-
Emir sudah menunggu gadis itu selama sepuluh menit di halte sejak pukul lima tadi. Dia sangat membenci orang yang tidak mampu untuk tepat waktu, dia meyakini bahwa jika tepat waktu saja tidak bisa, mereka pasti juga tidak bisa menepati yang lain-lain.
Namun, setelah gadis itu keluar dari bus yang baru saja tiba dengan seragam sekolah yang dibalut dengan kardigan merahnya, Emir memutuskan bahwa ketidakmampuan gadis itu dalam tepat waktu mungkin tidak sepenting itu.
Gadis itu lalu tersenyum dan meraih tangan Emir. Emir berjalan selaras dengan gadis itu, tidak tahu dia akan dibawa ke mana.
Setelah berbelas-belas menit berjalan, Emir akhirnya sadar bahwa mereka akan mendatangi salah satu pantai di kotanya.
“Apa kau suka pantai?” tanya gadis itu sambil memandang lurus ke arah deburan ombak sesaat setelah mereka tiba.
Emir melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul setengah enam, “aku tidak membencinya.”
“Syukur kalau begitu,” gadis itu duduk di atas hamparan pasir pantai sambil mendekap kedua kakinya. Dengan otomatis, Emir mengikuti langkah gadis itu lalu duduk.
“Namaku Raya,”
Emir tersenyum kepada Raya, lalu dia mengatakan bahwa Raya dapat memanggilnya Emir.
"Hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke tujuh belas.” Raya kembali melayangkan senyumannya kepada Emir.
“Selamat ulang tahun.”
Raya tidak merisaukan ucapan selamat ulang tahun dari Emir yang terasa tidak begitu hangat. Dia hanya tersenyum dan berkata bahwa dia senang karena kali ini dia punya teman bicara di hari ulang tahunnya.
Emir mengernyitkan dahinya.
“Ayah dan ibuku sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu, aku juga tidak terlalu akrab dengan teman sekolahku.”
Emir hanya mendengarkan, dia merasa bahwa ini bukan saat yang tepat untuknya berbicara. Raya kembali menatap Emir cukup lama dengan senyuman yang terpatri di wajahnya. Gadis itu terus mengucapkan terima kasih kepada Emir karena mau menemaninya.
Mereka, tepatnya Raya, berhenti berbicara sesaat setelah dia melihat bahwa matahari sudah mulai tenggelam.
Keduanya hanyut dalam lamunan masing-masing. Mereka merasakan semburat cahaya dari matahari pada hari ini yang indah. Anehnya, di hangatnya sore menuju malam ini, mereka merasakan dinginnya kesendirian dalam hati mereka.
“Kau suka pantai?” Emir memecahkan keheningan di antara mereka.
“Tidak. Aku membencinya.”
“Benarkah? Apa kau tersinggung saat aku bilang aku tidak membenci pantai?”
“Tidak juga.”
Setelah itu, kembali hening.
Emir yang dilanda penasaran menanyakan tentang mengapa Raya membenci pantai. Raya kemudian menceritakan bahwa nyawa ayah dan ibunya terenggut saat mereka berada di pantai.
"Tepatnya di laut. Saat itu, kami bertiga berada di dalam sebuah perahu yang ayah sewa untuk memancing."
Raya kecil dengan tidak sengaja menjatuhkan boneka kesayangannya ke dalam air. Melihat itu, ibu Raya tanpa pikir panjang melompat ke dalam air untuk mengambilkan boneka milik anaknya. Setelah ibunya, ayah Raya ikut masuk ke dalam air, dia ingin menyelamatkan istrinya.
Menit demi menit Raya menunggu kedua pahlawan heroiknya, mereka tak kunjung naik ke permukaan. Mereka meninggalkan Raya kecil yang menangis histeris di dalam perahu.
Kemudian Raya dibawa seorang nelayan yang kebetulan melewati perahu sewaan ayah Raya. Semuanya terjadi begitu cepat. Raya kecil terus berlarut dalam kesedihannya, dia berpikir bahwa kedua orang tuanya sudah tidak mau merawatnya hingga mereka pergi meninggalkannya.
Raya menceritakan semua itu dengan senyuman yang senantiasa tersemat di wajahnya. Emir menepuk punggung Raya berkali-kali sambil mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Raya mulai tertawa. Sebenarnya dia sudah tidak terlalu sedih saat mengenang cerita lamanya itu dan dia sudah tidak membutuhkan banyak kata-kata penenang dari orang lain.
Keduanya mulai berbagi cerita, tentu saja didominasi oleh Raya, tapi Emir tidak merasa keberatan tentang itu.
Kini Emir tahu, bahwa Raya suka berbicara dan dirinya suka diam. Banyak orang yang bilang bahwa dua orang yang saling melengkapi adalah pasangan yang serasi. Emir berpikir apakah ini yang mereka maksud. Kalau iya, Raya dan dirinya sangat serasi.
Dengan penuh semangat, Raya menceritakan bahwa dia paling suka buku dibandingkan apa pun di dunia ini. Gadis itu mulai bercerita tentang berbagai macam buku yang telah dibacanya, film-film yang telah dia tonton, hingga kehidupan sekolahnya yang membosankan.
Dan dengan memandang Raya, Emir sadar bahwa dia ingin mendengar Raya bercerita tentang hal-hal yang dicintainya selama selama sisa hidup mereka.
Di tengah ceritanya, Raya berhenti sebentar dan menepuk dahinya dengan pelan.
"Aku sampai lupa, berapa usiamu?”
Emir kembali melirik jam di pergelangan tangannya, kali ini, jam menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit. Tentu tidak akan ada yang bertanya. Tetapi jika ada, Emir pasti akan menjawab bahwa dia tidak pernah hidup sebelum bertemu Raya.
“Empat puluh lima menit.”
-