginannya.

"Ini salahku, aku tak becus menjadi imam dalam rumah tangga. Ini salah ku, yang terlena dengan kenyamanan hidup dalam kekurangan. Aku kira kau ikhlas jalani semua ini Yun... "
"Aku kira kamu sudah bahagia walau dalam kekurangan."

"Yun, kembalikan anak-anak. Aku yang salah. Aku bukan orang baik. Kenapa harus anak kita kenapa bukan aku yang kau pilih sebagai tumbal" Rancu pak Nasir pajang lebar. Isak dan air mata turut mewarnai penyesalan pak Nasir.

Alam seakan merasakan  kegundahan hati pak Nasir. Langit perlahan memekat, guntur menggelegar sesekali, dimulai dengan titik-titik air yang dalam hitungan menit menjadi semakin deras. Pria baya itu terus melangkah seakan tidak sadar pasukan hujan menerejang tanpa ampun.

Pikiran kosong dan badan yang terus menggigil membuat kesadaran pak Nasir perlahan menghilang. Saat tersadar pak Nasir terbaring di atas karus lantai. Pakaiannya telah berganti dengan sarung dan kaos kering. Di sebelahnya berdiri dua bapak-bapak berjengot tipis yang mungkin seumuran dengannya.

Sesaat kemudian ada seseorang mengetuk pintu yang terletak di belakang pak Nasir. Di susul suara salam yang membuat tiga pria baya itu menoleh dan menjawab salam bersamaan.

"Assalamu'alaikum"

"Waalaikumsalam"

"Pak ini mie rebusnya sudah matang" Kata bapak yang baru datang itu, sambil menyodorkan semangkuk mie yang asapnya mengepul. Menggugah selera disaat hujan masih begitu lebat di luar.

"Dimakan dulu pak, biar lebih enakan" Pinta bapak yang berkoko hijau muda.

Pak Nasir menatap ketiga orang depannya dan semangkuk mie itu bergantian. Ia ragu.

"Nggak apa-apa pak, InsyaAllah disini bapak aman" Kata bapak satunya lagi yang berkoko putih kemudian tersenyum.

Dari ketiga orang didepannya bapak berkoko putih inilah yang wajahnya terlihat paling bijaksana. Senyumnyapun  begitu menenangkan. Satu anggukan kecil darinya membuat pak Nasir bergegas melahap makanan itu. Seharian berkutat dengan kesibukan restoran di tambah beban pikiran yang berat membuat pak nasir lupa makan sejak tadi pagi.

"Bapak sudah sholat isya? " Tanya bapak-baoak yang berkoko putih, sesaat setelah pak nasir menandaskan semangkuk mie rebus tadi. Pria baya itu menggeleng pelan. Lama dia sudah tidak mendekat pada Tuhannya.

Dia teringat dulu dia begitu rajin menjalankan perintah Tuhannya dari yang wajib hingga kesunah-sunahnya. Tapi kesibukan mengais rupiah karena kebutuhan yang semakin mencekik membuatnya perlahan meninggalkan semuanya. Dari yang sunah hingga yang wajib bahkan ia melupakan Tuhan.

Pak nasir lupa bahwa Tuhan maha segalanya, ia lupa kalau rezekinya selama ini bukan hanya hasil dari kerja keras tapi juga hasil dari rahmat Tuhan. Dan ketika ujian itu datang ia malu untuk kembali mengiba meminta bantuan sang penguasa dunia akhirat. Dia hanya berusaha bertahan tanpa melakukan apappun. Tapi apalah daya manusia tanpa bantuan Tuhannya.

"Bertaubatlah pak, selagi kita masih diberi umur selama itu pula Allah akan menerima taubat kita. Andai dosa kita sebesar kapal ampunan Allah seluas lautan, andai dosa kita sebesar bumi ampunan Allah seluas langit berlapis tujuh. Jangan pernah putus harapan dari ampunan Allah selama kita masih di beri nafas" Nasehat dari pak imam, bapak-bapak berkoko putih itu bijak. Tanpa pak nasir bercerita ia sudah tahu sedikit tentang keadaan pak nasir. Beliau imam di masjid dimana tempat pak nasir berasa sekarang.

Nasehat itu membuat oak nasir sedikit tercengang sebenarnya. Entah dorongan dari mana ia menceritakan segalanya. Tanpa ada yang ia tutupi. Entah kenapa ia percaya bahwa orang di hadapannya adalah orang baik yang mungkin bisa membantunya.

Setalah mendengar cerita lengkap pak nasir, pak imam hanya tersenyum tipis sambil menganggukkan kepalanya. Dari sorot matanya terlihat ia sedang berfikir mungkin mencoba mencari solusi untuk pak nasir. Tanpa menanggapi cerita pak nasir, pria itu meminta pak nasir untuk melaksanakan sholat isya terlebih dulu.




Jangan lupa bantu like komen follow & subscribe 😍🙏❤



Korban Pesugihan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang